Selasa, 23 September 2008

krisis pangan dunia (Pengantar)

“Kita lupa bahwa pertanian itu juga industri,” kata editor The American Thinker, J.R. Dunn[1]

PENGANTAR

Badan Pangan Internasional (FAO) yang melaporkan bahwa saat ini kondisi pangan dunia sedang kritis. Stok pangan di pasar dunia mencapai level terendah sejak tahun 1980-an. Mengalami penurunan hingga lima persen dibanding kondisi tahun lalu. Diperkirakan stok akan turun menjadi 405 juta ton pada akhir 2008. Kenyataan ini tentu mengejutkan sebab jika hal ini terjadi, maka akan menyebabkan stok pangan dunia menyusut, terendah setelah 1982[2].

Berdasarkan catatan IRRI, lonjakan harga beras dunia terjadi akibat penawaran beras yang relative tetap di tengah permintaan meningkat. Boleh dikatakan, sejak tahun 2000 produksi beras dunia mengalami gejala pelandaian (leveling off).Di sisi lain, permintaan beras dunia terus meningkat sebagai dampak pertambahan penduduk dan melonjaknya konsumsi beras di negara-negara Afrika.Naiknya permintaan beras dari Negara-negara itu menambah semarak pasar beras dunia. Perburuan beras pun makin sengit, padahal volume beras yang diperdagangkan di pasar dunia merosot. Dikabarkan tahun ini sekitar 100 juta orang di dunia terancam krisis pangan.

Kenaikan harga pangan pokok dunia telah menyebabkan kenaikan 18 persen harga pangan di Cina, 13 persen di Indonesia dan Pakistan, 10 persen di Amerika Latin, Rusia, India dan lain-lain[3]. Dari Afrika sebelah selatan sampai sub-Sahara di utara, dari Meksiko sampai Brazil di jajar selatan benua Amerika, dari Mesir sampai Suriah di Timur Tengah, dari Pakistan sampai Bangladesh di lintang selatan Asia, manusia menjerit dijepit harga pangan yang melambung melampaui daya beli mereka.Sebaliknya, negara-negara maju asyik mengonversi jagung, kedelai, gandum dan hasil pertanian lainnya menjadi etanol untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang semakin sulit, kian mahal, dan bertambah sukar mereka kontrol.“Dibutuhkan 1,8 kuintal jagung untuk membuat 25 galon etanol. Jumlah sebanyak itu cukup untuk menghidupi seorang dewasa selama setahun,” kata Benjamin Senauer dalam “How Biofuels Could Starve the Poor” (Foreign Affairs, Mei/Juni 2007)[4].

Josette Sheeran, direktur eksekutif Program Pangan Dunia PBB, bahkan menyebut krisis pangan sebagai “tsunami diam-diam” yang akan menggulung siapa saja, sementara penyaji talkshow terkenal Amy Goodman menganggap krisis pangan kali ini adalah yang terburuk dalam 45 tahun terakhir[5]. Klaim provokatif dilontarkan Presiden Bank Dunia Robert Zoelick yang menilai krisis pangan bakal menjerumuskan manusia ke dalam perang dan kerusuhan. Ini diamini kolumnis International Herald Tribune, Thomas Fuller, yang menengarai krisis pangan di Asia bakal menimbulkan implikasi politik dashyat.

Data kenaikan harga pangan dunia[6]

Gandum : 130%

Kedelai : 87%

Beras : 74%

Jagung : 31%

Sumber : Bloomberg

PENYEBAB KRISIS PANGAN

1. Naiknya harga minyak dunia.

Kenaikan harga minyak dunia selalu menjadi determinan atas krisis pangan yang melanda dunia saat ini, biang keladinya adalah lonjakan tajam harga minyak bumi. Harga minyak yang menggila, mendekati angka US$105 per barrel, mendorong kenaikan harga sarana produksi dan ongkos angkut. Hal ini ditambah dengan produksi minyak bumi dan gas tak bisa mengikuti kenaikan permintaan, dan akhirnya harga energi juga naik tajam. Tragisnya, negara-negara maju memutuskan untuk mengalihkan pemakaian energi berbahan bakar fosil ke bio-fuel. Minyak sawit dipakai untuk bio-diesel. Jagung, tebu dan singkong digunakan untuk bio ethanol.

2. Penggunaan biofuel secara massive di negara maju.

Di saat negara dunia ke tiga tengah berjuang mengisi perut mereka dengan makanan, negara maju lebih sibuk mengisi mobil mereka dengan bahan bakar nabati. Insentif yang digelontorkan pemerintah di masing-masing negara teramat besar untuk mendukung proyek ramah lingkungan tersebut. Ini dilakukan dalam rangka semakin meningkatnya harga minyak dunia yang turus merangkak naik mencapai ratusan dollar per barel.

Perubahan yang terjadi sangat drastis dan mendasar, berakibat pada kuantitas ekspor mereka ke negara lain. Jika dulu negara yang kelebihan pangan bisa mengekspornya ke negara tetangga atau yang membutuhkan, sekarang hal itu tidak terjadi lagi. Kelebihan bahan pangan mereka dialihkan untuk proyek biodiesel dan biofuel sehingga tidak ada lagi ekspor atau ekspor dibatasi untuk memunuhi kebutuhan energi dalam negeri terlebih dahulu. Yang patut disayangkan adalah tindakan negara maju secara drastis mengubah struktur ekspor mereka tanpa adanya investasi pertanian serta alih teknologi pertanian di negara berkembang.

3. Pemanasan gobal.

Pemanasan global juga memainkan peranan penting dalam dalam menyumbang krisis pangan global. Pemanasan global telah membuat berbagai macam bencana alam terjadi dalam bentuk yang mengerikan dan banyak memakan korban jiwa dan materil. Mulai dari banjir, tanah longsor, kekeringan, badai ataupun angin topan. Sialnya, kebanyakan yang menjadi korban adalah negara berkembang. Seperti kasus India dan Bangladesh atau Indonesia sendiri. Negara-negara yang disebut diatas, merupakan lumbung-lumbung padi beras terutama di Asia, dengan banyaknya bencana alam berupa banjir dan kekeringan telah membuat hasil panen menjadi gagal dalam jumlah yang teramat besar, mengakibatkan berkurangnya stok cadangan beras di negara tersebut, akhirnya ekspor beras dan pangan lainnya menjadi berkurang.

4. Meroketnya Perekonomian China dan India

Semenjak dasawarsa 90-an, India dan China mulai merangkak menjadi macan Asia yang baru. Semakin terasa ngaumannya pada dekade 2000-an ini. Dengan jumlah penduduk yang mencapai sekkitar 40 % populasi dunia, plus dengan pertumbuhan ekonomi diatas 8 % membuat transformasi sosial terjadi secara massive dan mencengangkan. Seperti kasus China, diperkirakan tahun depan, PDB per Kapita China akan mencapai 3000 dolar AS. Dengan demikian jumlah keluarga kelas menengah di China akan semakin bertambah, setidaknya saat ini jumlah keluarga menengah di China diperkirakan akan mencapai 200 juta dari 100-150 juta pada tahun 2004. Dengan jumlah yang sebanyak itu, dan dengan pendapatan yang semakin baik pada akhirnya mengubah pola makan mereka juga. Dari yang awalnya nasi berubah menjadi daging. Setidaknya penduduk China mengonsumsi 1,6 juta babi/hari, 24 juta ayam/hari. Ini adalah hal yang wajar karena semenjak 1978, 550 milyar dollar US telah mampir ke Cina berupa FDI[7].Kasus serupa juga terjadi di India dengan jumlah keluarga menengah yang diperkirakan mencapai 100 juta.

5. Liberalisasi perdagangan sektor pertanian dan komoditas.

Ini membuat negara berkembang keteteran dan merasa dikhianati. Pertama, negara maju membatasi impor mereka berupa tariff yang tinggi terhadap produk pertanian dan perkebunan negara berkembang. Sementara produk perkebunan dan pertanian mereka sangat ramai membanjiri pasar domestik negara berkembang yang mengakibatkan produk lokal kalah bersaing dan terseok-seok karena harga yang lebih murah dan kualitas yang baik. Produk yang murah akibat tingginya subsidi di negara tersebut terhadap sektor pertanian.

Membanjirnya investor asing di sektor komoditas tanaman pangan, membawa konsekuesi tragis bagi petani. Tanpa subsidi pertanian dan modal apa adanya petani akan bersaing langsung dengan investor asing dan kekuatan pasar dunia. Berdasarkan kesepakatan agreement on agriculture World Trade Organization (WTO), ditargetkan tahun 2015 secara resmi pasar bebas diberlakukan. Segala hambatan perdagangan (trade barrier) dunia diminimalisasi. Negara-negara yang tergabung dalam WTO didorong seluas-luasnya membuka akses pasar domestik dan dunia. Seluruh komoditas dan jasa vital bebas keluar masuk negri untuk diperdagangkan.

KEADAAN DUNIA (TERKAIT KRISIS PANGAN DUNIA) SAAT INI

Kerusuhan di beberapa negara

Harga bahan pokok seperti gandum, beras, dan jagung semuanya naik, menyebabkan kenaikan pangan secara keseluruhan mencapai 83 persen dalam tiga tahun terakhir, kata Bank Dunia[8]. Kenaikan tajam harga pangan menyebabkan protes di banyak negara termasuk di Mesir, Pantai Gading, Ethiopia, Filipina, dan Indonesia. Di Haiti, aksi protes pekan lalu berubah menjadi kerusuhan, menyebabkan lima orang tewas dan pemerintah harus mengundurkan diri. Di awal 2008, di Kamerun terjadi kerusuhan besar yang memakan korban meninggal 20 orang. Beberapa negara produsen pangan utama seperti India, Cina, Vietnam, dan Mesir telah memberlakukan pembatasan ekspor.Kebijakan ini membuat beberapa negara pengimpor pangan terpukul, seperti Bangladesh, Filipina, dan Afghanistan.

Puluhan ribu petani Meksiko turun ke jalan memprotes pencabutan tariff bea masuk beberap komoditas pertanian khususnya jagung dan kacang kacangan. Hal ini menunjukkan betapa berat penderitan mereka akibatnya melambungnya harga komoditas pangan. Memang masalah perut memang merupakan hal krusial. Yang membuat orang orang bisa berbuat apa saja ketika mereka dilanda kelaparan. Meroketnya harga bahan bahan makanan bisa memicu semakin miskinnya lebih dari 100 juta orang dibelahan dunia. Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional dan mendesak semua negara untuk mengambil tindakan tegas demi mengatasi krisis tersebut. Bank Dunia misalnya menekankan prioritas utama yang harus segera dilakukan adalah meningkatkan dana bagi program bantuan makanan PBB. Laporan Bank Dunia minggu lalu menunjukkan bahwa harga harga bahan makanan, termasuk bahan pokok seperti beras dan gandum mengalami kenaikan tajam dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Laporan Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD) 14 Februari 2008 memperkirakan kenaikan jumlah orang yang terancam kelaparan di dunia mencapai 16 juta orang dari setiap satu persen kenaikan harga bahan pangan pokok dunia. Dengan laju kenaikan sebesar itu, IFAD memperkirakan terdapat 1,2 miliar orang yang akan mengalami krisis pangan kronis di seluruh dunia pada tahun 2025. Jumlah ini lebih tinggi 600 juta orang dari perkiraan sebelumnya. Di Indonesia, jumlah orang miskin juga tidak sedikit. [9]

Dalam masalah beras yang menjadi makanan pokok banyak bangsa di dunia, seperti China dan Indonesia, Departemen Pertanian Amerika Serikat memperkirakan bahwa pada 2007-2008, stok beras dunia hanya mencapai 72 juta ton. Jumlah ini terendah sejak 1983-1984 atau hanya separuh dari hasil panen puncak tahun 2000-2001. Stok beras dunia yang hanya separuhnya hasil panen tahun 2000-2001 itu justru terjadi di tengah melonjaknya harga beras dan minyak bumi dunia yang sudah menyentuh angka 113 dolar AS per barel. Harga beras di pasar dunia pun sudah tidak lagi murah. Portal Bisnis dan Keuangan Irlandia, "Finfacts", edisi 18 April 2008, menyebutkan, harga satu ton beras di pasar dunia sudah di atas 1.000 dolar AS atau naik sebesar 47 persen sejak Maret 2008[10].

Sejumlah kalangan memprediksi, gejolak harga komoditas pangan dunia belum mereda hingga akhir 2008. Para spekulan dan pemilik modal bakal terus memainkan harga di bursa komoditas global. Aksi borong masih mewarnai sejumlah komoditas pangan, seperti gandum, kedelai, gula, dan jagung.

Menimbang gambar-gambar terbaru dari Haiti, Mesir,Kamerun atau Indonesia, tidak berlebihan jika direktur  Dana Moneter Internasional-Dominique Strauss-Kahn memperingatkan akan konsekuensi mengerikan yang akan muncul. Satu milyar orang yang kelaparan, akan membahayakan ekonomi global dan pada akhirnya mengancam demokrasi. Jika negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara tidak menghendaki, kemakmuran dan keamanan di negaranya terganggu oleh dampak bencana kelaparan global, mereka harus segera bertindak. Amat fatal, jika terlalu lama menunggu program memerangi kelaparan, seperti halnya politik mengulur waktu dalam perang melawan perubahan iklim global.    
 
Badan Pangan Dunia (FAO) juga menunjukkan hal senada. Dirjen FAO Jacques Diouf menyatakan, kemungkinan besar harga tidak akan pernah turun[11]. Warga di negara-negara miskin kini mulai bergelimpangan di jalan karena kelaparan. Menurut Diouf, di tengah kenaikan harga pangan kenyataannya banyak orang- orang yang sekarat. FAO mencatat sedikitnya ada 37 negara yang menghadapi krisis pangan. Sementara kenaikan harga pangan kini terjadi di negara-negara di Afrika, Haiti, termasuk Indonesia. Permintaan bahan pangan melejit dinegara-negara berkembang, seperti Cina dan India.Komoditas jagung menjadi bahan pangan yang mengundang spekulasi. Pasalnya, jagung selain digunakan sebagai bahan pangan juga untuk bahan bakar ramah lingkungan (biofuel). Stok global yang mulai berkurang berimbas pada naiknya harga bahan pangan lain seperti tepung,maizena, dan beras.

RESPON DUNIA INTERNASIONAL

Surat Presiden Yudhoyono

Kondisi ini telah mengkhawatirkan banyak negara, termasuk Indonesia, mengingat rentannya negara-negara itu dari instabilitas dan kekerasan sosial sebagaimana belum lama ini terjadi di Haiti. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sudah menunjukkan kepekaannya dengan menyurati Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon untuk menyampaikan kekhawatiran Indonesia pada krisis pangan dan minyak mentah dunia. Surat Presiden Yudhoyono yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pertengahan April lalu itu juga berisi harapan agar PBB dapat memprakarsai upaya global guna menangani krisis tersebut.

Bantuan pemerintah Australia

Pemerintah Australia akan menyediakan bantuan darurat senilai Rp258 milyar (A$30 juta) kepada negara-negara yang terkena dampak melambungnya harga bahan pangan pokok. Bantuan 258 milyar yang diumumkan Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith tersebut merupakan tanggapan atas permintaan darurat Program Pangan Dunia.

Program Pangan Dunia baru-baru ini telah meminta dana tambahan untuk mengatasi kesenjangan kritis operasi pemberian bantuan pangannya akibat melambungnya harga pangan dan bahan bakar minyak.Australia adalah pendukung kuat Program Pangan Dunia yang telah menyediakan lebih dari Rp8,6 triliun (A$1 milyar) untuk operasi program tersebut sejak 1963.

Bantuan dari Inggris

Inggris mengumumkan telah menyedikan paket bantuan sebesar 455 juta poundsterling, termasuk paket bantuan sebesar 30 juta poundsterling untuk WFP dan untuk keperluan penelitian medote produksi pangan. Inggris juga menyatakan menarik dukungannya terhadap penggunaan biofuel dan akan mengkaji ulang teknologi biofuel. Inggris juga mengingatkan para menteri negara-negara Eropa untuk memotong target produksi biofuel jika ternyata produksi biofuel memicu kenaikan harga-harga pangan.Sementara itu, Komisi Eropa juga sudah menjanjikan dana bantuan sebesar 100 juta poundsterling bagi negara-negara yang terkena dampak kekurangan bahan pangan paling buruk.

Bantuan IDB (Islamic Development Bank)

IDB memberikan bantuan sebesar 1,5 milyar dolar Amerika untuk menangani krisis ini. IDB akan memanfaatkan dana tersebut untuk mendukung upaya mengatasi masalah krisis pangan dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Program yang dikemas dalam Deklarasi Jeddah akan berlaku sampai dengan lima tahun.
Dalam jangka pendek, program akan diprioritaskan kepada negara yang membutuhkan bantuan sesegera mungkin. Program jangka pendek itu, di antaranya pengadaan persediaan bahan pangan, dan penyediaan input pertanian, seperti obat-obatan, bibit dan, pupuk. Selain itu, Deklarasi Jeddah ini diarahkan untuk membantu negara-negara anggota dalam meningkatkan produktivitas agribisnis, termasuk memproduksi sarana dan alat pertanian. (SOLPAMILI PRATAMA HI UNPAD 2007)



[1] M. Siddiq.A Jafar. 2008. Krisis Pangan Lebih Menakutkan Ketimbang Krisis Energi. www.wordpress.com. Diakses pada 4 Juni 2008

[2] Fatkhuri,M.A. 2008. Kelangkaan Pangan Dunia. www.suarawarga.com. Diakses pada tanggal 4 Juni 2008.

[3] Aris Solikhah . 2008. Liberalisasi Tanaman Pangan , Solusi atasi Krisis Pangan?. www.nuralia.multiply.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[4] M. Siddiq.A Jaffar. 2008. Krisis Pangan Lebih Menakutkan Ketimbang Krisis Energi. www.wordpress.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[5] M. Siddiq.A Jaffar. 2008. Krisis Pangan Lebih Menakutkan Ketimbang Krisis Energi. www.wordpress.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[6]Keprihatinan Soal Krisis Pangan. 2008. www.bbcindonesia.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[7] James Kynge. 2007. Rahasia Sukses Ekonomi China. Bandung : Mizan. Hal.67-96.

[8] Keprihatinan Soal Krisis Pangan. 2008. www.bbcindonesia.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[9] Nasution, Rahmad. 2008.Kaum Papa Terjepit di Tengah Krisis Energi dan Pangan Dunia. www. antaranews.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[10] Nasution, Rahmad. 2008.Kaum Papa Terjepit di Tengah Krisis Energi dan Pangan Dunia. www. antaranews.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[11] Fatkhuri,M.A. 2008. Kelangkaan Pangan dunia. www.suarawarga.com. Diakses pada tanggal 4 Juni 2008.

Tidak ada komentar: