Selasa, 23 September 2008

Gagalnya Putaran Doha

Gagalnya Putaran Doha

OLEH: SOLPAMILI PRATAMA

Sejak terbentuknya WTO awal tahun 1995 telah diselenggarakan lima kali Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang merupakan forum pengambil kebijakan tertinggi dalam WTO. KTM-WTO pertama kali diselenggarakan di Singapura tahun 1996, kedua di Jenewa tahun 1998, ketiga di Seatlle tahun 1999 dan KTM keempat di Doha, Qatar tahun 2001. Sementara itu KTM kelima diselenggarakan di Cancun, Mexico tahun 2003. KTM ke-4 (9-14 Nopember 2001) yang dihadiri oleh 142 negara. Menghasilkan dokumen utama berupa Deklarasi Menteri (Deklarasi Doha) yang menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa dan peraturan WTO.

Sejak dicanangkannya Doha Development Agenda (DDA) pada tahun 2001, perundingan Putaran Doha telah mengalami banyak pasang surut yang ditandai dengan beberapa kali kemacetan sebagai akibat timbulnya perbedaan yang tajam antara negara – negara kunci dalam perundingan isu – isu, khususnya Pertanian, Non Agricultural Market Access (NAMA) dan jasa. Selain itu, perundingan untuk membahas penekanan aspek pembangunan sebagaimana dimandatkan dalam Doha Development Agenda juga sangat lamban dan sering mengalami berbagai kebuntuan.Kebuntuan ini disebabkan karena besarnya kepentingan ekonomi negara – negara (baik berkembang maupun maju) terhadap isu – isu pertanian, NAMA, jasa dan pembangunan. Perundingan di sektor pertanian meliputi 3 (tiga) isu utama, yaitu Akses Pasar, Subsidi Ekspor dan Subsidi Domestik. Topik-topik yang paling hangat disinggung diantaranya adalah mengenai kebijakan tariff negara maju, pembukaan pasar di negara berkembang serta subsidi pertanian yang besar di negara maju.

Kebijakan tariff

Hal yang paling dirisaukan oleh negara berkembang adalah susahnya produk-produk mereka untuk masuk ke pasar negara maju. Maka dari itu penghapusan penghambatan non-tarif perlu dilakukan. Selain itu yang menjadi keprihatinan negara berkembang adalah AS, yang masih enggan menurunkan tariff bea masuk (BM) untuk beberapa produk pertanian. Oleh sebab itu, negara-negara ekonomi baru seperti, India, sangat menentang kuat kebijakan negara Barat tersebut. Bahkan India bersikeras untuk melindungi kesejahteraan petani mereka yang mencapai puluhan bahkan sampai ratusan juta dengan kebijakan yang teramat hati-hati dengan tariff impor.

Sementara itu, UE, mengatakan bahwa pihaknya tidak akan melakukan hal yang berbahaya bagi sektor pertanian. Mereka juga menekankan jika rencana pemotongan tarif subsidi pertanian di negara-negara berkembang bisa dilakukan sebagai hal yang kondisional. Mereka menawarkan perpanjangan pengajuan pemotongan tarif pertanian hingga 60 persen dari 54 persen. Eropa memang telah menyiapkan rencana pemotongan pendapatan para petani yang dinilai akan semakin lebih menyakiti mereka. Namun, hal ini akan dilakukan jika ada jaminan kemajuan pembicaraan,terutama pembahasan tentang tarif industri dan pelayanan.Sementara itu, otoritas Gedung Putih menyerahkan perjanjian perdagangan ke Kongres tanpa ada perubahan seperti yang telah disepakati tahun lalu.

Negara berkembang menuntut negara maju untuk memotong subsidi dan tarif pertanian.Sebab, hal ini telah memberikan dampak negatif kepada para petani beberapa tahun belakangan. Kendati demikian,Amerika Serikat dan Uni Eropa mengatakan mereka hanya mau menyetujui perjanjian jika memberikan kesempatan ekspor baru.Namun, negara berkembang melawan hal itu. Amerika Serikat memiliki tarif yang tinggi untuk produk pertanian seperti gula, produk sehari-hari, tembakau dan daging.Namun dalam pertemuan ini, Amerika diminta memotong tarif produk tersebut. Proposal WTO yang terakhir mengimbau pemotongan tersebut hingga 70 persen pada perdagangan di Amerika Serikat. Selain itu, memperbesar subsidi dari USD13 miliar menjadi USD16,4 miliar.

Dalam kaitan ini, para Menteri G33 menegaskan agar usulan G-33 diterima dengan tidak melakukan liberalisasi (pemotongan tarif) terhadap produk-produk yang mendukung pembangunan pertanian di negara negara berkembang dalam kaitannya dengan peningkatan taraf hidup petani miskin di negara berkembang

Subsidi pertanian yang besar di negara maju

Negara-negara berkembang menyatakan subsidi AS dan UE menghalangi para petani mereka memproduksi, yang berkontribusi terhadap krisis pangan saat ini. Negara berkembang juga menolak proteksi tingkat tinggi yang dinikmati petani-petani negara makmur.
Tapi, negara-negara makmur ingin perbaikan akses terhadap pasar barang industri dan jasa di negara berkembang pesat seperti Brasil, India dan China sebagai imbalan membekukan sektor pertanian mereka sendiri. Salah satu elemen kunci kompromi itu adalah pengurangan subsidi pertanian Amerika Serikat (AS) menjadi US$ 14,5 miliar lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yaitu 15 milyar dollar Amerika.

Tak dapat disangkal, tingginya subsidi pertanian di negara maju telah menyebabkan para petani lebih sejahtera dan memacu sektor pertanian untuk berkembang lebih pesat dengan perkembangan teknologi yang lebih mutakhir. Selain itu pengaruh global warming juga telah membuat pemerintahan Brazil menjadi kaya dan efisien dengan biodieselnya. Dalam hal ini tidak semua daratan di bumi mampu menumbuhkan bahan baku biodiesel tersebut. Ini berakibat pada meningkatnya hasil produk dan ekspansinya yang luas ke seluruh dunia.

Munculnya kekuatan ekonomi baru seperti China, India, dan Brasil

Alotnya perundingan Doha tersebut, tidak bisa dilepaskan dari munculnya raksasa ekonomi baru yang dulunya merupakan negara berkembang. Pada beberapa dulu, negara berkembang hanya bisa menjadi boneka bagi negarta maju dalam memajukan dan menyebarluaskan rezim ekonominya. Ketiga negara diatas pada dekade 1960-1980-an merupakan negara-negara miskin dengan mayoritas penduduknya masih bertani. Khusus India dan China bisa dikatakan melakasanakan politik tertutup terhadap ranah ekonomi mereka. Sementara Brasil sedikit lebih baik hanya saja pada saat itu dipimpin oleh rezim militer yang keras yang dekat dengan AS.

Tampak ada keinginan dan tekad yang kuat dari negara-negara tersebut pada sekarang ini ingin mengakhiri praktik kolonial yang telah mengakar sejak dulu kala. Mereka ingin menjadi penyeimbang baru dalam peta kekuatan ekonomi dan politik dunia saat ini. Mereka tampak menjadi lokomotif dalam perundingan tersebut membela kepentingan negara-negara berkembang. Walaupun telah tampak menjadi raksasa ekonomi yang baru, ketiga negara tersebut juga masih mengalami kesulitan dalam pemerataan pendapatan penduduknya. Tingkat penduduk miskin masih tinggi. Selain itu pertanian merupakan basis perekonomian mereka. Oleh sebab itu, ketiga negara tersbut sangat gigih mempertanykan tarif bea masuk negara maju serta subsidi yang besar di negara-negara maju untuk pertanian. Mereka juga menolak permintaan negara maju mengenai pembukaan pasar yang seluas-luasnya bagi produk negara maju ke negara berkembang.

Marxisme

Dengan meningkatnya penetrasi di mekanisme pasar terhadap semua aspek kehidupan kita, sangat memungkinkan kita berpendapat hasil penelitian dari kedua hal yaitu dinamisme yang luar biasa dan adanya kontradiksi yang bertentangan terhadap sistem kapitalis, ternyata lebih relevan untuk saat ini daripada di masa lalu. Beberapa bagian yang paling menonjol dari pemikiran Marx yaitu analisisnya mengenai krisis. Kaum Marxis menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan internasional antara negara-negara memungkinkan (dan cenderung menyembunyikan) ketidakadilan dari sistem kapitalis global. “Para penteori ini memiliki sifat yang radikal dalam dua hal yaitu: mereka percaya bahwa teori dan praktik tidak bisa dipisah dan merupakan bagian dari pemikiran dan tindakan yang berdiri sendiri. Kedua, mereka tidak puas dengan Reformasi Internasional yang terbatas pada hubungan antarnegara ,terutama bila mereka menyandarkan hal itu pada kapasitas dan kemauan dari yang biasa disebut dengan adikuasa”[1]. Mereka pikir kita perlu merefleksikan secara kritis kondisi-kondisi historis yang mendasari ketidakdilan, kekuatan-kekuatan materil dan ideologis yang mempertahankannya dan kekuatan potensial untuk melaksanakan reformasi radikal terhadap sistem ini demi kepentingan sebuah tata dunia yang lebih adil.

World-system theory

World-system theory bermula dari upaya sistematik pertama untuk menerapkan pemikiran Marx dalam lingkup internasional. Karya yang paling berpengaruh dalam perdebatan ini adalah buku yang ditulis oleh Lenin yang berjudul Imperialism, the Highest Stage of Capitalism. Lenin berargumen bahwa kapitalisme telah memasuki tahap tertinggi dan terakhir seiring dengan berkembangnya monopoli kapitalisme serta munculnya konsep core dan periphery. Dengan berkembangnya konsep core dan periphery ini, tak ada lagi keselarasan kepentingan di antara seluruh pekerja.

Menurut para teoris World-system, ketiga zona tersebut berhubungan satu sama lain dalam hubungan yang menjadikan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Ketiga zona tersebut membentuk dimensi spasial dalam world-economy. Salah satu kontradiksi yang dihadapi oleh kapitalisme adalah krisis underconsumption. Untuk memaksimalkan keuntungan, kaum kapitalis menekan upah buruh sedemikian rupa hingga mereka tidak lagi dapat membeli hasil produksi. Hal ini akan menimbulkan krisis underconsumption. Ia berargumen bahwa World-system modern pada saar ini tengah mengalami krisis.Dalam perkembangannya banyak penteori world-system lain yang memberi masukan. Contohnya Christopher Chase-Dunn, ia berpendapat bahwa bentuk produksi kapitalis memiliki sebuah alasan politik maupun militer dan eksploitasi ekonomi memainkan peranan penting.

Bentuk organisasi sosial yang dominan menurut Wallerstein adalah world-system, yang terbagi ke dalam dua tipe, yaitu world-empire dan world economy. Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah pembuatan keputusan mengenai distribusi sumber daya. Dalam world-empire, sistem politik yang terpusat menggunakan kekuasaannya untuk mendistribusikan sumber daya dari daerah periphery ke daerah core/inti. Dalam world-economy, hal itu dilakukan melalui pasar sebagai media dengan banyak pusat kekuasaan yang bersaing satu sama lain.World-system yang modern adalah salah satu contoh dari world-economy.

Negara berkembang versus negara maju

Pada era pasca Perang Dunia ke Dua, kerap diasumsikan bahwa, karena negara-negara Amerika Utara telah maju dan negara-negara Eropa Barat sudah berkembang maka tantangannya adalah agar negara-negara miskin menerapkan kebijakan yang sama karena membantu mereka untuk meraih pertumbuhan pesat. Bila suatu negara tumbuh, ia juga akan berkembang. Oleh karena itu, tidak berkembang didefinifsikan dengan sebuah perbandingan antar negara-negara kaya dan negara miskin dan perkembangan berarti menjembatani kesenjangan dengan bantuan sebuah proses tirun sehingga yang belum berkembang lebih mendekati yang berkembang.

Negara-negara berkembang yang mulai merintis menjadi negara superpower baru dalam percaturan perdagangan dunia sepertinya berusaha untuk memotong rantai penyiksaan yang dilakukan oleh kawasan core. Tak dapat disangkal mulai 1990-an ketika praktik neoliberal mulai bergema berkat duet Thatcher dan Reagan, kebanyakan petani-petani di negara berkembang sepertinya kewalahan. Negara-negara seperti Thailand dan Vietnam bisa dikatakan aman dari “serbuan yang tak bertuan” dari Benua Barat. Akan tetapi, China dan India berhasil meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya hanya saja jumlah penduduknya membuat mereka harus menerapkan kebijakan pangan yang hati-hati. Sementara itu, Afrika, Amerika Latin, Asia Selatan tampaknya harus rela menanti perbaikan infrastruktur di negaranya sendiri.

Menerapkan kebijakan pangan yang hati-hati , membuat kebijakan India, China, India dalam sektor pertanian semakin terasa kuatnya. AS menolak usulan China dan India bahwa negara berkembang diperbolehkan menaikkan tarif impor pertanian sebesar 25 persen jika volume impor naik 15 persen. Washington bersikeras kenaikan tarif impor pertanian sebesar itu dapat dilakukan jika volume impor naik 40 persen. India berpendapat pagu sebesar itu terlalu tinggi. Pada saat volume impor dinaikkan sebesar itu akan banyak petani yang frustasi dan bunuh diri.

Cukup jelas dalam hal tersebut bukti kearoganan negara berkembang dalam mengikuti setiap aturan yang dilakukan oleh negara maju telah membuat. Ada semacam trauma bagi negara berkembang yaitu mengapa teori modernisasi yang dilakukan terhadap mereka didekade lalu ternyata semakin memperkeruh suasana. Jawabannya adalah bahwa teori modernisasi tersebut tidaklah bersifat universal. Setiap kawasan/ negara memiliki ciri khas tersendiri. Ada nilai dan identitas dalam masyarakat tersebut yang harus diperhatikan selain pengaruh dari internal yang kuat. Teori modernisasi terbukti gagal di sejumlah kawasan penting Dunia ke tiga.

Bagi negara-negara Eropa Barat, Marshall Plan dianggap sangat berjasa dalam mempertahankan status quo liberalisme terhadap komunisme Sovyet, bahkan sampai sekarang. Ini semakin diperketat dengan pendirian organisasi/rezim internasional demi tercapainya dan terjaganya perdaganan dunia. Selama dekade 1940an-1970-an Amerika muncul sebagai negara adikuasa dunia. Institusi IMF dan GATT digunakan untuk melancarkan Konsensus Washington. Tampaknya teori modernisasi akan berhasil jika sebuah negara telah memiliki pondasi-pondasi sumber penglayakan hidup. Sedangkan bagi negara yang gagal lebih disebabkan oleh karakteristik budaya dan penduduknya serta geografis.

Sementara itu, Cox menerapkan konsep hegemoni Gramsci ke dalam lingkup internasional dengan berargumen bahwa hegemoni adalah sesuatu yang penting untuk mempertahankan stabilitas dan keberlangsungan seperti halnya dalam level domestik. Dalam analisis Cox mengenai dua hegemon (AS dan Inggris), gagasan hegemonik yang mereka gunakan adalah perdagangan bebas. Cox mempertahankan pandangan Marxis bahwa kapitalisme adalah sistem yang secara bawaan tidak stabil dan memiliki kontradiksi-kontradiksi yang tidak dapat dihindari.Cox tetap menjaga pandangan Marx bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem yang tidak stabil, dengan kontradiksi. Krisis ekonomi yang tidak tampak akan berlaku sebagai katalis untuk pentingnya counter-hegemoni movement.

Mulai tahun 1970-an , hegemony Amerika mulai goyah. Ini terbukti dengan runtuhnya Sistem Bretton Woods. Sistem kapitalis dunia tampak kacau berupa tingginya inflasi AS saat itu dan krisis minyak dunia. Bantuan-bantuan paket ekonomi yang mereka berikan dulunya kepada Jerman Barat dan Jepang , sekarang telah berbalik arah menjadi keberhasilan bagi kedua negara tersebut. Pada masa ini, Jepang dan Jerbar mulai mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dunia. Negara-negara berkembang belum mempunyai power saat itu. Negara negara tersebut bisa dikatakan merupakan negara-negara yang sangat peripheri karena sangat dikendalikan oleh mekanisme perdagangan dunia yaitu berupa adanya struktur yang dikuasai oleh kapitalis. Mereka pada umumnya terjebak dengan resep-resep ekonomi Washington yang dijalankan oleh IMF dan World Bank serta WTO (dulunya GATT).

Cox sendiri pernah mengatakan ada dua mode pembangunan, yaitu mode kapitalis dan mode redistributif. Sebagai contoh gerak awal dan penekanan terhadap pembangunan redistributif melalui tekanan internasional terhadap rezim dimana ekonomi pertanian yang masih dominan harus bersaing dengan negara-negara industri maju di Eropa dan AS. Hal ini jelas-jelas sedang terjadi di depan mata kita. Tak dapat disangkal ciri khas perekonomian negara berkembang adalah dualisme perekonomian. Di satu sisi, sebagian besar penduduknya masih bermukim di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian. Sedangkan dikotanya mencapai sekitar 30-40 %, dan bekerja pada sektor jasa/non-tradable. Sayangnya, negara-negara berkembang sebagian besar terperosok dengan sektor jasa yang tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja seperti manufaktur dan pertanian. Inilah hal yang sekiranya dipertimbangkan oleh China, India Brazil yang tidak hanya kuat sebagai “negara berkembang termaju” melainkan juga pelaku penting dalam ekspor dan perdagangan komoditas internasional. Seperti analisis Cox sebelumnya mengenai dua hegemon (AS dan Inggris), gagasan hegemonik yang mereka gunakan adalah perdagangan bebas. Melalui mode kapitalis itulah hegemoni berupa perdagangan bebas itu dilakukan dan disebar untuk mengoyak mode redistributif yang lebih mengutamakan pemerataan.

Inspirator Cox, Gramsi , menggunakan konsep hegemoni untuk mengungkapkan suatu kesatuan antara tujuan kekuatan materi dan ide-ide etika politik – dalam istilah penganut Marx, suatu kesatuan dari struktur dan suprastruktur dimana kekuatan berdasarkan penguasaan terhadap produksi dirasionalisasikan melalui sebuah ideologi yang menggabungkan kompromi dan konsensus antara kelompok yang berkuasa dan yang subordinat. Dalam hal ini penguasaan terhadap suatu produksi sangat ditentukan oleh sebuah ideologi yang kuat dan tersistem dengan baik. Negara-negara Barat adalah mereka yang disebut dengna kelompok yang berkuasa. Sedangkat negara berkembang merupakan negara subordinat. Inilah yang terjadi ketika putaran Doha yang alalu, ketika kedua belah pihak tidak bisa melakukan konsessus dan kompromi. Seakan dipisahkan oleh jurang pemisah termat dalam. Negara maju tidak mau berkorban banyak kalau pasar negara berkembang boleh dibuka seluas-luasnya. India merupakan pihak yang paling keras menentang ide tersebut.

Mulai kuatnya peta persaingan politik global membuat tidak adanya kekuatan yang magic yang mampu menggiring kedua belah pihak untuk berkompromi. Ketika negara subordinat mulai menggeliat menjadi negara yang berkuasa, struktur yang tercipta mulai memmudar. Hnaya saja negara berkembang tadi belum bisa mengambil keutusan layaknya veto atau belum memilki influence yang besar terhadap yang lain. Akan tetapi negara berkembang bisa menjadi penghadang bagi negara maju setiap rapat di PBB agar niat negara maju tadi tidak mudah dilakukan kalau rencana negara maju itu terlalau merugikan.

Seorang Dependencia School, Andre Gunder Frank menyatakan masyarakat selalu merupakan sebuah konstruksi mitologis dari ekonomi politik liberal pada 1950-an. Hal ini bisa dilhat pada adanya dualisme atau wilayah-wilayah dan sektor-sektor yang terintegrasi ke dalam ekonomi pasar dan mereka yang secara sistematis terpinggirkan/termarjinalkan. Sudah banyak bukti dari pengalaman ini. Kasus di Afrika, Asia Tengah, Asia Selatan, Amerika Latin merupakan ladang dari kemiskinan. Kita menjadi manusia yang dikendalikan harga-harga mahal bukannya mengendalikan harga barang-barang tersebut. Itulah kira-kira hal yang membuat orang menjadi termajinalkan layaknya sebuah negara juga. Mungkin itulah yang dirasakan negara berkembang ketika posisinya termajinlakan.

Walaupun kita semua telah hidup di zaman milennium. Kita tidak bisa menyangkal bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang bisa dikatakan abadi tidak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Yang menjadi persoalan di kemanusiaan harinya, penduduk yang bermata pencarian di sektor pertanian di negara maju rata-rata dibawah 10% jumlah penduduknya. Sedangkan di negara berkembang rata-rata jumlah penduduk yang berada di sektor pertanian mencapai 40-50% dari jumlah penduduknya. Tentunya dalam hal ini ada perbedaan yang teramat besar pada kebijakan ekonomi nasionalnya menyangkut sektor pertanian. Belum lagi fakta bahwa kehidupan petani di negara maju lebih sejahtera dan dilengkapi dengan teknologi cangggih dalam meningkatkan kapasitas produksinya. Sementara di negara berkembang cara bertanam masihnya manual kebanykan.

Tak heran pula jika negara-negara berkembang merasa kebertaan dengan opsi negara maju terkait pembukaan volume impor yang lebih besar mencapai 40 % jika ketika tariff dinaikkan 25%. Kerentanan negara berkembang terhadap serbuan produk asing yang lebih murah berkat disubsidi pemerintahnnya menyebabkan peoduk lokal kurang bersaing dan menelantarkan nasih jutaan petani. Negara maju merupakan negara yang telah mapan secara ekonomi dan stabil dalam sektor pertanian, tentunya akan sangat berbeda dengan negara berkembang ketika dihadapi oleh situasi krisis pangan dan energi saat ini.

Sekjen PBB telah menyampaikan kekeceawannya terhadap kegagalan Putaran Doha ini. Padahal ia optimis jika peutaran ini selesai diharapkan persoalan krisis pangan dunia dapat diselesaikan secepat mungkin guna meningkatkan investasi global . Sedangkan dirjen WTO, Pascal Lamy pesismis dengan sistuasi sekarang.

Satu hal yang dapat dicatat, AS dan sekutunya dengan hegemoninya berhasil sekali lagi melanggengkan status quo kapitalisme berupa kepeduliannya yang tinggi terhadap perdaganan bebas. Sedangkan ngara berkemabng sekali lagi kecewa atas sikap negara maju yang abai dengan nasib ratusan juta petani diselurh dunia.







[1] Martin Griffiths.2001.Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan International.hal 147.

Tidak ada komentar: