Selasa, 23 September 2008

krisis pangan dunia (Pengantar)

“Kita lupa bahwa pertanian itu juga industri,” kata editor The American Thinker, J.R. Dunn[1]

PENGANTAR

Badan Pangan Internasional (FAO) yang melaporkan bahwa saat ini kondisi pangan dunia sedang kritis. Stok pangan di pasar dunia mencapai level terendah sejak tahun 1980-an. Mengalami penurunan hingga lima persen dibanding kondisi tahun lalu. Diperkirakan stok akan turun menjadi 405 juta ton pada akhir 2008. Kenyataan ini tentu mengejutkan sebab jika hal ini terjadi, maka akan menyebabkan stok pangan dunia menyusut, terendah setelah 1982[2].

Berdasarkan catatan IRRI, lonjakan harga beras dunia terjadi akibat penawaran beras yang relative tetap di tengah permintaan meningkat. Boleh dikatakan, sejak tahun 2000 produksi beras dunia mengalami gejala pelandaian (leveling off).Di sisi lain, permintaan beras dunia terus meningkat sebagai dampak pertambahan penduduk dan melonjaknya konsumsi beras di negara-negara Afrika.Naiknya permintaan beras dari Negara-negara itu menambah semarak pasar beras dunia. Perburuan beras pun makin sengit, padahal volume beras yang diperdagangkan di pasar dunia merosot. Dikabarkan tahun ini sekitar 100 juta orang di dunia terancam krisis pangan.

Kenaikan harga pangan pokok dunia telah menyebabkan kenaikan 18 persen harga pangan di Cina, 13 persen di Indonesia dan Pakistan, 10 persen di Amerika Latin, Rusia, India dan lain-lain[3]. Dari Afrika sebelah selatan sampai sub-Sahara di utara, dari Meksiko sampai Brazil di jajar selatan benua Amerika, dari Mesir sampai Suriah di Timur Tengah, dari Pakistan sampai Bangladesh di lintang selatan Asia, manusia menjerit dijepit harga pangan yang melambung melampaui daya beli mereka.Sebaliknya, negara-negara maju asyik mengonversi jagung, kedelai, gandum dan hasil pertanian lainnya menjadi etanol untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang semakin sulit, kian mahal, dan bertambah sukar mereka kontrol.“Dibutuhkan 1,8 kuintal jagung untuk membuat 25 galon etanol. Jumlah sebanyak itu cukup untuk menghidupi seorang dewasa selama setahun,” kata Benjamin Senauer dalam “How Biofuels Could Starve the Poor” (Foreign Affairs, Mei/Juni 2007)[4].

Josette Sheeran, direktur eksekutif Program Pangan Dunia PBB, bahkan menyebut krisis pangan sebagai “tsunami diam-diam” yang akan menggulung siapa saja, sementara penyaji talkshow terkenal Amy Goodman menganggap krisis pangan kali ini adalah yang terburuk dalam 45 tahun terakhir[5]. Klaim provokatif dilontarkan Presiden Bank Dunia Robert Zoelick yang menilai krisis pangan bakal menjerumuskan manusia ke dalam perang dan kerusuhan. Ini diamini kolumnis International Herald Tribune, Thomas Fuller, yang menengarai krisis pangan di Asia bakal menimbulkan implikasi politik dashyat.

Data kenaikan harga pangan dunia[6]

Gandum : 130%

Kedelai : 87%

Beras : 74%

Jagung : 31%

Sumber : Bloomberg

PENYEBAB KRISIS PANGAN

1. Naiknya harga minyak dunia.

Kenaikan harga minyak dunia selalu menjadi determinan atas krisis pangan yang melanda dunia saat ini, biang keladinya adalah lonjakan tajam harga minyak bumi. Harga minyak yang menggila, mendekati angka US$105 per barrel, mendorong kenaikan harga sarana produksi dan ongkos angkut. Hal ini ditambah dengan produksi minyak bumi dan gas tak bisa mengikuti kenaikan permintaan, dan akhirnya harga energi juga naik tajam. Tragisnya, negara-negara maju memutuskan untuk mengalihkan pemakaian energi berbahan bakar fosil ke bio-fuel. Minyak sawit dipakai untuk bio-diesel. Jagung, tebu dan singkong digunakan untuk bio ethanol.

2. Penggunaan biofuel secara massive di negara maju.

Di saat negara dunia ke tiga tengah berjuang mengisi perut mereka dengan makanan, negara maju lebih sibuk mengisi mobil mereka dengan bahan bakar nabati. Insentif yang digelontorkan pemerintah di masing-masing negara teramat besar untuk mendukung proyek ramah lingkungan tersebut. Ini dilakukan dalam rangka semakin meningkatnya harga minyak dunia yang turus merangkak naik mencapai ratusan dollar per barel.

Perubahan yang terjadi sangat drastis dan mendasar, berakibat pada kuantitas ekspor mereka ke negara lain. Jika dulu negara yang kelebihan pangan bisa mengekspornya ke negara tetangga atau yang membutuhkan, sekarang hal itu tidak terjadi lagi. Kelebihan bahan pangan mereka dialihkan untuk proyek biodiesel dan biofuel sehingga tidak ada lagi ekspor atau ekspor dibatasi untuk memunuhi kebutuhan energi dalam negeri terlebih dahulu. Yang patut disayangkan adalah tindakan negara maju secara drastis mengubah struktur ekspor mereka tanpa adanya investasi pertanian serta alih teknologi pertanian di negara berkembang.

3. Pemanasan gobal.

Pemanasan global juga memainkan peranan penting dalam dalam menyumbang krisis pangan global. Pemanasan global telah membuat berbagai macam bencana alam terjadi dalam bentuk yang mengerikan dan banyak memakan korban jiwa dan materil. Mulai dari banjir, tanah longsor, kekeringan, badai ataupun angin topan. Sialnya, kebanyakan yang menjadi korban adalah negara berkembang. Seperti kasus India dan Bangladesh atau Indonesia sendiri. Negara-negara yang disebut diatas, merupakan lumbung-lumbung padi beras terutama di Asia, dengan banyaknya bencana alam berupa banjir dan kekeringan telah membuat hasil panen menjadi gagal dalam jumlah yang teramat besar, mengakibatkan berkurangnya stok cadangan beras di negara tersebut, akhirnya ekspor beras dan pangan lainnya menjadi berkurang.

4. Meroketnya Perekonomian China dan India

Semenjak dasawarsa 90-an, India dan China mulai merangkak menjadi macan Asia yang baru. Semakin terasa ngaumannya pada dekade 2000-an ini. Dengan jumlah penduduk yang mencapai sekkitar 40 % populasi dunia, plus dengan pertumbuhan ekonomi diatas 8 % membuat transformasi sosial terjadi secara massive dan mencengangkan. Seperti kasus China, diperkirakan tahun depan, PDB per Kapita China akan mencapai 3000 dolar AS. Dengan demikian jumlah keluarga kelas menengah di China akan semakin bertambah, setidaknya saat ini jumlah keluarga menengah di China diperkirakan akan mencapai 200 juta dari 100-150 juta pada tahun 2004. Dengan jumlah yang sebanyak itu, dan dengan pendapatan yang semakin baik pada akhirnya mengubah pola makan mereka juga. Dari yang awalnya nasi berubah menjadi daging. Setidaknya penduduk China mengonsumsi 1,6 juta babi/hari, 24 juta ayam/hari. Ini adalah hal yang wajar karena semenjak 1978, 550 milyar dollar US telah mampir ke Cina berupa FDI[7].Kasus serupa juga terjadi di India dengan jumlah keluarga menengah yang diperkirakan mencapai 100 juta.

5. Liberalisasi perdagangan sektor pertanian dan komoditas.

Ini membuat negara berkembang keteteran dan merasa dikhianati. Pertama, negara maju membatasi impor mereka berupa tariff yang tinggi terhadap produk pertanian dan perkebunan negara berkembang. Sementara produk perkebunan dan pertanian mereka sangat ramai membanjiri pasar domestik negara berkembang yang mengakibatkan produk lokal kalah bersaing dan terseok-seok karena harga yang lebih murah dan kualitas yang baik. Produk yang murah akibat tingginya subsidi di negara tersebut terhadap sektor pertanian.

Membanjirnya investor asing di sektor komoditas tanaman pangan, membawa konsekuesi tragis bagi petani. Tanpa subsidi pertanian dan modal apa adanya petani akan bersaing langsung dengan investor asing dan kekuatan pasar dunia. Berdasarkan kesepakatan agreement on agriculture World Trade Organization (WTO), ditargetkan tahun 2015 secara resmi pasar bebas diberlakukan. Segala hambatan perdagangan (trade barrier) dunia diminimalisasi. Negara-negara yang tergabung dalam WTO didorong seluas-luasnya membuka akses pasar domestik dan dunia. Seluruh komoditas dan jasa vital bebas keluar masuk negri untuk diperdagangkan.

KEADAAN DUNIA (TERKAIT KRISIS PANGAN DUNIA) SAAT INI

Kerusuhan di beberapa negara

Harga bahan pokok seperti gandum, beras, dan jagung semuanya naik, menyebabkan kenaikan pangan secara keseluruhan mencapai 83 persen dalam tiga tahun terakhir, kata Bank Dunia[8]. Kenaikan tajam harga pangan menyebabkan protes di banyak negara termasuk di Mesir, Pantai Gading, Ethiopia, Filipina, dan Indonesia. Di Haiti, aksi protes pekan lalu berubah menjadi kerusuhan, menyebabkan lima orang tewas dan pemerintah harus mengundurkan diri. Di awal 2008, di Kamerun terjadi kerusuhan besar yang memakan korban meninggal 20 orang. Beberapa negara produsen pangan utama seperti India, Cina, Vietnam, dan Mesir telah memberlakukan pembatasan ekspor.Kebijakan ini membuat beberapa negara pengimpor pangan terpukul, seperti Bangladesh, Filipina, dan Afghanistan.

Puluhan ribu petani Meksiko turun ke jalan memprotes pencabutan tariff bea masuk beberap komoditas pertanian khususnya jagung dan kacang kacangan. Hal ini menunjukkan betapa berat penderitan mereka akibatnya melambungnya harga komoditas pangan. Memang masalah perut memang merupakan hal krusial. Yang membuat orang orang bisa berbuat apa saja ketika mereka dilanda kelaparan. Meroketnya harga bahan bahan makanan bisa memicu semakin miskinnya lebih dari 100 juta orang dibelahan dunia. Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional dan mendesak semua negara untuk mengambil tindakan tegas demi mengatasi krisis tersebut. Bank Dunia misalnya menekankan prioritas utama yang harus segera dilakukan adalah meningkatkan dana bagi program bantuan makanan PBB. Laporan Bank Dunia minggu lalu menunjukkan bahwa harga harga bahan makanan, termasuk bahan pokok seperti beras dan gandum mengalami kenaikan tajam dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Laporan Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD) 14 Februari 2008 memperkirakan kenaikan jumlah orang yang terancam kelaparan di dunia mencapai 16 juta orang dari setiap satu persen kenaikan harga bahan pangan pokok dunia. Dengan laju kenaikan sebesar itu, IFAD memperkirakan terdapat 1,2 miliar orang yang akan mengalami krisis pangan kronis di seluruh dunia pada tahun 2025. Jumlah ini lebih tinggi 600 juta orang dari perkiraan sebelumnya. Di Indonesia, jumlah orang miskin juga tidak sedikit. [9]

Dalam masalah beras yang menjadi makanan pokok banyak bangsa di dunia, seperti China dan Indonesia, Departemen Pertanian Amerika Serikat memperkirakan bahwa pada 2007-2008, stok beras dunia hanya mencapai 72 juta ton. Jumlah ini terendah sejak 1983-1984 atau hanya separuh dari hasil panen puncak tahun 2000-2001. Stok beras dunia yang hanya separuhnya hasil panen tahun 2000-2001 itu justru terjadi di tengah melonjaknya harga beras dan minyak bumi dunia yang sudah menyentuh angka 113 dolar AS per barel. Harga beras di pasar dunia pun sudah tidak lagi murah. Portal Bisnis dan Keuangan Irlandia, "Finfacts", edisi 18 April 2008, menyebutkan, harga satu ton beras di pasar dunia sudah di atas 1.000 dolar AS atau naik sebesar 47 persen sejak Maret 2008[10].

Sejumlah kalangan memprediksi, gejolak harga komoditas pangan dunia belum mereda hingga akhir 2008. Para spekulan dan pemilik modal bakal terus memainkan harga di bursa komoditas global. Aksi borong masih mewarnai sejumlah komoditas pangan, seperti gandum, kedelai, gula, dan jagung.

Menimbang gambar-gambar terbaru dari Haiti, Mesir,Kamerun atau Indonesia, tidak berlebihan jika direktur  Dana Moneter Internasional-Dominique Strauss-Kahn memperingatkan akan konsekuensi mengerikan yang akan muncul. Satu milyar orang yang kelaparan, akan membahayakan ekonomi global dan pada akhirnya mengancam demokrasi. Jika negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara tidak menghendaki, kemakmuran dan keamanan di negaranya terganggu oleh dampak bencana kelaparan global, mereka harus segera bertindak. Amat fatal, jika terlalu lama menunggu program memerangi kelaparan, seperti halnya politik mengulur waktu dalam perang melawan perubahan iklim global.    
 
Badan Pangan Dunia (FAO) juga menunjukkan hal senada. Dirjen FAO Jacques Diouf menyatakan, kemungkinan besar harga tidak akan pernah turun[11]. Warga di negara-negara miskin kini mulai bergelimpangan di jalan karena kelaparan. Menurut Diouf, di tengah kenaikan harga pangan kenyataannya banyak orang- orang yang sekarat. FAO mencatat sedikitnya ada 37 negara yang menghadapi krisis pangan. Sementara kenaikan harga pangan kini terjadi di negara-negara di Afrika, Haiti, termasuk Indonesia. Permintaan bahan pangan melejit dinegara-negara berkembang, seperti Cina dan India.Komoditas jagung menjadi bahan pangan yang mengundang spekulasi. Pasalnya, jagung selain digunakan sebagai bahan pangan juga untuk bahan bakar ramah lingkungan (biofuel). Stok global yang mulai berkurang berimbas pada naiknya harga bahan pangan lain seperti tepung,maizena, dan beras.

RESPON DUNIA INTERNASIONAL

Surat Presiden Yudhoyono

Kondisi ini telah mengkhawatirkan banyak negara, termasuk Indonesia, mengingat rentannya negara-negara itu dari instabilitas dan kekerasan sosial sebagaimana belum lama ini terjadi di Haiti. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sudah menunjukkan kepekaannya dengan menyurati Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon untuk menyampaikan kekhawatiran Indonesia pada krisis pangan dan minyak mentah dunia. Surat Presiden Yudhoyono yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pertengahan April lalu itu juga berisi harapan agar PBB dapat memprakarsai upaya global guna menangani krisis tersebut.

Bantuan pemerintah Australia

Pemerintah Australia akan menyediakan bantuan darurat senilai Rp258 milyar (A$30 juta) kepada negara-negara yang terkena dampak melambungnya harga bahan pangan pokok. Bantuan 258 milyar yang diumumkan Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith tersebut merupakan tanggapan atas permintaan darurat Program Pangan Dunia.

Program Pangan Dunia baru-baru ini telah meminta dana tambahan untuk mengatasi kesenjangan kritis operasi pemberian bantuan pangannya akibat melambungnya harga pangan dan bahan bakar minyak.Australia adalah pendukung kuat Program Pangan Dunia yang telah menyediakan lebih dari Rp8,6 triliun (A$1 milyar) untuk operasi program tersebut sejak 1963.

Bantuan dari Inggris

Inggris mengumumkan telah menyedikan paket bantuan sebesar 455 juta poundsterling, termasuk paket bantuan sebesar 30 juta poundsterling untuk WFP dan untuk keperluan penelitian medote produksi pangan. Inggris juga menyatakan menarik dukungannya terhadap penggunaan biofuel dan akan mengkaji ulang teknologi biofuel. Inggris juga mengingatkan para menteri negara-negara Eropa untuk memotong target produksi biofuel jika ternyata produksi biofuel memicu kenaikan harga-harga pangan.Sementara itu, Komisi Eropa juga sudah menjanjikan dana bantuan sebesar 100 juta poundsterling bagi negara-negara yang terkena dampak kekurangan bahan pangan paling buruk.

Bantuan IDB (Islamic Development Bank)

IDB memberikan bantuan sebesar 1,5 milyar dolar Amerika untuk menangani krisis ini. IDB akan memanfaatkan dana tersebut untuk mendukung upaya mengatasi masalah krisis pangan dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Program yang dikemas dalam Deklarasi Jeddah akan berlaku sampai dengan lima tahun.
Dalam jangka pendek, program akan diprioritaskan kepada negara yang membutuhkan bantuan sesegera mungkin. Program jangka pendek itu, di antaranya pengadaan persediaan bahan pangan, dan penyediaan input pertanian, seperti obat-obatan, bibit dan, pupuk. Selain itu, Deklarasi Jeddah ini diarahkan untuk membantu negara-negara anggota dalam meningkatkan produktivitas agribisnis, termasuk memproduksi sarana dan alat pertanian. (SOLPAMILI PRATAMA HI UNPAD 2007)



[1] M. Siddiq.A Jafar. 2008. Krisis Pangan Lebih Menakutkan Ketimbang Krisis Energi. www.wordpress.com. Diakses pada 4 Juni 2008

[2] Fatkhuri,M.A. 2008. Kelangkaan Pangan Dunia. www.suarawarga.com. Diakses pada tanggal 4 Juni 2008.

[3] Aris Solikhah . 2008. Liberalisasi Tanaman Pangan , Solusi atasi Krisis Pangan?. www.nuralia.multiply.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[4] M. Siddiq.A Jaffar. 2008. Krisis Pangan Lebih Menakutkan Ketimbang Krisis Energi. www.wordpress.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[5] M. Siddiq.A Jaffar. 2008. Krisis Pangan Lebih Menakutkan Ketimbang Krisis Energi. www.wordpress.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[6]Keprihatinan Soal Krisis Pangan. 2008. www.bbcindonesia.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[7] James Kynge. 2007. Rahasia Sukses Ekonomi China. Bandung : Mizan. Hal.67-96.

[8] Keprihatinan Soal Krisis Pangan. 2008. www.bbcindonesia.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[9] Nasution, Rahmad. 2008.Kaum Papa Terjepit di Tengah Krisis Energi dan Pangan Dunia. www. antaranews.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[10] Nasution, Rahmad. 2008.Kaum Papa Terjepit di Tengah Krisis Energi dan Pangan Dunia. www. antaranews.com. Diakses pada 4 Juni 2008.

[11] Fatkhuri,M.A. 2008. Kelangkaan Pangan dunia. www.suarawarga.com. Diakses pada tanggal 4 Juni 2008.

Terorisme Internasional merupakan ancaman bagi hegemony Amerika Serikat setelah Perang Dingin

Terorisme Internasional merupakan ancaman bagi hegemony Amerika Serikat setelah Perang Dingin

oleh: SOLPAMILI PRATAMA

Seperti yang kita ketahui ada perbedaan konsep hegemony kaum Realis dan hegemonynya Gramsci. Realis lebih memusatkan pada aspek security/militer, maka Gramsci lebih menitikberatkan pada hegemony dalam ekonomi politik internasional dan hegemony budaya. Mengacu pada hegemony Realis maka Terorisme Internasional bukanlah ancaman hegemony bagi Amerika Serikat. Intelijen yang rapi, influence serta power-nya dalam mengajak masyarakat dunia dalam memerangi Terorisme Internasional bisa dikatakan berhasil. Yang harus diingat Amerika mempunyai sekutu yang handal, yang juga kuat secara pertahanan dan kebanyakan memang negara maju, sebagai contoh NATO. Teknologi pertahanan AS semakin siap dan canggih serta kualitas SDM-nya berupa pasukan militer yang kuat dan terlatih tidak perlu diragukan. Dari segi anggaran militer Amerika menggelontarkan dana yang melebihi PDB Indonesia saat ini (terbesar di dunia) . Ketika Amerika menghadapi sebuah persoalan menyangkut issue keamanan dan pertahanan berbagai planning dari A-Z telah disususun dengan rapi, basis informasi yang kuat, banyak dan rapi semakin membantu dalam melacak setiap kejadian/peristiwa yang berhubungan dengan terorisme.

Sedangkan mengacu pada hegemonynya Gramsci, Terorisme Internasional juga bukan ancaman bagi hegemony Amerika. Meskipun para Terorisme Internasional juga memiliki pendanaan yang kuat dan para ahli, tetapi posisi mereka bisa dikatakan segmented. Mereka tidak bebas dalam menyebarkan nilai-nilai mereka dan selalu menjadi incaran serta dicap negatif oleh masyarakat internasional. Peran media massa Amerika dan sekutunya sangat penting sekali dalam membentuk opini publik bahkan cenderung menjadi sarana pencucian otak bagi masyarakat internasional yang mudah terpengaruh. Sebaliknya yang lebih menjadi ancaman adalah sistem kapitalis yang telah lama disembahnya, paling jelas pada masa pemerintahan Reagan sampai sekarang. Defisit semakin membengkak, utang juga semakin menumpuk. Kita bisa lihat sendiri bagaimana keuangan AS porak-poranda akibat krisis macet perumahan pada tahun lalu. Satu demi satu bank dan lembaga finansial serta asuransi menyatakan kerugian dalam jumlah besar. Jutaan orang tidak mampu melunasi kredit perumahannnya.Semenjak itu, pasar saham dan pertumbuhan ekonomi dunia terpaksa harus dipangkas perkuartal. Hal ini membuat negara lainnya (seideologi ekonomi) juga terinfeksi dan investor beserta superholding dari berbagai negara terutama Asia mulai menanamkan modal ke Amerika dalam jumlah besar dalam membantu kerugian yang dihadapi bank-bank, lembaga finansial tersebut. Negara sebesar AS akhirnya disuntik oleh negara-negara yang sedang berkembang. Uni Eropa yang solid, China dengan ekonominnya yang massive, India dengan teknologi dan informasinya, serta Brazil dengan pangan dan perkebunannya semakin menunjukkan taringnya dalam perekonomian internasional. Jika boleh jujur, yang menjadi ancaman bagi keberlangsungan hegemony AS di sektor IPE adalah dirinya sendiri, keadaan di luar tidak sebegitu besar bila dibandingkan dengan dari dalam.

Gagalnya Putaran Doha

Gagalnya Putaran Doha

OLEH: SOLPAMILI PRATAMA

Sejak terbentuknya WTO awal tahun 1995 telah diselenggarakan lima kali Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang merupakan forum pengambil kebijakan tertinggi dalam WTO. KTM-WTO pertama kali diselenggarakan di Singapura tahun 1996, kedua di Jenewa tahun 1998, ketiga di Seatlle tahun 1999 dan KTM keempat di Doha, Qatar tahun 2001. Sementara itu KTM kelima diselenggarakan di Cancun, Mexico tahun 2003. KTM ke-4 (9-14 Nopember 2001) yang dihadiri oleh 142 negara. Menghasilkan dokumen utama berupa Deklarasi Menteri (Deklarasi Doha) yang menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa dan peraturan WTO.

Sejak dicanangkannya Doha Development Agenda (DDA) pada tahun 2001, perundingan Putaran Doha telah mengalami banyak pasang surut yang ditandai dengan beberapa kali kemacetan sebagai akibat timbulnya perbedaan yang tajam antara negara – negara kunci dalam perundingan isu – isu, khususnya Pertanian, Non Agricultural Market Access (NAMA) dan jasa. Selain itu, perundingan untuk membahas penekanan aspek pembangunan sebagaimana dimandatkan dalam Doha Development Agenda juga sangat lamban dan sering mengalami berbagai kebuntuan.Kebuntuan ini disebabkan karena besarnya kepentingan ekonomi negara – negara (baik berkembang maupun maju) terhadap isu – isu pertanian, NAMA, jasa dan pembangunan. Perundingan di sektor pertanian meliputi 3 (tiga) isu utama, yaitu Akses Pasar, Subsidi Ekspor dan Subsidi Domestik. Topik-topik yang paling hangat disinggung diantaranya adalah mengenai kebijakan tariff negara maju, pembukaan pasar di negara berkembang serta subsidi pertanian yang besar di negara maju.

Kebijakan tariff

Hal yang paling dirisaukan oleh negara berkembang adalah susahnya produk-produk mereka untuk masuk ke pasar negara maju. Maka dari itu penghapusan penghambatan non-tarif perlu dilakukan. Selain itu yang menjadi keprihatinan negara berkembang adalah AS, yang masih enggan menurunkan tariff bea masuk (BM) untuk beberapa produk pertanian. Oleh sebab itu, negara-negara ekonomi baru seperti, India, sangat menentang kuat kebijakan negara Barat tersebut. Bahkan India bersikeras untuk melindungi kesejahteraan petani mereka yang mencapai puluhan bahkan sampai ratusan juta dengan kebijakan yang teramat hati-hati dengan tariff impor.

Sementara itu, UE, mengatakan bahwa pihaknya tidak akan melakukan hal yang berbahaya bagi sektor pertanian. Mereka juga menekankan jika rencana pemotongan tarif subsidi pertanian di negara-negara berkembang bisa dilakukan sebagai hal yang kondisional. Mereka menawarkan perpanjangan pengajuan pemotongan tarif pertanian hingga 60 persen dari 54 persen. Eropa memang telah menyiapkan rencana pemotongan pendapatan para petani yang dinilai akan semakin lebih menyakiti mereka. Namun, hal ini akan dilakukan jika ada jaminan kemajuan pembicaraan,terutama pembahasan tentang tarif industri dan pelayanan.Sementara itu, otoritas Gedung Putih menyerahkan perjanjian perdagangan ke Kongres tanpa ada perubahan seperti yang telah disepakati tahun lalu.

Negara berkembang menuntut negara maju untuk memotong subsidi dan tarif pertanian.Sebab, hal ini telah memberikan dampak negatif kepada para petani beberapa tahun belakangan. Kendati demikian,Amerika Serikat dan Uni Eropa mengatakan mereka hanya mau menyetujui perjanjian jika memberikan kesempatan ekspor baru.Namun, negara berkembang melawan hal itu. Amerika Serikat memiliki tarif yang tinggi untuk produk pertanian seperti gula, produk sehari-hari, tembakau dan daging.Namun dalam pertemuan ini, Amerika diminta memotong tarif produk tersebut. Proposal WTO yang terakhir mengimbau pemotongan tersebut hingga 70 persen pada perdagangan di Amerika Serikat. Selain itu, memperbesar subsidi dari USD13 miliar menjadi USD16,4 miliar.

Dalam kaitan ini, para Menteri G33 menegaskan agar usulan G-33 diterima dengan tidak melakukan liberalisasi (pemotongan tarif) terhadap produk-produk yang mendukung pembangunan pertanian di negara negara berkembang dalam kaitannya dengan peningkatan taraf hidup petani miskin di negara berkembang

Subsidi pertanian yang besar di negara maju

Negara-negara berkembang menyatakan subsidi AS dan UE menghalangi para petani mereka memproduksi, yang berkontribusi terhadap krisis pangan saat ini. Negara berkembang juga menolak proteksi tingkat tinggi yang dinikmati petani-petani negara makmur.
Tapi, negara-negara makmur ingin perbaikan akses terhadap pasar barang industri dan jasa di negara berkembang pesat seperti Brasil, India dan China sebagai imbalan membekukan sektor pertanian mereka sendiri. Salah satu elemen kunci kompromi itu adalah pengurangan subsidi pertanian Amerika Serikat (AS) menjadi US$ 14,5 miliar lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yaitu 15 milyar dollar Amerika.

Tak dapat disangkal, tingginya subsidi pertanian di negara maju telah menyebabkan para petani lebih sejahtera dan memacu sektor pertanian untuk berkembang lebih pesat dengan perkembangan teknologi yang lebih mutakhir. Selain itu pengaruh global warming juga telah membuat pemerintahan Brazil menjadi kaya dan efisien dengan biodieselnya. Dalam hal ini tidak semua daratan di bumi mampu menumbuhkan bahan baku biodiesel tersebut. Ini berakibat pada meningkatnya hasil produk dan ekspansinya yang luas ke seluruh dunia.

Munculnya kekuatan ekonomi baru seperti China, India, dan Brasil

Alotnya perundingan Doha tersebut, tidak bisa dilepaskan dari munculnya raksasa ekonomi baru yang dulunya merupakan negara berkembang. Pada beberapa dulu, negara berkembang hanya bisa menjadi boneka bagi negarta maju dalam memajukan dan menyebarluaskan rezim ekonominya. Ketiga negara diatas pada dekade 1960-1980-an merupakan negara-negara miskin dengan mayoritas penduduknya masih bertani. Khusus India dan China bisa dikatakan melakasanakan politik tertutup terhadap ranah ekonomi mereka. Sementara Brasil sedikit lebih baik hanya saja pada saat itu dipimpin oleh rezim militer yang keras yang dekat dengan AS.

Tampak ada keinginan dan tekad yang kuat dari negara-negara tersebut pada sekarang ini ingin mengakhiri praktik kolonial yang telah mengakar sejak dulu kala. Mereka ingin menjadi penyeimbang baru dalam peta kekuatan ekonomi dan politik dunia saat ini. Mereka tampak menjadi lokomotif dalam perundingan tersebut membela kepentingan negara-negara berkembang. Walaupun telah tampak menjadi raksasa ekonomi yang baru, ketiga negara tersebut juga masih mengalami kesulitan dalam pemerataan pendapatan penduduknya. Tingkat penduduk miskin masih tinggi. Selain itu pertanian merupakan basis perekonomian mereka. Oleh sebab itu, ketiga negara tersbut sangat gigih mempertanykan tarif bea masuk negara maju serta subsidi yang besar di negara-negara maju untuk pertanian. Mereka juga menolak permintaan negara maju mengenai pembukaan pasar yang seluas-luasnya bagi produk negara maju ke negara berkembang.

Marxisme

Dengan meningkatnya penetrasi di mekanisme pasar terhadap semua aspek kehidupan kita, sangat memungkinkan kita berpendapat hasil penelitian dari kedua hal yaitu dinamisme yang luar biasa dan adanya kontradiksi yang bertentangan terhadap sistem kapitalis, ternyata lebih relevan untuk saat ini daripada di masa lalu. Beberapa bagian yang paling menonjol dari pemikiran Marx yaitu analisisnya mengenai krisis. Kaum Marxis menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan internasional antara negara-negara memungkinkan (dan cenderung menyembunyikan) ketidakadilan dari sistem kapitalis global. “Para penteori ini memiliki sifat yang radikal dalam dua hal yaitu: mereka percaya bahwa teori dan praktik tidak bisa dipisah dan merupakan bagian dari pemikiran dan tindakan yang berdiri sendiri. Kedua, mereka tidak puas dengan Reformasi Internasional yang terbatas pada hubungan antarnegara ,terutama bila mereka menyandarkan hal itu pada kapasitas dan kemauan dari yang biasa disebut dengan adikuasa”[1]. Mereka pikir kita perlu merefleksikan secara kritis kondisi-kondisi historis yang mendasari ketidakdilan, kekuatan-kekuatan materil dan ideologis yang mempertahankannya dan kekuatan potensial untuk melaksanakan reformasi radikal terhadap sistem ini demi kepentingan sebuah tata dunia yang lebih adil.

World-system theory

World-system theory bermula dari upaya sistematik pertama untuk menerapkan pemikiran Marx dalam lingkup internasional. Karya yang paling berpengaruh dalam perdebatan ini adalah buku yang ditulis oleh Lenin yang berjudul Imperialism, the Highest Stage of Capitalism. Lenin berargumen bahwa kapitalisme telah memasuki tahap tertinggi dan terakhir seiring dengan berkembangnya monopoli kapitalisme serta munculnya konsep core dan periphery. Dengan berkembangnya konsep core dan periphery ini, tak ada lagi keselarasan kepentingan di antara seluruh pekerja.

Menurut para teoris World-system, ketiga zona tersebut berhubungan satu sama lain dalam hubungan yang menjadikan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Ketiga zona tersebut membentuk dimensi spasial dalam world-economy. Salah satu kontradiksi yang dihadapi oleh kapitalisme adalah krisis underconsumption. Untuk memaksimalkan keuntungan, kaum kapitalis menekan upah buruh sedemikian rupa hingga mereka tidak lagi dapat membeli hasil produksi. Hal ini akan menimbulkan krisis underconsumption. Ia berargumen bahwa World-system modern pada saar ini tengah mengalami krisis.Dalam perkembangannya banyak penteori world-system lain yang memberi masukan. Contohnya Christopher Chase-Dunn, ia berpendapat bahwa bentuk produksi kapitalis memiliki sebuah alasan politik maupun militer dan eksploitasi ekonomi memainkan peranan penting.

Bentuk organisasi sosial yang dominan menurut Wallerstein adalah world-system, yang terbagi ke dalam dua tipe, yaitu world-empire dan world economy. Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah pembuatan keputusan mengenai distribusi sumber daya. Dalam world-empire, sistem politik yang terpusat menggunakan kekuasaannya untuk mendistribusikan sumber daya dari daerah periphery ke daerah core/inti. Dalam world-economy, hal itu dilakukan melalui pasar sebagai media dengan banyak pusat kekuasaan yang bersaing satu sama lain.World-system yang modern adalah salah satu contoh dari world-economy.

Negara berkembang versus negara maju

Pada era pasca Perang Dunia ke Dua, kerap diasumsikan bahwa, karena negara-negara Amerika Utara telah maju dan negara-negara Eropa Barat sudah berkembang maka tantangannya adalah agar negara-negara miskin menerapkan kebijakan yang sama karena membantu mereka untuk meraih pertumbuhan pesat. Bila suatu negara tumbuh, ia juga akan berkembang. Oleh karena itu, tidak berkembang didefinifsikan dengan sebuah perbandingan antar negara-negara kaya dan negara miskin dan perkembangan berarti menjembatani kesenjangan dengan bantuan sebuah proses tirun sehingga yang belum berkembang lebih mendekati yang berkembang.

Negara-negara berkembang yang mulai merintis menjadi negara superpower baru dalam percaturan perdagangan dunia sepertinya berusaha untuk memotong rantai penyiksaan yang dilakukan oleh kawasan core. Tak dapat disangkal mulai 1990-an ketika praktik neoliberal mulai bergema berkat duet Thatcher dan Reagan, kebanyakan petani-petani di negara berkembang sepertinya kewalahan. Negara-negara seperti Thailand dan Vietnam bisa dikatakan aman dari “serbuan yang tak bertuan” dari Benua Barat. Akan tetapi, China dan India berhasil meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya hanya saja jumlah penduduknya membuat mereka harus menerapkan kebijakan pangan yang hati-hati. Sementara itu, Afrika, Amerika Latin, Asia Selatan tampaknya harus rela menanti perbaikan infrastruktur di negaranya sendiri.

Menerapkan kebijakan pangan yang hati-hati , membuat kebijakan India, China, India dalam sektor pertanian semakin terasa kuatnya. AS menolak usulan China dan India bahwa negara berkembang diperbolehkan menaikkan tarif impor pertanian sebesar 25 persen jika volume impor naik 15 persen. Washington bersikeras kenaikan tarif impor pertanian sebesar itu dapat dilakukan jika volume impor naik 40 persen. India berpendapat pagu sebesar itu terlalu tinggi. Pada saat volume impor dinaikkan sebesar itu akan banyak petani yang frustasi dan bunuh diri.

Cukup jelas dalam hal tersebut bukti kearoganan negara berkembang dalam mengikuti setiap aturan yang dilakukan oleh negara maju telah membuat. Ada semacam trauma bagi negara berkembang yaitu mengapa teori modernisasi yang dilakukan terhadap mereka didekade lalu ternyata semakin memperkeruh suasana. Jawabannya adalah bahwa teori modernisasi tersebut tidaklah bersifat universal. Setiap kawasan/ negara memiliki ciri khas tersendiri. Ada nilai dan identitas dalam masyarakat tersebut yang harus diperhatikan selain pengaruh dari internal yang kuat. Teori modernisasi terbukti gagal di sejumlah kawasan penting Dunia ke tiga.

Bagi negara-negara Eropa Barat, Marshall Plan dianggap sangat berjasa dalam mempertahankan status quo liberalisme terhadap komunisme Sovyet, bahkan sampai sekarang. Ini semakin diperketat dengan pendirian organisasi/rezim internasional demi tercapainya dan terjaganya perdaganan dunia. Selama dekade 1940an-1970-an Amerika muncul sebagai negara adikuasa dunia. Institusi IMF dan GATT digunakan untuk melancarkan Konsensus Washington. Tampaknya teori modernisasi akan berhasil jika sebuah negara telah memiliki pondasi-pondasi sumber penglayakan hidup. Sedangkan bagi negara yang gagal lebih disebabkan oleh karakteristik budaya dan penduduknya serta geografis.

Sementara itu, Cox menerapkan konsep hegemoni Gramsci ke dalam lingkup internasional dengan berargumen bahwa hegemoni adalah sesuatu yang penting untuk mempertahankan stabilitas dan keberlangsungan seperti halnya dalam level domestik. Dalam analisis Cox mengenai dua hegemon (AS dan Inggris), gagasan hegemonik yang mereka gunakan adalah perdagangan bebas. Cox mempertahankan pandangan Marxis bahwa kapitalisme adalah sistem yang secara bawaan tidak stabil dan memiliki kontradiksi-kontradiksi yang tidak dapat dihindari.Cox tetap menjaga pandangan Marx bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem yang tidak stabil, dengan kontradiksi. Krisis ekonomi yang tidak tampak akan berlaku sebagai katalis untuk pentingnya counter-hegemoni movement.

Mulai tahun 1970-an , hegemony Amerika mulai goyah. Ini terbukti dengan runtuhnya Sistem Bretton Woods. Sistem kapitalis dunia tampak kacau berupa tingginya inflasi AS saat itu dan krisis minyak dunia. Bantuan-bantuan paket ekonomi yang mereka berikan dulunya kepada Jerman Barat dan Jepang , sekarang telah berbalik arah menjadi keberhasilan bagi kedua negara tersebut. Pada masa ini, Jepang dan Jerbar mulai mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dunia. Negara-negara berkembang belum mempunyai power saat itu. Negara negara tersebut bisa dikatakan merupakan negara-negara yang sangat peripheri karena sangat dikendalikan oleh mekanisme perdagangan dunia yaitu berupa adanya struktur yang dikuasai oleh kapitalis. Mereka pada umumnya terjebak dengan resep-resep ekonomi Washington yang dijalankan oleh IMF dan World Bank serta WTO (dulunya GATT).

Cox sendiri pernah mengatakan ada dua mode pembangunan, yaitu mode kapitalis dan mode redistributif. Sebagai contoh gerak awal dan penekanan terhadap pembangunan redistributif melalui tekanan internasional terhadap rezim dimana ekonomi pertanian yang masih dominan harus bersaing dengan negara-negara industri maju di Eropa dan AS. Hal ini jelas-jelas sedang terjadi di depan mata kita. Tak dapat disangkal ciri khas perekonomian negara berkembang adalah dualisme perekonomian. Di satu sisi, sebagian besar penduduknya masih bermukim di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian. Sedangkan dikotanya mencapai sekitar 30-40 %, dan bekerja pada sektor jasa/non-tradable. Sayangnya, negara-negara berkembang sebagian besar terperosok dengan sektor jasa yang tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja seperti manufaktur dan pertanian. Inilah hal yang sekiranya dipertimbangkan oleh China, India Brazil yang tidak hanya kuat sebagai “negara berkembang termaju” melainkan juga pelaku penting dalam ekspor dan perdagangan komoditas internasional. Seperti analisis Cox sebelumnya mengenai dua hegemon (AS dan Inggris), gagasan hegemonik yang mereka gunakan adalah perdagangan bebas. Melalui mode kapitalis itulah hegemoni berupa perdagangan bebas itu dilakukan dan disebar untuk mengoyak mode redistributif yang lebih mengutamakan pemerataan.

Inspirator Cox, Gramsi , menggunakan konsep hegemoni untuk mengungkapkan suatu kesatuan antara tujuan kekuatan materi dan ide-ide etika politik – dalam istilah penganut Marx, suatu kesatuan dari struktur dan suprastruktur dimana kekuatan berdasarkan penguasaan terhadap produksi dirasionalisasikan melalui sebuah ideologi yang menggabungkan kompromi dan konsensus antara kelompok yang berkuasa dan yang subordinat. Dalam hal ini penguasaan terhadap suatu produksi sangat ditentukan oleh sebuah ideologi yang kuat dan tersistem dengan baik. Negara-negara Barat adalah mereka yang disebut dengna kelompok yang berkuasa. Sedangkat negara berkembang merupakan negara subordinat. Inilah yang terjadi ketika putaran Doha yang alalu, ketika kedua belah pihak tidak bisa melakukan konsessus dan kompromi. Seakan dipisahkan oleh jurang pemisah termat dalam. Negara maju tidak mau berkorban banyak kalau pasar negara berkembang boleh dibuka seluas-luasnya. India merupakan pihak yang paling keras menentang ide tersebut.

Mulai kuatnya peta persaingan politik global membuat tidak adanya kekuatan yang magic yang mampu menggiring kedua belah pihak untuk berkompromi. Ketika negara subordinat mulai menggeliat menjadi negara yang berkuasa, struktur yang tercipta mulai memmudar. Hnaya saja negara berkembang tadi belum bisa mengambil keutusan layaknya veto atau belum memilki influence yang besar terhadap yang lain. Akan tetapi negara berkembang bisa menjadi penghadang bagi negara maju setiap rapat di PBB agar niat negara maju tadi tidak mudah dilakukan kalau rencana negara maju itu terlalau merugikan.

Seorang Dependencia School, Andre Gunder Frank menyatakan masyarakat selalu merupakan sebuah konstruksi mitologis dari ekonomi politik liberal pada 1950-an. Hal ini bisa dilhat pada adanya dualisme atau wilayah-wilayah dan sektor-sektor yang terintegrasi ke dalam ekonomi pasar dan mereka yang secara sistematis terpinggirkan/termarjinalkan. Sudah banyak bukti dari pengalaman ini. Kasus di Afrika, Asia Tengah, Asia Selatan, Amerika Latin merupakan ladang dari kemiskinan. Kita menjadi manusia yang dikendalikan harga-harga mahal bukannya mengendalikan harga barang-barang tersebut. Itulah kira-kira hal yang membuat orang menjadi termajinalkan layaknya sebuah negara juga. Mungkin itulah yang dirasakan negara berkembang ketika posisinya termajinlakan.

Walaupun kita semua telah hidup di zaman milennium. Kita tidak bisa menyangkal bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang bisa dikatakan abadi tidak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Yang menjadi persoalan di kemanusiaan harinya, penduduk yang bermata pencarian di sektor pertanian di negara maju rata-rata dibawah 10% jumlah penduduknya. Sedangkan di negara berkembang rata-rata jumlah penduduk yang berada di sektor pertanian mencapai 40-50% dari jumlah penduduknya. Tentunya dalam hal ini ada perbedaan yang teramat besar pada kebijakan ekonomi nasionalnya menyangkut sektor pertanian. Belum lagi fakta bahwa kehidupan petani di negara maju lebih sejahtera dan dilengkapi dengan teknologi cangggih dalam meningkatkan kapasitas produksinya. Sementara di negara berkembang cara bertanam masihnya manual kebanykan.

Tak heran pula jika negara-negara berkembang merasa kebertaan dengan opsi negara maju terkait pembukaan volume impor yang lebih besar mencapai 40 % jika ketika tariff dinaikkan 25%. Kerentanan negara berkembang terhadap serbuan produk asing yang lebih murah berkat disubsidi pemerintahnnya menyebabkan peoduk lokal kurang bersaing dan menelantarkan nasih jutaan petani. Negara maju merupakan negara yang telah mapan secara ekonomi dan stabil dalam sektor pertanian, tentunya akan sangat berbeda dengan negara berkembang ketika dihadapi oleh situasi krisis pangan dan energi saat ini.

Sekjen PBB telah menyampaikan kekeceawannya terhadap kegagalan Putaran Doha ini. Padahal ia optimis jika peutaran ini selesai diharapkan persoalan krisis pangan dunia dapat diselesaikan secepat mungkin guna meningkatkan investasi global . Sedangkan dirjen WTO, Pascal Lamy pesismis dengan sistuasi sekarang.

Satu hal yang dapat dicatat, AS dan sekutunya dengan hegemoninya berhasil sekali lagi melanggengkan status quo kapitalisme berupa kepeduliannya yang tinggi terhadap perdaganan bebas. Sedangkan ngara berkemabng sekali lagi kecewa atas sikap negara maju yang abai dengan nasib ratusan juta petani diselurh dunia.







[1] Martin Griffiths.2001.Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan International.hal 147.

"globalisasi " dari bukunya John Baylis

Secara sederhana, globalisasi dapat diartikan sebagai perluasan, pendalaman, dan percepatan dari saling terhubungnya negara-negara di dunia. Selain itu,setidaknya ada tiga kaum yang memandang globalisasi dari tiga perspektif yang berbeda pula. Pertama, kaum hiperglobalis,mereka berpendapat bahwa globalisasi itu sedang membawa kematian bagi konsep kedaulatan negara-bangsa dimana globalisasi sebagai kekuatan global yang merusak kemampuan negara untuk mengontrol ekonomi dan masyarakat mereka. Kaum kedua, skeptis, menolak ide globalisasi serta berpendapat bahwa negara-negara dan geopolitik menyisakan kekuatan-kekuatan prinsipil yang membentuk tatanan dunia. Sementara itu, kaum transformasionalis berpendapat baik hiperglobalis dan skeptis sama-sama melebih-lebihkan pendapat mereka dan dengan demikian telah salah paham mengenai konsep tatanan dunia (world order).

Melogikakan Globalisasi

Dalam tiga dekade terakhir ini, skala dan ruang lingkup dari globalisasi telah meningkat secara signifikan mulai dari ekonomi sampai kebudayaan. Di sektor ekonomi misalnya, terintegrasinya perekonomian dunia telah berkembang berupa perluasan dari perdagangan, keuangan, dan produksi global yang saling berhubungan terhadap takdir bangsa-bangsa, komunitas, dan keluarga yang melintasi kawasan ekonomi utama dunia serta negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi di pasaran dunia. Contohnya seperti, krisis keuangan Asia 1997, krisis ekonomi Argentina pada 2002 atau perlambatan ekonomi Amerika yang memperlambat ekonomi dari Birmingham sampai Bangkok. Selain itu, setidaknya 1,2 triliun Dollar Amerika mengalir melintasi pasar saham negara-negara di dunia tiap harinya.

TNC (perusahaan transnasional) juga memegang peranan penting. Mereka menghasilkan 25-33 persen produk dunia, 70 persen perdagangan dunia serta menguasai 80 persen investasi internasional. Tak heran dengan capaian seperti itu,mereka telah melampaui ekspor dunia sehingga membuat mereka menjadi pemain utama ekonomi dunia. Hal ini membuat mereka mampu mengontrol lokasi dan distribusi dari sumber dan teknologi dunia.Selain ekonomi, dengan adanya infrastruktur komunikasi global telah menyebarkan ide-ide, budaya dan informasi secara transnasional, mulai dari Madonna sampai Muhammad, baik keduanya merupakan idola masyarakat yang jelas berasal dari kelompok yang berbeda pula. Perbedaan kultur tadi juga berhubungan dengan perpindahan umat manusia di era globalisasi ini baik secara legal ataupun ilegal yang telah dimulai sejak abad 19 baik dari utara dan selatan maupaun dari timur ke barat. Sementara itu setidaknya ada 550 juta turis yang terus berkunjung tiap tahunnya. Permasalahan-permasalahan transnasional juga telah diproses di era globalisasi ini mulai dari pemanasan global sampai kepada pengayaan senjata pemusnah massal. Hal ini telah menuntun kita kepada ledakan pertumbuhan dari bentuk aturan main transnasional dan global serta aturan melalui perluasan jurisdiksi organisasi internasional yang tercipta seperti IMF, ICAO.Misalnya dalam kasus bom Bali yang mempengaruhi persepsi orang Eropa dan Amerika dan subsidi yang besar di negara maju telah mempengaruhi kehidupan para petani di Afrika, Amerika Latin serta Karibia.

Akan sangat membantu jika kita memikirkan globalisasi sebagai sebuah proses yang bersifat:

1. Jangkauan aktivitas sosial, politik dan ekonomi melintasi perbatasan politik, jadi peristiwa, keputusan-keputusan dan aktivitas-aktivitas pada satu kawasan di dunia mempunyai signifikansi terhadap individu-individu dan komunitas terhadap kawasan di belahan bumi lainnya .

2. Intensifikasi atau pertumbuhan magnitude (getaran) dari keterkaitan pada hampir setiap bidang sosial mulai dari ekonomi sampai kepada ekologi, mulai dari kegiatan Microsoft sampai kepada penyebaran dari mikroba berbahaya seperti SARS, mulai dari intensifikasi terhadap perdagangan dunia sampai kepada penyebaran senjata pemusnah massal.

3. Percepatan dari proses dan interaksi global sebagai evolusi terhadap sistem dunia mengenai transportasi, komunikasi meningkatkan kecepatan ide-ide, berita, barang-barang, informasi, modal, teknologi yang bergerak di seluruh dunia.

4. Pertumbuhan akan ekstensitas, intensitas, dan kecepatan terhadap interaksi global yang dihubungkan dengan pendalaman keterlibatan lokal dan global dimana peristiwa lokal bisa saja berdampak secara global dan peristiwa global bisa mempunyai dampak yang serius terhadap kehidupan lokal serta menciptakan perkembangan kesadaran bersama atau kepedulian terhadap dunia sebagai sebuah tempat berbagi secara sosial, globalisme atau globalitas.

Konsep globalisasi membawa implikasi yang membuka proses perubahan struktural dalam skala sosial kemanusiaan dan organisasi ekonomi. Globalisasi juga mecatatkan pembagian signifikan terhadap organisasi sosial pada setiap bidang mulai dari ekonomi sampai pada keamanan, melebihi kawasan dan benua utama dunia. Walaupun secara geografi dan jarak masih menjadi masalah, namun globalisasi merupakan proses dari pengerucutan/penyusutan dunia, dimana sumber-sumber dari perkembangan lokal mulai dari pengangguran sampai pada konflik etnik bisa dilacak pada jarak yang jauh. Pengerucutan/penyusutan dunia ini bisa lebih dipahami dengan paham akan konsep deteritorialisasi.

Untuk merangkum pemaparan diatas kita bisa mendefinisikan globalisasi sebagai sebuah proses sejarah yang melibatkan pembagian mendasar atau transformasi pada skala spasial organisasi sosial kemanusiaan yang menghubungkan komunitas yang jauh disana dan mempeluas pencapaian terhadap hubungan kekuatan yang melintasi kawasan dan benua-benua. Maka dari itu sudah seharusnya kita bisa membedakan globalisasi dengan internasionalisasi dan regionalisasi. Internasionalisasi mengacu pada perkembangan saling ketergantungan antara negara-negara, ide dari internasionalisasi, bahwa mereka menyisakan unit nasional yang berlainan dengan demarkasi perbatasan yang jelas.

Globalisasi Kontemporer

Di awal bab telah dituliskan bahwa terdapat perbedaan kentara antara tiga kubu. Dalam perkembangannya, di masa saat ini, terdapat dua kubu yang paling jelas terlihat berbeda pendapat mengenai globalisasi, yaitu skeptis dan hiperglobalis. Pandangan kaum skeptis terhadap globalisasi:

1. Dengan membandingkan dengan periode 1870-1914, dunia terglobalisasi secara ekonomi,politik, dan budaya.

2. Globalisasi di dunia kontemporer sekarang ditandai dengan mengintensifkan regionalisasi dan internasionalisasi.

3. Bagian terbesar dari aktivitas politk dan ekonomi internasional terpusat di negara-negara yang tergabung dalam OECD. Hubungan ini dikenal degnan istilah hubungan yang asimetris.

4. Membandingkan kerajaan Eropa global degan negara-negara dengan penduduk terbanyak serta negara-negara di Selatan sekarang telah terintegrasi ke dalam sistem global.

5. Kekuasaan negara, nasionalisme, perbatasan teritorial sedang berkembang, lebih, penting dalam politik dunia.

6. Internasionalisasi dan regionalisasi merupakan makhluk ciptaan negara bukan perusahaan atau kapitalisme.

7. Globalisasi merupakan cara melayani diri yang terbaik tentang mitos dan ideologi yang menggerakkan Barat khususnya hegemoni US dalam politik dunia.

Bentuk-bentuk dari globalisasi kontemporer

1. Ekonomi. MNC mengatur produksi dan pemasaran pada basis global sementara itu operasi tehdap keuangan finansial menentukan negara mana yang menerima kredit serta dan bagiamana membuatnya.

2. Militer. Pengayaan terhadap senjata pemusnah massal, berkembangnya transnasional terorisme, peningkatan signifikan perusahaaan militer transnasional.

3. Legal. Perluasan dari hukum transnasional dan internasional, mulai dari perdagangan sampai kepada HAM.

4. Ekologi. Pembagian ekologi yang melibatkan masalah lingkungan hidup .

5. Budaya. Melibatkan kesamaan yang kompeks serta meningkatkan keberagaman yang memberkan difusi global dalam budaya pop, korporasi media global.

6. Sosial. Bentuk pembagian migrasi dari utara ke selatan serta dari barat ke timur telah memutar perpindahan (migrasi) ke dalam issu utama global sebagai pergerakan yang lebih dekat ke dalam pencapaian rekor dari pergerakan abad 19 umat manusia.

Membandingkan dengan periode di masa lalu,globalisasi kontemporer menggabungkan pertemuan yang luar biasa dari padatnya saling keterkaitan, disamping belum pernah adanya institusionalisasi melalui infrastruktur komunikasi serta kontrol di kawasan dan dunia yang baru, mulai dari WTO sampai pada perusahaan transnasional. Eksistensi dari periode yang baru infrastruktur komunikasi global, dimana dunia diubah menjadi sebuah tempat sosial yang tunggal ,membedakan dengan jelas globalisasi kontemporer dengan globalisasi di masa lalu.

Perubahan dunia: globalisasi dan penyimpangan politik global

Globalisasi telah memperhebat usahanya dalam lima dekade terakhir, globalisasi telah membuat adanya kesulitan dalam memelihara dua wilayah berbeda yaitu domestik dan internasional. Selain itu globalisasi telah menantang pandangan satu dimensi kaum ortodoks terhadap politik dunia dimana mereka menaruh persyaratan kepada geopolitik dan perjuangan akan kekuasaan diantara negara-negara. Hal ini membuat kita untuk mengetahui pentingnya negara dan geopolitik, tetapi bukanlah prioritas terhadap keuntungan status mereka dalam memahami dan menjelaskan isu dunia kontemporer.

Sejak pembentukan PBB tahun 1945, pertumbuhan institusi global dan regional telah berkembang melalui suburnya pertumbuhan NGO dan jaringan-jaringan yang mencari pengaruh terhadap pemerintah dalam isu global. Berkembangnya kepemerintahan global yang kompleks menunjukkan menumpuknya struktur formal dan informal koordinasi politik diantara pemerintah,antarpemerintah, dan aktor transnasional-publik dan pribadi-dirancang untuk menyadari tujuan umum kesepakatan cita-cita bersama melalui pembuatan atau implementasi dari aturan global/transnasional dan aturan dari permasalahan antarperbatasan. Aktor-aktor seperti pemerintah global atau NGO diakui telah memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik global.

Semakin beragamnya aktor global dan pengaruh mereka (nonstate-actor) yang semakin meningkat terhadap kehidupan global tidaklah benar jika kita berkesimpulan kalau konsep negara berdaulat itu telah mengalami kemunduran. Konsep negara berdaulat tidaklah merosot melainkan sedang mengalami transformasi. Konsep kedaulatan ditukar, dibagi diantara aktor-aktor lainnya dalam kekuasaan publik yang berbeda sesuai dengan levelnya masing-masing. Citra dari Westphalia akan satu kepercayaan, negara kesatuan telah diganti dengan konsep berkurangnya negara dimana para perwakilan semakin meningkatkan interaksi terhadap rekan mereka di luar negeri, perwakilan internasional, NGO.Di masa globalisasi ini, pemerintah nasional tidak lama lagi berfungsi sebagai sistem yang tertutup. Berlawanan dengan hal itu, semua politik dipahami sebagai pengejaran akan ketertiban dan keadilan,yang dimainkan dalam konteks global.

Globalisasi belakangan ini selalu memjadi kata yang paling sering diucapkan baik di media cetak dan elektronik maupun dari mulut ke mulut. Yang cukup menarik dari kajian globalisasi adalah selalu ada pihak-pihak yang berlawanan. Kaum yang sangat mendukung globalisasi memaparkan fakta-fakta dan alasan-alasan yang kuat dalam mendukung pendapat mereka,seperti integrasi ekonomi, revolusi transportasi, teknologi dan komunikasi, adanya pemerintahan global, serta dunia yang semakin homogen. Sedangkan kaum yang kontra juga mengeluarkan alasan yang logis berupa globalisasi adalah fase terbaru dari kapitalisme, globalisasi mempunyai efek yang tidak merata, serta globalisasi hanya merupakan tingkatan terbaru dari imperialisme[1]. Harus dimaklumi juga, kebanyakan yang menyetujui akan adanya fenomena globalisasi adalah mereka yang berhaluan behavioralisme/positivistik seperti realisme,liberalisme,dan marxisme. Sedangkan mereka yang skeptis atau kontra akan globalisasi adalah mereka yang beraliran post-positivist, seperti postmodernisme, dan lain-lain. Sampai kapanpun perselisishan akan isu ini akan tetap bergulir.

Salah satu indikasi dari globalisasi menurut kaum hiperglobalis adalah adanya revolusi dalam teknologi,informasi, dan komunikasi. Contohnya pengguna Friendster dan Facebook di Indonesia bisa berhubungan secara langsung dengan masyarakat di belahan dunia lainnya tanpa harus melakukan kontak secara langsung. Selain itu penetrasi internet yang semakin massive memungkinkan kita dapat meng-update berita yang terjadi di belahan dunia lainnya dalam sekejap. Misalnya ketika terjadi peledakan bom di Pakistan, tak lama kemudian (mungkin hanya 5 menit) kita telah mengetahui kabar tersebut dengan lebih mendetil melalui internet ataupun televisi.

Pengetahuan intensif pemerintah akan teknologi informasi mengubah cara pemerintah berkelakukan dengan kekuatan yang mereka miliki. Perubahan hubungan produksi dalam informasi yang didasrkan ekonomi dipikirkan untuk mengubah persetujuan kekuatan dan posisi negara. Dalam globalisasi yang akan terjadi adalah ketika banyak barang diproduksi dasn inkorporasi ke dalam bentuk digital dan ditransmisikan secara instan di seluruh dunia. Dampaknya ialah aapa yang dimaksudkan dengan situasi konsumtif terjadi di dunia yang meneerima barang tersebut begitu saja.

Selain itu contoh yang paling konkrit adalah ketika terjadi krisis finansial di Amerika Serikat semenjak akhir tahun 2007 kemarin, setelah itu bisa dilihat rata-rata bursa saham dunia terus tergerus dan anjlok. Hari demi hari ada saja bank, lembaga finansial dan asuransi yang menyatakan bangkrut akibat tak mampu menutupi hutangnya. Contoh yang terbaru adalah bangkrutnya bank investasi terbesar ke-4 AS, Lehmann Brothers serta injeksi The FED kepada AIG (American Investment Group) sebesar 85 milyar dollar AS. Berita bangkutnya Lehman Broters telah menggerus pasar saham dunia dalam sekejap. Ini merupakan bukti yang kuat bahwasanya perekonomian dunia semkain treintegrasi.

Meningkatnya derajat saling keterkaitan ekonomi antara dua perekonomian nasional sebagai contoh dalam bentuk perdagangan atau investasi asing yang lebih eksternal merupakan salah satu aspek globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi yang nyata, dengan demikian, menimbulkan pergeseran kualitatif menuju perekonomian dunia yang tidak lagi berdasarkan perekonomian nasional yang otonom, melainkan berdasarkan pada pasar global yang kuat bagi produksi, konsumsi, dan distribusi . Dalam kasus yang terakhir ini, perekonomian global yang tunggal mendominasi sejumlah besar perekonomian nasional yang tercakup di dalamnya. Globalisasi didorong oleh beberapa faktor, yang paling penting adalah perubahan teknologi,yang digerakkan oleh persaingan ekonomi yang keras antar perusahaan.Hal inilah yang menjadi keberatan kaum yang kontra akan globalisasi. Dalam istilahnya dikenal dengan hubungan yang asimetris, dimana hanya blok-blok ekonomi negara maju lah yang menguasai perekonomian dunia.

Menurut Robert Jackson dan George Sorensen ada tiga perspektif mengenai globalisasi ekonomi[2] :

1. Liberalisme. Mereka berpendapat globalisasi ekonomi memiliki potensi membawa peningkatan kesejahteraan bagi semua. Globalisasi ekonomi menantang negara.

2. Merkantilisme. Negara-negara menyesuaikan pada tanyangan globalisasi ekonomi. Negara tetap menjadi pemain yang kuat.

3. Neo-marxisme. Globalisasi ekonomi adalah suatu proses hirarkis, tidak seimbang.

Untuk negara-negara miskin di dunia, tekanan globalisasi dalam aturan dan rekan negosiasi telah menyebabkan mereka kehilangan kekuatan nation-state nya karena bagaimanapun terdapat sedikit bukti yang menjelaskan bahwa negara tersebut memiliki posisi yang kuat dalam kebersamaan global apalagi fundamental.Secara simultan, globalisasi mendorong negara ke arah kerjasama dan kompetisi yang lebih luas.

Yang harus diingat adalah semakin berpengaruhnya peran MNC serta NGO dalam perpolitikan dunia akibat adanya globalisasi ini. Kadangkala peran mereka acapkali diatas kedaulatan negara. Kasus ladang minyak Exxon Mobile dan Freeport di Indonesia atau berlian De Beers di Afrika merupakan contohnya. Peran organisasi internasional juga tak kalah pentingnya yang terkadang membuat negara tunduk terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalamnya. Yang dihadapi negara saat ini tidak hanya negara-negara saja dalam percaturan politik internasinal melainkan tingginya intensitas pengaruh MNC dan NGO dalam mempengaruhi kebijakan sebuah negara. Bagi Indonesia terutama, jangan pernah melupakan Letter of Inten dengan IMF semasa krisis ekonomi 1998. Semenjak saat itu arus barang terutama produk pertanian luar semakin membanjiri pasar domestik yang mengakibatkan kehidupan petani lokal semakin kritis.

Benarkah konsep kedaulatan seperti yang tercitrakan oleh Perjanjian Westphalia masih ada? Banyak yang berpendapat konsep kedaulatan itu sedang mengalami transformasi. Kedaulatan sekarang harus berbagi dengan eksistensi NGO dan MNC. Belum lagi batas wilayah yang secara geografis masih jelas, tetapi dalam pergerakannya berlangsung teramat cepat karena perpindahan umat manusia serta barang dan jasa yang semakin cepat mengakibatkan batas-batas wilayah perlahan-lahan terkesan dilonggarkan.

Globalisasi telah memunculkan kecenderungan similaritas dan keseragaman dari paran individu, kelompok, dan sistem sosial yang melewati atau bahkan menghapus batas tradisional negara. Baik secara sosial, ekonomi, maupun politik, globalisasi memungkinkan terjadinya pergeseran kewarganegaraan dan kesetiaan dari keterkaitan nasional ke dalam keterikatan global[3].Ketika distribusi ekonomi yang dianggap tidak adil berjalan bersamaan dengan perbedaan identitas, maka kita akan menemukan potensi konflik yang cukup besar. (SOLPAMILI PRATAMA HI UNPAD 2007)

Daftar Pustaka

Ikbar, Yanuar .2006. Ekonomi Politik Internasional 1. Bandung: PT.Refika Aditama.

Jackson,Robert dan George Sorensen.2005.Penganar Studi Hubungan Internasional.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan M. Yani.2005.Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.Bandung: PT.Remaja Rosda.



[1] Yanuar Ikbar.2006. Ekonomi Politik Internasional 1. Bandung: PT.Refika Aditama, hal.202-203.

[2] Robert Jackson dan George Sorensen.2005.Penganar Studi Hubungan Internasional.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,hal.273.

[3] Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan M. Yani.2005.Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.Bandung: PT.Remaja Rosda, hal.136.