Selasa, 12 Oktober 2010

INTERNATIONAL RELATIONS DEBATING CLUB

REVIEW The Hurt Locker ( 2009) : UNEDITED VERSION

Menampilkan Sisi Lain dari Maskulinitas


Film ini sebenarnya telah dirilis pada 2008 yang lalu dan diputar di Venice International Film Festival 2008. Akan tetapi, baru pada 2009 dirilis secara serentak di AS. Film peraih 6 piala Oscar,termasuk film dan sutradara terbaik sempat membuat industry perfilman Hollywood tercengang. Film indie ini menjadi film dengan pemasukan terendah (hanya 12 juta dollar AS) yang memenangkan film terbaik dalam ajang Oscar. Tidak hanya itu, film ini ternyata disutradarai oleh seorang perempuan, sebuah tema yang sangat jarang disentuh oleh wanita. Sentuhan Bygelow sebagai soerang wanita sangat terasa sekali ketika menonton film ini terutama kemampuannya dalam menampilkan emosi yang sangat manusiawi dari tokoh James dan kawan-kawannya. Kathryn Bigelow mengambil lokasi di Jordan dan Kanada dalam memfilmkan kisah ini. Ini didasarkan pada tidak mungkinnya mengambil lokasi di Baghdad akibat factor keamanan. Kisah dari film ini mengambil focus kisah para penjinak bom di Irak, US ARMY Explosive Ordnance Disposal (EOD). Ceritanya sendiri ditulis oleh Mark Boal yang pernah menjadi penulis lepas atau jurnalis pada tahun 2004 bersama tim penjinak bom Amerika di Iraq.

Synopsis

Cerita bermula ketika Sersan William James (Jeremy Renner) ditugaskan sebagai pimpinan bom squad di Irak mengggantikan sersan sebelumnya yang tewas dalam sebuah operasi penjinakkan. Kepribadiannya James yang nyentrik dan slengean dalam menghadapi marabahaya jelas saja membuat dua anggota timnya, JT Sanborn (Anthony Mackie) dan Owen Eldridge (Brian Geraghty) khawatir. James membawa mereka bermain dengan maut sehingga dalam beberapa kali usaha menjinakkan bom berlangsung penuh kekhawatiran. Pengalaman James yang sudah menjinakkan bom ratusan kali membuat ia “tenang” mengemban tugas ini sehingga berhasil menyelamatkan nyawa ribuan orang. Hal ini, tetap saja ini membuat Sanborn kesal dan bahkan ingin mencelakakan James. Namun, semuanya berubah ketika mereka terjebak baku tembak di padang gurun. Rasa kesetiakawanan dan tanggung jawab James terlihat di situ. Mereka sadar dengan figure James yang seperti itu membuat tim mereka solid. Sampai kemudian, tiba saatnya mereka berpisah karena masa dinas sudah selesai. James kembali ke AS dan berperan sebagai seorang suami dan ayah dari seorang putra. Tetapi, ia mengalami pergolakan batin setelah menanggalkan seragam dinasnya. Rasa candu akan medan perang muncul melihat nasib perwira AS penjinak bom di Irak lewat TV? Akankah James kembali ke medan perang?

Review

Jangan harapkan menonton The Hurt Locker kita bakal disuguhkan perang epic berskala besar dengan sinematografi yang megah, penuh adegan baku-tembak dan juga dilengkapi dengan visual effect dan tata suara yang membahana . The Hurt Locker memang bebeda dengan film bertema serupa. Bukan berarti film ini kurang dalam unsur thriller seperti layaknya film perang atau sinematrografi yang tenang dan biasa saja. The Hurt Locker muncul sebagai film perang yang sangat personal (dituturkan lewat 3 karakter utama: James, Sanborn, Eldridge) dan apolitis (tidak melibatkan sudut pandang kebijakan dari pemerintah AS). Inilah yang membuat Hurt Locker serasa begitu hidup karena melibatkan begitu banyak emosi dan psikologi para penjinak bom yang ditugaskan di Irak. Betapa sebuah perang bisa menciptakan kecanduan akibat frustasi yang belebihan. Dan perasaan ini benar-benar terasa bekecamuk ketika kita menonton film ini. Lewat emosi dan perang batin yang ditampilkan oleh ketiga tokoh utama diatas, kita sebagai human being bisa merasakan betapa menderitanya seorang prajurit secara mental ketika bertugas di medan perang. Dan bagi para pria, film ini tampak menampilkan emosi pria sangat pas, yaitu menampilkan sisi maskulin pria yang bercampur baur dengan pengalaman traumatic.

Menampilkan sisi lain dari maskulin

Kita acapkali mendengar kalau wanita yang menjalankan dunia ini, maka perang tidak akan terjadi. Dalam film ini, karakter seorang wanita sangat jarang ditampilkan. Kalaupun mucul, itu hanya sekilas saja, seperti karakter istrinya James. Itupun hanya ditampilkan amat singkat. Selebihnya scene demi scene diisi dengan karakter pria. Sekedar informasi saja, hanya 4 % wanita yang berada dalam squad penjinak bom di Irak dan Afganishtan.

Dunia militer yang merupakan symbol kuat maskulin, ternyata juga memiliki sisi lain yang patut diungkap. Hal ini tereksplor mendalam dalam film ini. Kita bisa lihat, bagaimana seorang James yang sudah terbiasa menjinakkan bom, ternyata sangat rapuh ketika melihat penderitaan seorang bocah Irak yang menjadi korban bom dan seorang pria korban bom bunuh diri. Apalagi ketika ia mengingat kembali kisahnya dengan sang isri dan anak yang jauh di Amerika sana. Merokok, minum-minuman keras, dvd porno, prostitusi adalah hal yang wajar ketika para prajurit ditempatkan di medan perang. Naluri kejantanan itu muncul alamiah dalam kondisi seperti itu. Tak ada hiburan. Hanya hal-hal diatas yang tersedia dalam mengobati kegelisahan dan trauma yang dialami para prajurit. Selain itu karakter Sanborn, seorang pria kulit hitam yang tampak tangguh dan sangat jantan akhirnya menangis juga meratapai nasibnya ditempatkan di medan perang. Hal ini juga berlaku sama bagi Aldridge, yang sangat traumatic sehingga konsultasi dari seorang psikolog masih belum mempan mengobati traumatiknya. Bahkan dalam film ini, kondisi mereka yang selalu dalam tekanan dan selalu diambang maut ditumpahkan dalam sebuah adegan perkelahian setelah pesta minuman keras diantara mereka. Hal ini dilakukan sebagai upaya melepaskan bebas dan stress dalam operasi mereka di Irak yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Ketika seorang pria dipaksa untuk melindungi negaranya melebihi kemapuan dan ketakutannya akibat yang ditimbulkan ternyata memiliki efek domino bagi kondisi kejiwaan para prajuritnya. Ada yang menjadi candu dan ada juga yang menderita gangguan jiwa. Dan The Hurt Locker jelas memberikan dan memaparkan sisi lain dari sisi maskulinitas pria yang ditempatkan di medan perang, bahwasanya pria juga ingin dilindungi. Mungkin factor, bigelow yang seorang wanita turut mempengaruhi hal ini.


*dimuat dalam majalah Stair HI UNPAD, edisi "pria"

TEKNOLOGI (INFORMASI dan KOMUNIKASI) dan IDENTITAS GENERASI 2000-an (PASCA REFORMASI)


“Kang, Teteh minta nomor handphonenya dong?” Ituah ucapan yang saya dengar dan ingat dari anak-anak SD ketika saya dan teman-teman sedang melkuakn KKNM di Desa Belendung, Subang. Mereka, padahal tidak punya handphone, melainkan meminjam punya orang tua mereka. Sampai sekarang beberapa diantara mereka masih menghubungi saya untuk menanyakan kabar dan hal-hal yang tidak penting lainnya ( hehehehe……)

Generasi yang baru tumbuh dan berkembang sepanjang dekade 2000-an memiliki semacam identitas yang sangat terkait dengan perkembangan tekonologi. Mulai dari kalangan masyarakat urban sampai pedesaan perlahan-lahan dijangkiti akan sebuah fenomena bahwa mereka secara tidak langsung/langsung memiliki kebutuhan baru yaitu pemenuhan kebutuhan akan teknologi. Teknologi yang saya bahas disini adalah akses yang memudahkan sesorang dalam memperoleh informasi dan berkomunikasi. Contoh yang paling sederhana adalah handphone. Menurut BRTI (Badan Regulasi Tekelominukasi Indonesia) jumlah pengguna handphone di indnesia pada tahun 2011 nanti diperkirakan akan menembus kisaran 100 juta pengguna. Selain handphone ,ajang pertukaran informasi dan komunikasi lainnya adalah intenet. Mulai dari kandungan akan informasi penting dan berharga sampai pada menjangkitnya situs porno dan yang sedang popular saat ini adalah situs pertemanan.

Seperti yang telah saya jelaskan diawal, bahwa pada tulisan ini yang akan saya bahas adalah generasi yang baru tumbuh dan berkembang pada dekade 2000-an. Dengan kata lain, saya memperkirakan mereka adalah genrasi yang dilahirkan pada dekade 90-an (dimulai tahun 1990). Mereka, adalah generasi yang tidak terlalu “terpengaruh” atau ada juga yang menyebutnya “tidak terkontaminasi” doktrin-doktrin ala Orde Baru. Generasi yang tidak menyimak secara langsung bagaimana jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 1998. Mereka adalah generasi yang hanya mendengar babak sejarah negeri ini (jatuhnya Orde Baru) dari buku, media cetak dan elektronik atau cerita dari orang tua mereka. Kedua kondisi inilah yang ingin saya paparkan melalui tulisan ini, interaksi antara perkembangan teknologi (infomasi dan komunikasi) dengan genreasi yang tumbuh berkembang pada dekade 2000-an (setelah reformasi).

Saya sendiri yang juga kelahitan akhir 80-an (1989) merasakan semacam sensasi tersendiri memasuki dekade 2000-an ini. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang teramat pesat pada decade ini merupakan sebuah kejadian yang belum pernah terjadi pada decade sebelumnya. Teknologi yang awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi pada tataran fungsional perlahan-lahan berubah menjadi semacam unjuk diri, unjuk identitas, pertanda dari status (ekonomi) seseorang. Seperti halnya fashion pada wanita, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah meresap ke dalam pikiran generasi-generasi tersebut. Bukan hidup tanpanya jikalau tidak memiliki handphone misalnya. Tidak hanya sebatas fungsi belaka, melainkan ada nilai lebih dari benda tersebut yang melekat pada diri mereka masing-masing. Harus ada semcam upgrading atau tukar tambah pada benda-beda tersebut agar tidak ketinggalan zaman. Bahkan sampai menggantinya atau menambah dengan produk keluaran terbaru. Sebut saja BlackBerry misalnya, yang sudah duluan popular di Amerika Serikat atau smart-phone lainnya, seperti I-phone atau pemutar MP3 dan MP4 yang terbaru. Jikalau fenomena akan handphone memang sudah merasuk sampai kepada pedesaan, untuk fenomena seperti BB, i-phone, pemutar MP memang baru menyentuh kalangan urban saja.

Selain handphone dan turunannya, internet merupakan “the amazing thing” yang terjadi pada dekade ini. Bukan berarti intenet beru ditemukan pada dekade ini, melainkan baru pada dekade inilah fungsinya mengalami progress yang sangat cepat dan sangat mempengaruhi kehidupan generasi-generasi tadi. Intenet jelas sekali memberikan informasi berharga bagi tiap individu, tetapi melihat perkembangannya yang teramat cepat. Internet sudah tidak lagi berada pada tahap fungsional belaka. Kendati penyebaran internet di Indonesia tidak merata, wabah akan kecanduan intenet sudah menjangkit di beberapa kota. Ada pemenuhan kebuuthan lainnya yang tidak didapat di dunia nyata dan terpenuhi di dunia maya. Menjangkitnya situs-situs porno sudah menjadi kekhawatiran bagi siapapun juga.

Selain pornografi, game online/game center juga merupakan bagian dari tren pada dekade ini. Komunitasnya, perlombaan juga semkain banyak. Efek candunya juga tak kalah dahsyat. Selain pornografi dan game-online, situs pertemanan merupakan sesuatu yang baru yang terjadi pada dekade ini. Tiap mereka berlomba-lomba membuat akun mulai dari Friendster, Facebook, Twitter, Plurk, Myspace,Yahoo Messenger dan sebagainya. Ada sesuatu yang kurang jika sesorang belum memiliki akun dari salah satu situs pertemanan. Mereka merasa ketinggalan infomasi kalau tidak membuat akun tersebut.

Semakin bertambahnya tahun, teknologi juga semkain berkembang, sekarang handphone dengan fasilitas internet juga telah menjadi keharusan bagi setiap pengembang. Dapat dibayangkan dunia seakan berada di telapak tangan dan itu bisa dibawa kemana saja. Permasalahan perkembangan teknologi tidak hanya merupakan cerita dari globalisasi belaka. Paham-paham materialistis juga menuyusp masuk lewat laju pertumbuhan tekonologi informasi ini. Hal ini pada akhirnya seakan menciptakan mindset bahwa ini adalah kemenangan kapitlaisme dan mereka-mereka ini akan terus disuguhi barang-barang bagus serta secara perlahan, pola hidup mereka akan dibuat seperti kaum kapitalis. Tidak terlalu hirau akan nilai-nilai sekitar, suka kompetisi. Yang terpenting hasratnya akan kebutuhan materi dapat tercapai.

Suka atau tidak suka, generasi sekarang, cenderung menjadi genrasi yang individualistis, bebas dan tidak terlalu terikat dengan norma yang ada disekitarnya. Mereka bukanlah generasi yang hidup pada dekade 70-an sampai 90-an, yang hidupnya sangat ditentukan oleh kekuatan terpusat yaitu Soeharto. Generasi sekarang yang tumbuh pada dekade 2000-an merupakan generasi penerus bangsa yang tumbuh dan berkemabng tanpa adanya “kekangan” dari Negara. Mereka tumbuh ketika kebebasan berpendapat diakui, demokrasi dan HAM menjadi topik dimana-mana dan pada saat itulah segala macam bentuk teknologi informasi dan komunikasi masuk kedalam kehidupan mereka. Semuanya berjalan beriringan. Ini seperti seorang remaja yang ketika tumbuh menghadapi lingkungan yang bebas, menghormati demokrasi dan HAM. Inilah nilai-nilai yang mereka dapat pertama kali ketika mereka tumbuh dan berkembang. Ini tentu berbeda dengan mereka yang tumbuh dan hidup dari dekade 70- 90-an yang baru merasakan dampak tekonologi informasi dan komunikasi ini pada decade 2000-an.

Budaya individual ini semakin terasa di kehidupan remaja sekarang. Ketika anda dapat mengetahui apapun dari internet atau menghabiskan waktu semaksimal mungkin di depan laptop dan internet, apakah untuk memainkan game atau mengerjakan tugas bahkan melihat situs porno, secara tidak langsung hal ini akan membentuk kita menjadi manusia yang tahu ‘segalanya”, membuat kita lebih independen sehingga kebutuhan akan individu lain semakin berkurang. Bayangkan saja, dulunya pada dekade 90-an, remaja laki-laki asik bermain layangan, atau bermain sepeda bersama, atau memainkan permainan rakyat lainnya dan remaja putri menghabiskan waktunya seperti main bongkar-pasang, masak-masakan serta pengajian bersama atau remaja majid masih menjadi budaya pada kehidupan bermasyarakat pada dekade itu. Mungkin di daerah pedesaan, belum semuanya terkontaminasi akan budaya individualitas, tetapi gejala-gejalanya mulai tampak terlihat. Ikatan antar warga sudah tidak sekuat dulu lagi. Ini saya alami ketika menjalani KKNM di sebuah desa di Subang.

Tentu hal ini perlu mendapat pemahaman yang serius dalam menangani pola pikir generasi sekarang (remaja). Mereka tidak sungkan lagi membicarakan hal seperti sex, drugs, dan berbagai macam hal tabu lainnya yang selama ini mendapat kekangan. Mereka dapat dengan mudah memperoleh-nya dari media manapaun. Diskusi mengenai seksualitas, pemikiran kiri (komunis) sudah menjadi hal yang tidak asing lagi dibicarkan terutama di univerisitas-universitas. Pengaruh internet sangat membantu sekali dalam hal ini.

Budaya individualitas pada generasi sekarang tampak pada kegigihan mereka dalam membuat akun di situs Facebook, Friendster atau Twitter. Ketika intensitas hubungan lebih banyak dihabiskan di dunia maya ketimbang di dunia nyata membuat rasa saling membutuhkan dan budaya canggung juga semakin meningkat. Sudah sampai sejauh itukah generasi sekarang ? Ini belum termasuk ketika mereka lebih terbuka akan kehidupan pribadi di dunia maya ketimbang dunia nyata. Bertukarnya status di Facebook atau Twitter dalam sekejap, mulai dari masalah pribadi sampai menggunjingkan orang semuanya ditumpahkan di status tersebut. Merupakan keanehan tentunya ketika kita lebih cenderung menumpahkan perasaan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Bukankan itu gunanya teman??? Inilah gejala dari kebebasan yang belum matang pada generasi muda ini. Di saat kebebasan berpendapat diperkuat oleh teknologi dan media.

Belum lagi bagi mereka yang sangat bangga mempunyai banyak teman, tetapi sebenarnya tidak terlalu kenal dan ketika bertemu pun tidak saling tegur sapa. Mulai terdapat perbedaan definisi tampaknya dalam memandang teman dalam dunia nyata dan dunia maya. Ucapan selamat ulang tahun sampai pada kartu lebaran,SMS, semuanya lebih banyak dilakukan dalam bentuk transfer elektronik. Sudah bukan zamannya lagi mengirim dalam bentuk kartu Lebaran, kartu selamat Natal atau kartu ucapan selamat ulang tahun. Sebagian generasi tua memandangnya sebagai sebuah hal yang dianggap terlalu enteng bagi generasi sekarang.

Ketika kebebasan semakin mudah didapat, hal ini menimbulkan semacam “kemalasan” dan “ketidaksigapan” generasi sekarang. Mereka tumbuh di lingkungan yang cenderung instan dan semuanya harus berlangsung cepat. Ketika laju teknologi semakin berkembang, mereka juga harus melaju beriringan dengan teknologi tersebut kalau bisa lebih dari perkembangan teknologi. Budaya kompetisi tanpa terlalu mengindahkan nilai-nilai kekeluargaan semakin berkembang. Bagi genreasi tua hal ini menimbulkan ancaman bagi mereka. Ketika generasi sekarang lebih banyak tahu dari mereka tapi disisi lain juga rapuh dan tak sigap dalam menyelesaikan semua permasalahan. Mereka cenderung berbuat sesuka mereka, free-spirited, tetapi masih belum cukup dewasa/matang dalam menentukan sikap.

Inilah gambaran bagi generasi muda yang tumbuh dan berkmbang setelah 12 tahun reformasi Indonesia. Ketika system perlahan-lahan berubah, hal ini pada akhirnya saling mempengaruhi antar agen yang berada di dalamnya, termasuk generasi muda sekarang. Kebebasan bersikap dan berpendapat yang didukung dari perkembangan teknologi informasi yang signifikan memberikan semacam indentitas bagi generasi ini. Generasi yang akan memimpin bangsa ini kedepannya. Dan sudah sewajarnya pembinaan terhadap mereka dilakukan sebelum semuanya terlambat di kemudian hari.


*DIAJUKAN buat lomba essay pada FISIP FAIR 2010

REAKSI PERFILMAN HOLLYWOOD MENANGGAPI TRAGEDI 11 SEPTEMBER 2001

REAKSI PERFILMAN HOLLYWOOD MENANGGAPI TRAGEDI 11 SEPTEMBER 2001


Film merupakan sebuah bentuk apresiasi seni terhadap proses kehidupan mansuaia. Ide-ide bermunculan baik dari sumber luar maupun dari pemikiran sendiri (kendati dipengaruhi oleh sumber bacaan tertentu). Apa yang sedang berlangsung secara otomatis akan memberikan kontribusi bagi pemikiran dn karya kita. Begitu juga dengan perfilam Hollywood. Perfilman Hollywood dikenal lihai dalam mencirikan/menandakan suatu kelompok tertentu yang begitu melekat di pikiran semua orang sehinggga mampu menyelami ke titik bawah alam sadar kita tanpa kita sadar (unscuncious). Kita akan selalu diingatkan dan disuguhi akan hal yang sama tanpa terdasari kita sendiri juga telah masuk ke dalam konstruksi tersebut. Berhubungan tragedi 11 September seakan menjadi timeline sejarah yang monumental terutama dalam studi HI, saya akan mencoba melihat kontribusi peristiwa diatas bagi kelangsungan “ide” perfilman Hollywood. Tidak hanya terkait dengan isu terorisme saja melainkan juga cara pandang Hollywood terhadap negara-negara lain.

Melihat bagaimana perkembangan perfilman Hollywood sepanjang dekade 2000-an, terutama setelah tragedy 11 September, kita bisa lihat tema fantasi dan science-fiction, terutama dari komik superhero menjadi acuan utama sehingga decade 2000-an diidentikkan dengan film komik superhero dan fantasi. Sebut saja, Spiderman, The Daredevil (2003), Electra (2005), remake Superman, Batman, Green Lantern (rilis 2011), the Hulk, The Avegers (2011), Watchmen (2009), Iron Man (2008 dan 2010) Beberapa berasumsi menyatakan bahwa hal ini diakibatkan oleh aksi terorisme 11 September. Memang ide film dari komik sudah diangkat sejak decade 80-an, tetapi kuantitasnya tidak sedahsyat pada decade 2000-an. Entah karena alasan semakin minimnya scenario dan ide yang berlian, tetapi produksi film berjenis ini semakin membanjiri pasaran AS dan dunia sejak tragedi 11 September. Tentu ini menimbulkan pertanyaan menarik bagi siapaun menyimaknya.

Rakyat Amerika tidak ingin terus mengingat rangkaian yang mengerikan dalam sejarah mereka, maka dari itu para pembuat film ramai-ramai mencari komik superhero dan menggali lebih dalam substansi dari komik itu sendiri. Amerika tidak ingin diingat sebagai bangsa yang gagal dan kalah dalam perang. Mereka ingin selalu menjadi pemenang dan penyelamat dunia (yang tergambar jelas dalm komik superhero tersbut). Amerika harus menjadi pahlawan dan polisi dunia.

Sedangkan film fantasi layaknya trilogy The Lord of The Ring seakan membuai imajinasi penonton akan harapan yang optmis ketimbang berlarut-larut mengingat tragedy 11 September. Sudah tak terhitung betapa banyaknya film mahal dan kaya akan visual-effect canggih yang menunjukkan betapa kuatnya dan hegemoninya AS dalam perihal kecanggihan teknologi melebihi bangsa manapun saat ini. Ini semakin diperkuat ketika gelombang 3D semakin mencuat sejak Avatar yang fenomenal tersebut. Hampir semua film action, superhero, animasi saat ini memakai teknologi 3d. Tak heran film-film mahal yang menjual cerita sukses AS dalam teknologi menjadi isu penting dan ditonjolkan demi mengangkat kembali citra AS yang sempat terpuruk sebagai polisi dunia sejak tragedi 11 September. Dan isu nuklir, senjata kimia berbahaya, terorisme menjadi isu jualan utama film bergenre action ini.

Terkait dengan isu terorisme, tak bisa dilepaskan dengan invasi AS ke Iraq sejak 2003, sebagai tanggapan AS atas aksi terorisme global. Sejak saaat itu, film-film yang mengangkat backdrop Perang Iraq bermuculan, baik film bisokop maupun documenter. Tak heran berbagai macam cerita bermunculan menganagkat isu ini. Film-film yang menampilkan pesimisme Amerika di Iraq hamper semua tidak mendapat simpati para penonton, seperti Jarhead (2005) dan In the Valley ol Ellah (2007), Rendition.(2007), Brothers (2009), The Messengers (2009) Adapun kemenangan The Hurt Locker dalam Oscar, yang dipuji krtikus, lebih optimis dalam memandang Iraq kendati tetap menyorot rapuhnya mental pasukan AS di Iraq (juga terkait dengan rencana penarikan pasukan AS dari Iraq secepatnya) sehingga membuat The Hurt Lockjer special dibandingkan film sejenis ketika dikaitkan dengan isu politis.

Konstruk dalam film Hollywood terhadap negara-negara muslim sejak isu 11 Septemebr menjadi topic yang hangat dibicarakan. Lihat saja film Rendition (2007), the Flightplan (2005), Crash (2005), A Mighty Heart (2007), Babel (2006), the Kite Runner (2007), Charlie Wilson Wars (2007) dll menampilkan citra masyarakat dan negara islam/mayoritas islam identik dengan senjata, kekerasan, aksi pembunuhan serta kemiskinan. Referensi yang selalu dipakai adalah Al-Qaeda dan Taliban untuk mengeneralisasi umat muslim di seluruh dunia. Sedikit sekali referensi yang digunakan untuk menyibak motif mengapa mucul pemberontakan di negara muslim, yang selalu diidentikkan dengan terorisme sehingga dapat dipastikan cara pandang negara non-muslim terhadap muslim juga berubah dan cenderung menimbulkan ketakutan.

Kewaspadaan AS terhadap emerging power lainnya terutama China dan Russia juga tak terhindarkan kendati perang dingin telah berakhir. Ini juga merupakan konsekuensi dari kewaspadaan AS terhadap keamanan nasionalnya sejak tragedy 11 September. Apalagi kedua negara diatas merupakan saingan terberat AS dalam persenjataan nuklir dan militer. Penggambaran mereka terhadap China dan Russia yang selalu ‘negatif’ dalam setiap filmnya seakan menggambarkan arogansi AS terhadap kedua negara tersebut dalam perihal militer dan kecanggihan teknologi. Lihat saja film the Departed (2006), Misssion Impossible III (2006), Salt (2010) dll. Pencitraan China sebagai bangsa yang licik, pengedar barang illegal, people smuggling sangat terkait dengan China selain konstruksi sebagai bangsa yang pintar, walaupun masih diidentikkan dengan plagiarisme/pembajakan. Sedangkan Russsia kerapkali diposisikan antagonis, negara yang frustrasi/iri dengan keberhasilan AS, baik dalam film Bourne Trilogy, Iron Man 2, Salt.

Tampak sekali AS, melalui industry perfilamannya membentuk konstruksi kehebatan AS sebagai negara paling maju dan mencitrakan negara lain ( terutama negara yang bersebrangan) lebih rendah. Hal ini dibentuk sedemikian ruapa sehingga melekat di pikiran setiap orang. Dan media film adalah media yang pas dalam menunjukkan hegemony AS, apalagi ketika kiblat perfilman dunia berhasil mereka pegang. Mereka seolah menentukan standar kualitas akan film apa yang berkualitas dan mana yang tidak, melalui persepsi media massa yang kuat.isu mana yang diangkat dan isu mana yang disembunyikan. Tak ayal, ketika film yang merupakan karya seni perlahan-lahan telah menjadi semacam popular culture yang tidak terhindarkan ketika telah dirongrong oleh teknik produksi yang massal dan berada dalam zona industry yang mengeruk laba. Tidak peduli idenya orisinal dan pengulangan asalkan laku , maka trend-setter itu akan terus berlanjut. Setelah mereka berhasil menguasai industry ini beserta media ini, dengan demikian power yang dimilki untuk membentuk konstruk sesuai pengguna modal akan tercapai.

Dan tahap selanjutnya yang ingin saya tekankan disini adalah betapa kuatnya doktrin dari film itu sendiri sebagai sebuah karya seni dan propaganda dalam menyampaikan sebuah issue sehingga memberikan perdebatan yang tak berkesudahan. Beberapa pakar sosiologi ataupun pengamat popular culture masih kabur dan berdebat dalam membedakan antara mana yang budaya massa, budaya popular, dan apa itu seni dan keterkaitan antara ketiganya. Hal ini disebabkan kesemuanya telah bercampur baur dan saling memasuki zona masing-masing, dan film adalah adalah salah satu contohnya, selain music, arsitektur dan televisi. Yang harus kita cermati disini adalah ketiga bagian diatas telah berasimilasi atau dirasuki oleh system kapitalisme itu sendiri. Semuanya tergantung pada kita sebagai penonton untuk lebih teliti dalam memandang fenomena yang sedang terjadi.