Selasa, 04 Januari 2011

Pemuatan Kembali Karikatur Nabi Muhammad oleh Media Massa di Eropa ( 2005-2006) Sebagai Sebuah Bentuk Ancaman Keamanan Global

Pemuatan Kembali Karikatur Nabi Muhammad oleh Media Massa di Eropa

( 2005-2006) Sebagai Sebuah Bentuk Ancaman Keamanan Global

A. Sekilas tentang Pemuatan Karikatur Nabi Muhammad pada 2006 oleh Media Massa di Eropa

Isu ini menghebohkan dunia pada awal tahun 2006. Setelah dimuat di harian kecil Jylland-Posten di Denmark dan diterbitkan kembali oleh berbagai media massa Eropa seperti, Swedia, Spanyol, Jerman, dan Prancis, kabar ini semkain menghebohkan dunia. Meskipun teklah ada pemintaan maaf dari pihak Jylland-Posten dan dari Pemerintah Denmark sendiri, gelombang protes tak dapat dihindarkan. Dua kubu pun muncul dan saling memanaskan suasana. Kubu Muslim berpendapat kartun Nabi Muhammad tersebut telah melecehkan agama Islam serta mengganggap bahwa deksripsi negatif tentang Nabi Muhammad dirasa semakin melecehkan perasaan umat Muslim Dunia. Reaksi paling keras dan vokal disampaikan di negara-negara Kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan.

Kubu lainnya yaitu pihak Barat kendati telah meminta maaf tetap saja respon yang diberikan umat Muslim masih “keras”. Mereka tetap bersikeras penerbitan kartun tersebut atas dasar kebebasan brekspresi dan kebebasan pers. Hal inilah yang semakin tidak terima oleh umat Muslim. Aksi kekerasan tak terelakkan yang berbuntut pada penarikan sementara staf diplomatik Denmark di tiga negara, Indonesia, Iran dan Suriah. Selain itu juga terjadi perang mulut anatar AS dengan Iran terlebih lagi ketika AS melalui Menlunya menuduh Iran dan Suriah sebagai dalang dari kekisruhan ini. Hal ini dibantah oleh Iran dan Suriah. Meskipun AS memberikan dukungan kepada Denmark, Sekjen PBB secara halus juga menyindir kinerja dari wartawan Denmark tersebut. Melihat berbagai perbedaan persepsi antara kedua kubu saya akan memakai konsep HAM dalam memahami permasalahan yang terjadi ini.

Masyarakat Muslim duniapun turun kejalan dan melakukan tindakan anarkis serta mudah sekali terpancing amarah dalam menganggapi isu-isu yang sensitif. Itu bisa dilihat dari aksi dunia Muslim berupa pelemparan batu yang dimuat berulang-ulang, pembakaran bendera Denmark serta slogan anti-Denmark. Selain itu reaksi umat Muslim digambarkan menimbulkan ketakutan yang berlebihan dari pihak Eropa karena tindakan mereka yang merusak gedung-gedung perwakilan UE dan Denmark dan negara-negara yang menerbitkan kembali kartun tersebut. Hal ini kontan membuat Denmark menarik sementara para staf diplomatiknya di negara-negara yang mayoritas Muslim.

B. Konsep HAM (Hak Asasi Manusia)

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dimiliki seseorang dan melekat pada diri setiap manusia sejak ia dalam kandungan dan merupakan pemberian dari Tuhan. Konsep-konsep atau ide-ide mengenai HAM setidaknya dapat dibagai ke dalam tiga bagian. Pertama, dikenal dengan istilah first generation. Pada bagian ini isu-isu HAM berpusat pada area politik, seperti kebebasan berbicara dan berorganisasi serta mendirikan perkumpulan atau hak untuk berpartisipasi secara aktif maupun pasif dalam pemerintahan negaranya atau diwakili melalui parlemen. Pengakuan tentang hal yang berkaitan dengan politik ini dituangkan dalam Deklarasi HAM PBB pasal 21. Kedua, dikenal dengan istilah second generation. Bagian yang kedua ini sangat memfokuskan HAM pada area ekonomi, sosial dan budaya demi martabat serta pengembangan kepribadian seorang manusia. Pengakuan akan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya diatur dalam dokumen PBB berupa Perjanjian Internasional mengenai hak ekonomi, sosial , dan budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights). Berikutnya dikenal dengan istilah third generation. pada bagian ketiga ini lebih difokuskan pada area kolektif dnegan kata lain pengakuan tentang hak-hak masyarakat (peoples). Pada era setelah berakhirnya Perang Dingin, konsep dari HAM mengalami tantangan yang luar biasa dan memunculkan berbagai macam kritik. Ini sekaligus mempertanyakan konsep third generation. Penekanannya pada “people” menjadi rancu. Paling jelas dapat diamati pada konsep “Western values” dan “Asian Values”. Benarkah “people” dari seluruh dunia yang dimaksud?

C. Analisis

Isu pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW jelas menimbulkan semacam ancaman social (social-threats) dalam dinamika keamanan global. Social threats tidak dapat dipisahkan dari political threats. Permasalahan seperti bahasa, ide, komunikasi, agama, entitas lokal (tradisi), budaya, merupakan pokok utama permasalahan dalam societal threats. Ketika masuk ke ranah global ini menjadi semacam social-security yang sangat saling keterkaitan dengan political-security.

Dalam kasus ini CSS (Critical Security Studies) memberikan manfaat yang penting dengan memperluas cakupan debat di dalam studi mengenai keamanan dengan memperkenalkan perspektif-perspektif postpositivis, seperti feminis, pos-kolonial, neo-marxis, konstruktifis, sosiologis, dan posmodernis.[1] CSS secara langsung menarik permasalahan yang nyata dan pertanyaan-pertanyaan dari studi keamanan kontemporer dengan tujuan untuk terlibat dalam re-evaluasi secara teoretis dan re-orientasi dari bidang tersebut.[2] Copenhagen school mengangkat isu mengenai securitization. Securitization, menurut Copenhagen School terjadi dalam interaksi di antara elit pemerintah dan masyarakat. Menurut Barry Buzan dan Waever, “Security is a quality actors inject into issues by securitizing them, which means to stage them on the political arena… and then to have them accepted by a sufficient audience to sanction extraordinary defensive moves.” (Buzan, Waever, and de Wilde 1998 p. 204)[3]

Menurut Barry Buzan dan Waever, keamanan dapat didefinisikan sebagai aktor-aktor yang masuk ke dalam suatu permasalahan dengan mengamankan mereka, yang bertujuan untuk menempatkan mereka dalam arena politik, dan kemudian membuat mereka diterima oleh sejumlah masyarakat untuk memberikan sanksi terhadap tindakan pertahanan yang luar biasa. Apabila melihat karya-karya Barry Buzan, sectors didefinisikan sebagai arena di mana tipe-tipe keamanan berinteraksi; yaitu militer, politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan.[4] Bagi Copenhagen School, sektor-sektor ini mendukung berbagai bentuk hubungan-hubungan antara aktor-aktor untuk mengembangkan definisi yang berbeda dari referent object – sebuah entitas yang dilihat dalam terancam dan memiliki klaim yang sah untuk meminta keberlangsungan hidupnya.[5] Dalam kasus diatas, Denmark ‘kewalahan’ oleh keputusan pemerintah di beberapa negara di Kawasan Timur Tengah. Mereka menghentikan impor dari Denmark dan menolak semua barang buatan Denmark. Perekonomian Denmark sempat melemah. Kita bisa lihat bagaimana sebuah kebijakan Luar Negeri dipengaruhi oleh isu-isu HAM misalnya.

Isu yang awalnya dimulai oleh sebuah media massa, dalam waktu sekejap berubah menjadi “friksi” antarnegara, yaitu antara Denmark dan mayoritas Negara yang dihuni oleh penduduk Muslim. Bahkan Uni Eropa juga termasuk dalam kekisruhan isu ini akibat pemuatan kembali karikatur Nabi Muhammad oleh media massa mereka.. Apalagi pada kasus pemuatan karikatur Nabi Muhammad ini terjadi setelah tragedy 11 September dimana entitas Muslim selalu menjadi sorotan tajam. Penggambaran Nabi Muhammad secara ‘karikatur” sangat sukar diterima oleh penganut muslim di seluruh dunia. Sedangkan di Barat dimana cara pandang liberal sangat diakui hal ini lebih bermuatan ‘kebebasan berpendapat dan berekspresi. Perbedaan persepsi akan sebuah nilai kepercayaan menjadi blunder yang mengancam stabilitas keamanan global. Mulai dari aksi anarkis di berbagai penjuru dunia yang memakan korban sampai pemboikotan produk buatan Denmark mencerminkan betapa kompleksnya keterkaitan antar satu sector dengan sector lainnya (social-politik-ekonomi).

Mengacu pada pemahaman Copenhagen School terkait isu ini jelas ada dua pihak yang merasa terancam (referent object) terkait pemuatan karikatur Nabi Muhammad ini, pertama jelas umat muslim di seluruh dunia, mereka menanggap terjadi pelecehan terhadap nilai-nilai yang mereka percayai selama ini oleh Denmark dan Eropa,ditambah lagi pencitraan pasca 11 September dan aksi anarkis dan terorisme yang melekat di citra umat Muslim membuat posisi umat Muslim “kesusahan”. Jelas ada nilai-nilai identitas umat Muslim yang terancam bagi pemeluk Islam di seluruh dunia. Pihak lain yang merasa dirinya juga terancam adalah Denmark dan UE (karena memuat kembali kariaktur tersebut di media massa local di berbagai negara), mulai dari media yang memuatnya, masyarakat Denmark di luar negeri sampai Pemerintah Denmark sendiri. Pihak Denmark jelas mengalami kerugian besar terkait boikot barang-barang buatan Denmark di Timur Tengah. Selain itu aksi anarkis pelemparan batu ke jendela kedutaan besar mereka dan perwakilan UE di negara berpenduduk muslim semakin membuat permasalahan memanas sampai pada penarikan staff diplomatic untuk sementara waktu.

Selain sectors dan referent object, konsep lain yang terkait dalam pemahaman CSS adalah securitzation. Securitization berhubungan dengan kemampuan “speech act” yang dilakukan oleh pemerintah atau elit politik untuk meyakinkan masyarakat terhadap suatu hal yang dianggap mengancam keamanan, agar masyarakat waspada dan mengganggap hal tersebut sebagai ancaman bagi keamanan. Permasalahan yang dianggap ancaman itu biasanya bukan berasal dari militer atau yang berhubungan dengan high politics. Pada pemuatan ulang karikatur Nabi Muhammad ini dapat kita simak ada perbedaan dalam memandang penerbitan kartun nabi tersebut. Pihak Barat tetap teguh dengan prinsip kebebasan berekspresinya dan sangat menghormati keberagaman. Sentimen negatif tampak diberikan oleh Amerika Serikat yang menilai Iran dan Suriah sebgai dalang dari aksi massa di seluruh dunia Muslim dan sangat memanfaaatkan situasi ini dengan baik. Terlihat prasangka dari masing-masing pihak semakin tajam ditambah lagi dengan sikap Taheran yang membiarkan lomba penerbitan kartun Holocaust yang memicu kemarahan umat Yahudi dan Barat.

Hal ini kemudian melebar sampai pada perseturuan antara dunia Muslim dan Barat. Denmark mendapat sokongan dari AS, meski bisa dikatakan bukan dalam bentuk langsung, tetapi pernyataan AS yang menuding Suriah dan Iran sebagai provokator aksi anarkis di berbagai negara membuat kedua kubu semakin berlawanan. Di Nigeria dan Pakistan, pemerintah setemapt, sampai mengeluarkan tanggap darurat demi mengatasi aksi anarkis warga yang menentang pemuatan ulang kartun ini. Pada akhirnya tidak hanya Denmark, tetapi identitas Barat juga terseret kedalamnya. Bahkan PBB, Uni Eropa, dan OKI mengatakan mereka cemas atas aksi unjuk dengan kekerasan menentang kartun politik Denmark yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai teroris. Ketiga organisasi itu mengeluarkan pernyataan bersama mengutuk tindak kekerasan itu – khususnya serangan atas misi-misi diplomatik di Siria, Lebanon dan tempat-tempat lain. Ketiga organisasi itu mengatakan mereka menjunjung sepenuhnya hak mengutarakan pendapat. Tetapi mereka mengatakan kartun “penghinaan” terhadap Nabi Muhammad menunjukkan perlunya kepekaan dan tanggung jawab oleh pers bagi kepercayaan semua agama. Javier Solana mengatakan “Eropa menghormati Islam dan tidak pernah dan tidak akan bermaksud melukai perasaan umat Islam terkait penrbitan kartun Nabi Muhammad yang menyinggung umat muslim seluruh dunia”. Hal ini disampaikan sewaktu pertemuannya dengan ketua OKI Ekmeleddin Ihsanoglu. Sedangkan Koffi Anan mengatakan “kartun tersebut bersifat sensitif,ofensif dan provokativ”.

Isu HAM jelas menjadi isu sekuritisasi dalam hal ini. Pihak Denmark dan Barat menganggap apa yang diterbitkan oleh media Denmark tersebut sebagai sebuah kebebasan berekspresi dan telah sesuai dengan UU Denmark. Bahkan negara-negara seperti Perancis, Jerman, Spanyol menganggap penerbitan kembali kartun tersebut merupakan aksi solidaritas mereka dalam menjunjung kebebasan pers. Namun, pihak negara Muslim menanggap lain permasalhan ini. Menurut mereka penggambaran Nabi Muhammad yang bersorban bom dianggap melecehkan agama mereka. Ditambah lagi dalam Islam gambar/kartun Nabi muhammad saja tidak boleh dilakukan (haram) karena dianggap sebagai bentuk pemberhalaan.

Benarkah HAM berlaku secara universal? Meski hal ini diralat oleh Chris Brown yang berpendapat bahwa meskipun HAM merupakan produk pemikiran Barat bukan berarti kita akan dibuat berpikir seperti Barat pula[6]. Dari yang awalnya menekankan pada kebebasan berpendapat dan HAM ternyata menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan. Jelas isu social kemudian bisa berkembang menjadi ancaman global sehingga perlu disekuritisasi agar tak terulang lagi dan memberikan kemaslahatan bagi semua orang. Perbedaan pemahaman dalam memandang HAM saja bisa menimbulkan konflik antar sesama manusia lintas nasional yang memakan korban jiwa dan membuat ketenangan warga Barat di Negara Muslim menjadi terancam. Yang kemudian dibutuhkan adalah ruang publik dimana wacana-wacana alternatif dapat dihasilkan melawan wacana keamanan yang dikonstruksikan oleh para elit politik atau pemerintah.

Daftar Pustaka


Brown, Chris.2008. Human Rights dalam John Baylis dan Steve Smith, eds., The Globalization of World Politics.An Introduction to Internatonal Relations. 4th. Oxford: Oxford University Press,hal 506-521.

Buzan, Barry. 1991. People, States, and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era. London: Harvester Wheatsheaf, 2nd ed., dalam buku Allan Collins. 2007. Contemporary Security Studies. New York: Oxford University Press.

Buzan, Barry dan Hansen, Lene. 2008. The Evolution of International Security Studies. New York: Cambridge University Press.

Aradau, Claudia . Theorizing Security and the Limits of Politics”, dalam http://critical. libertysecurity. org/ documents/Aradau.doc . Diakses pada 18 Desember 2010

Booth,Ken. 2005. Critical Security Studies and World Politics. (Boulder, CO and London: Lynne Rienner, dalam http://www. in-spire. org/reviews/nz11072007_critical_security _studies.pdf. Diakses pada 18 Desember 2010

Booth, Ken. 1997. Security and self: Reflections of a fallen realist. In Critical security studies, ed. Keith Krause and Michael C. Williams: London: UCL Press.

http://www.upress.umn.edu/Books/K/krause_critical.html Diakses pada 17 Desember 2010

Ribuan Demonstran Bakar Gedung Kedutaan Denmark dan Norwegia di Damaskus.2006. diakses melalui http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2006-02-04-voa11-85266257.html. Diakses pada 17 Desember 2010.

AS Mengecam Keras Serangan Atas Kedutaan Asing di Damaskus.2006. http://www. voanews.com/indonesian/news/a-32-2006-02-05-voa1-85232997.html. Diakses pada 17 Desember 2010

PBB, Uni Eropa dan OKI Cemaskan Reaksi Keras Atas Kartun Nabi Muhammad.2006. http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2006-02-08-voa1-85075047.html. Diakses pada 17 Desember 2010

Kofi Annan Kritik Media Yang Memuat Kartun Nabi.2006. http://www.voanews. com/indonesian/news/a-32-2006-02-10-voa3-85257212.html. Diakses pada 17 Desember 2010.

Staf Diplomatik Denmark Tinggalkan Suriah.2006. http://www.voanews. com/indonesian/news/a-32-2006-02-11-voa7-85307102.html. Diakses pada 17 Desember 2010.

Denmark Tarik Pulang Diplomat, Anjurkan Warganya Tinggalkan Indonesia.2006. http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2006-02-12-voa3-85307237.html. Diakses pada 17 Desember 2010.

Javier Solana: Eropa Menghormati Islam.2006. http://www.voanews.com/english/news/a-13-2006-02-13-voa49.html. Diakses pada 17 desember 2010.




[1] Ken Booth, Critical Security Studies and World Politics. (Boulder, CO and London: Lynne Rienner, 2005) dalam http://www. in-spire. org/reviews/nz11072007_critical_security_studies.pdf (diakses pada 18 Desember 2010)

[3]Theorizing Security and the Limits of Politics”, oleh Claudia Aradau dalam http://critical. libertysecurity. org/ documents/Aradau.doc (diakses pada 17 Desember 2010)

[4] Barry Buzan, People, States, and Fear: An Agenda For International Security Studies in the Post-Cold War Era, 2nd ed., (London: Harvester Wheatsheaf, 1991), dalam buku Allan Collins, Contemporary Security Studies, ( New York: Oxford University Press, 2007), hlm. 60.

[5] Barry Buzan dan Lene Hansen, The Evolution of International Security Studies, (New York: Cambridge University Press, 2008), hlm. 214.

[6] Chris Brown.2008. Human Rights dalam John Baylis dan Steve Smith, eds., The Globalization of World Politics.An Introduction to Internatonal Relations. 4th. Oxford: Oxford University Press


Praktikum Profesi HI UNPAD 2007 :

Sebagai Sebuah Inovasi dalam Pengaplikasian Studi HI

Berbicara tentang aplikasi tentu kita akan berbicara tentang manfaat/kegunaan akan sebuah hal, seeprti halnya aplikasi bwt perangkat elektronik. Berhubung temanya aplikasi studi HI, tentu jelas sebagai sebuah ilmu, HI memiliki kegunaan. Kalu tidak memiliki kegunaan tentu bukan ilmu namanya. Percuma saja untuk dipeljari jikalau tidak memberikan kemaslhatan bagi umat manusia.

Semakin berkembangnya studi HI baik dalam actor sebagai subjek dan cakupan issuenya, tentunya membawa pengaruh yang besar dalam aplikasi ilmu HI itu sendiri. Jika kita tarik lagi perubahan studi HI yang sejak awal berdirinya sampai sebelumj perang Dingin berakhir sangat didominasi oleh aliran postiivs, yang mana menurut kaum reflektivis telah memebntuk ‘struktur” yang kuat dalam menancapkan konsep dan teorinya di tiap pikiran para penstudi HI. Maka sejak berakhirnya Perang Dingin, isu-isu HI yang sangat high-politics perlahan-lahan mulai cair dan mulai “membumi”, tidak lagi terpatok pada lingkaran elitis pembuat kebijakan. Perspektif barupun mulai menjadi pilihan dan dikembangkan secara masssiv. Keberanian mendrobak struktur yang telah tertanam kuat telah membuka pintu-pintu pengetahuna baru dalam pendalaman studi HI.

Lihat saja efeknya sekarang ini, HI tidak lagi melulu berbicara mengenai kebijakan luar negeri, diplomasi, politik global, kemanan global (tradisional), organisasi internasional, perang dan damai. Berakhirnya Perang Dingin misalnya melahirkan konsep demokrasi dan HAM yang mulai marak diperbicangkan, konsep human security yang tidak lagi beraptok hanya pada dunia militer dan high-politic (tetapi menekankan pada individu) serta semakin meningkatnya perhatian utama kita terhadap lingkungan hidup dan kesetaraan gender. Belum lagi konflik yang terjadi tidak lagi hanya melibatkan antar negara, melainkan terhadi dalam Negara itu sendiri (domestic) yang semakin ramai sejak 90-an, membuat kajian konflik etnis menjadi perhatian utama para penstudi HI. HI seakan semakin meluas. Tragedi 11 September menjadi bukti berikutnya dimana kajian tentang terorisme global/internasional mulai dipelajari di bangku-bangku kuliah ataupun kajian tetnang Islam dalam HI dalam memahami kompleksitas tragedi 11 September. Tidak hanya itu pembelajaran terkait cultural studies juga mulai popler di kalangan para penstudi HI dimana kita diajak untuk ‘mengobrak-abrik” berbagai macam “struktur/mitos” yang telah tertancap kuat dalam studi HI selama ini. Untuk Indonesia khususnya, sejak dimulainya otonomi daerah sangat memungkinkan sekali kerjasama antar daerah dan dunia internasional asalkan kesepakatannya sejalan dengan kebijakan nasional negaranya. Dalam studi HI pun ada pembelajaran tentang hubungan ekonomi politik pusat dan daerah

Jelas dinamisnya studi HI dalam menyikapi berbagai macam persoalan yang terjadi menandai adanya keberanian untuk bersikap inovatif dan selalu berorientasi akan masa depan. Studi HI perlahan-lahan mulai keluar dari zona nyamannya selama ini dan seakan menantang dirinya sendiri dalam menghadapi berbagai macam problema dunia internasional. Bukan bermaksud membanggakan diri sendiri tetapi kita (saya dan teman-teman HI Unpad 2007) sebagai penstudi HI juga mulai perlahan-lahan berpikir inovatif dalam menyikapi perkembangan studi Hi saat ini. Ini bisa terlihat jelas dalam praktikum profesi yang kami lakukan pada November lalu. Mulai dari pengamtan terhadap “keunikan” hip-hop di Australia, ekssistensi waria dan cabaret di Thailand sebagai penarik wisatawan, glokalisasi kopitiam (warung kopi) di Singapura, perkembangan wisata belanja di Orchard Road Singapura, penamaan rijstafle (kuliner) di Belanda yang identik dengan poskolonialisme, sampai pada hal-hal seperti English Village di Pare (Kediri), konsep disneysasi di Taman Mini Jakarta, ataupun perkembangan Pasar Seni Sukowati di Bali yang ramai dikunjungi wisatawan mancanegara dan konsep pengairan dan pertanian di Bali yang terus lestari dalam era globalisasi selain sebagai tujuan wisata hingga mengamati hal-hal yang berbau mistis/spiritual/local wisdom di sebuah desa di Bali.

Studi HI yang kita lakukan berupa praktikum menunjukkan betapa semakin membuminya studi HI dan bisa ditemukan dimana-mana. Studi HI saat ini bisa mengaitkan dirinya dengan hal-hal yang tidak lagi harus berdasarkan hubungan antar negara melainkan mulai dilakukan dan dirasakan pada tingkatan komunitas ataupun individu (sebagai pemain kunci). Sekarang kemanapun kita berjalan, menonton, gaul, kongkow semuanya tidak lepas dengan fenomena dalam studi HI. Melihat iklan Nutrilon di tv, kongkow di Starbucks, nonton film-film Hollywood, efek CAFTA di Cibaduyut, banyaknya para warga melayu Malayisa yang belanja di Pasar Baru Bandung (menurut teman saya David), pornografi, penyebaran HIV/AIDS, donor organ illegal, pandemik SARS dan flu burung, fenomena paras Indo di tv-tv yang digilai para warga Indonesia sampai pada fenomena the rising star Irfan Bachdim juga tak luput dari kajian HI baik dari segi fisiknya maupun konsep naturalisasi dalam sepakbola.

Bukan berarti high-politics thingy sudah tidak zaman lagi, melainkan dengan bermunculannya konsep HI yang sangat sehari-hari tadi menandakan betapa kompleksnya studi HI tersebut. Tentu terkadang isu-isu yang nyeleneh ini tidak sejalan dengan pola pikir penstudi HI kebanyakan, bahkan malah cenderung mengucilkan dan tidak mengapresiasi. Berbagai tekanan muncul. Hal ini semakin memberi tantangan dalam mengembangkan studi HI yang semakin kaya dan menarik ini. Justru disanalah menurut saya aplikasi ilmu HI yang paling dasar selalu berpikir ke depan dan maju dalam melihat zaman. Tidak terkungkung akan struktur yang telah tercipta dan senantiasa selalu mendobrak dan melakukan perubahan.


Menyikapi Ragam Paradigma dalam Studi HI

Menyikapi Ragam Paradigma dalam Studi HI

Dalam hal saya tidak akan membahas berbagai macam paradigma dalam studi HI. Jumlahnya sangat banyak sehingga memungkinkan kita melihat persoalan dari berbaghai macam sudut pandang. Paradimga seringkali disamakan maknanya dengan perspektif, pendekatan, aliran pemikiran (school of thought). Jumlahnya yang cukup banyak tersebut terkadang membingungkan dan sukar sekali untuk menguasai semuanya sekaligus. Sebut saja Realisme, Liberalisme beserta turunanya Neo-Realisme dan Neo-Liberalisme, Marxisme, Critical Theory, Normative Theory, Konstruiktivisme, Poskolonialisme, Feminisme, Historical Sociology, Pos modernisme serta Enviromentalisme. School of thought dioatas juga terbelah kedalam Positivis dan Reflektivis yang karakternya saling bertolak belakang. Banyaknya pendekatan yang digunakan juga terkait dengan dinamisnya isu (ontology) dari kajian studi HI itu sendiri.

Pada tulisan kali ini saya akan lebih memfokuskan pada diri saya sendiri (dan mungkin bagi para pembaca dan teman-teman HI lainnya) dalam usaha memahami berbagai macam aliran pemikiran/paradimga diatas. Bukan pekerjaaan yang gampang tentunya dalam memahami kesemuanya. Mereka seolah-olah seperti prasmanan yang terhampar di meja saji dalam partai besar. Beberapa ada yang kita sukai dan cocok dengan lidah kita, tetapi beberapa diantaranya tampak tidak sesuai selera. Akan tetapi sebagai pesntudi HI mau tidak mau kita harus mencoba semuanya (sebelum pada proses memahami tentunya). Beberapa diantaranya cukup lancar ditermia, sedangkan yang lain membutuhkan pergolakan yang cukup panjang untuk bisa memahaminya (setidaknya untuk dibaca). Terkadang sukar sekali diterima dengan akal pemikiran mainstream (terutama pemikiran Reflektivis). Dibutuhkan “keterbukaan” (open-minded) dalam memahaminya. Setidaknya untuk membuka pintu pertama dalam otak kita, sebelum pintu-pintu yang lainnya dibuka.

Lalu apakah selancar itukah prosesnya? Tentu tidak, untuk memahami reflektivis misalnya sebagai “lawan” dari positivis, kita dituntut untuk memahami positivis terlebih dahulu, agar tidak ngaur dan sok-sok-an dalam memahami pemikiran Reflektivisme. Reflektivisme sendiri mulai menjadi mengemuka dalam studi HI sejak berakhirnya Perang Dingin, walaupun pada decade sebelumnya telah mulai dirintis. Semakin berkembangnya pemahaman Reflektivisme membuat studi HI semakin berwarna dan bervariasi sekaligus semakin menawarkan banyak pilihan. Pilihan yang sangat banyak inilah yang membingunkan jika kita berusaha memahami semuanya dalam kurun waktu empat tahun. Memahami kesemuanya secara sedikit-sedikit dan tidak tuntas, tentunya membuat kita kewalahan dalam menentukan sikap. Seringnya diskusi dengan teman-teman seangkatan dan angkatan-angkatan atas, membuat saya mendapat kesimpulan “terlebih baik” jika kita memilih satu yang paling kita sukai dan paling tertarik untuk selanjutnya dieksplor lebih dalam ketimbang membaca semuanya tetapi cuma sedikit-sedikit . tentu mengetahui dan membaca kesemua paradigm tersebut adalah hal yang dibutuhkan demi pemahaman yang lebih holistic. Akan tetapi ketetapan sikap dan pilihan akan lebih memudahkan kita dalam menyatakan sikap (setidaknya untuk tujuan yang pragmatis).

Jika kita tarik keawal ketika Studi HI pertama kali berdiri setelah PD I berakhir, pengaruh bidang studi lain seperti hukum, sejarah, dan filsafat tampak sangat mendominasi. Bahkan Realisme yang identik dengan “orisinalitas” atau “keunikan” dalam studi HI, sangat kuat sekali dipengaruhi oleh pemikiran pemikiran politiknya Machiavelli dan Thomas Hobbes. Ataupun Idealisme yang sangat kental atas pemikiran Kant. Hal ini terus berlanjut sampai sekarang, dimana ilmu sosial lain seperti Sosiologi, Antropologi, dan Ekonomi serta Politik sangat kental dalam mewarnai studi HI. Perkembangan Studi HI yang sangat dinamis dari masa ke masa terutama dalam coverage issuenya memungkinkan sekali mucul kajian baru dengan pendekatan yang sudah di”HI-kan” seperti pemikiran Mazhab Frankfurt yang kental dengan Ilmu Komunikasi yang kemudian di-“HI-kan” oleh Linklater atau pemikiran Posmodernisme yang di-Hi-kan” oleh Ashley dan RBJ.Waklker. Bahkan berbagai macam mata kuliah pun seperti Politik Dunia, Lingkungan Hidup dalam studi HI, Islam dalam studi HI, MNC dalam politik dunia menandakan betapa rumitny dan kompleksnya percampuran ilmu-ilmu lain dalam studi HI itu sendiri.

Sangat dinamisnya perkembangan paradigma/alirran dalam studi HI mengindikasikan pola pikir yang “open-minded” dalam menyikapi berbagai macam perubahan. Itulah yang saya rasakan selama belajar di HI. Keberagaman paradigma serta adanya filtrasi dan percampuran dari ilmu social lainnya membuat kadar toleransi dalam menyikapi masalah lebih longgar tidak lagi kaku/keras seperti diawal dulu karena adanya kesadaran bahwa studi HI sangat kaya akan ‘sudut pandang’ dalam menyikapi sebuah permasalahan yang tentunya dengan tool analysis-nya menggunakan paradigm yang beragam tadi.

Hanya saja, kelonggaran toleransi yang tinggi terhadap keberagaman cenderung menimbulkan semacam clash dalam diri masing-masing penstudi HI saya pikir. Apalagi segala macam buku/referensi yang dibaca merupakan pemikiran dari Eropa, Amerika Utara, Australia. Sangat sedikit sekali literature yang intens kita baca berasal dari India dan China atau dunia belahan lainnya. Mungkin selain dominasi Eropa dan Amerika Utara, Australia, Amerika Latin yang sangat terkenal dengan prominen pemikiran terkait dependency school-nya . Mungkin pemikiran ini lebih tepat ditujukan khusus bagi para penstudi HI di Indonesia dan negara berkembang lainnya,diman studi HI cenderung membuat para penstudinya sangat “kebarat-baratan” dan bingung dalam “membumikan” studi HI itu sendiri yang identik dengan elitis, keanggunan, pencitraan. Dengan kata lain studi HI juga belum digunakan secara maksimal dalm pengambilan kebijakan pemerintah. Hal ini menimbulkan kebingungan dalam mengharmonisasikan teori dan paradigm HI dengan event-event domestik Jika India mulai perlahan-lahan mengidentikkan dengan aliran poskolonilsime lantas bagaimana dengan penstudi Hi di Indonesia ??

Teknologi dan Paranoia : Full Body Scanners at Airport

Teknologi dan Paranoia : Full Body Scanners at Airport

Pernahkah anda mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan selama di bandara? Terutama di keberangkatan internasional?? Pengalaman paling pahit yang saya alami hanya disuruh membuang botol air minum milik saya. Ini masih belum seberapa jika dibandingkan bagi anda memiliki nama yang berbau Arab/Islam , mempunyai jenggot yang lebat, dsb, anda akan dibuat “berlama-lama” di bandara untuk diinterogasi lebih jauh. Salah seorang guru saya ketika sekolah dulu pernah mengalami pemeriksaan yang berlebihan ini. Sedkit mitip dengan yang dialami Shahrukh Khan dalam My Name Is Khan.

Pemeriksaan yang berlebihan bukan mucul tanpa sebab tentunya. Sejak aksi terorisme 11 September wajah dan kebijakan negara-negara di dunia termasuk di Indonesia mengalami perubahan drastis yang berdampak pada pola konstruksi dan pencirian sebuah indentitas (baca islam) menjadi sorotan tajam. Kebijakan dan aturan yang pada tahun-sebelumnya belum pernah ada, sekarang menjelma dengan begitu ketatnya. Ketakutan yang berlebihan akibat pemberitaan media massa yang sangat exposure terkait terorisme dna laporan badan intelijen membuat kebijakan negara-negara terutama negara maju sangat radikal dalam mengamankan negaranya. Hal ini memicu pada perkembangan teknologi yang massive yang digunakan di tempat-tempat umum, mulai dari CCTV, screening di bandara yang termat ketat, dll.

Dalam kajian kemanan global kita mengenal isitilah containment (pengurungan/pengepungan), yang berarti : aksi yang dilakukan melalui peningkatan keamanan di tempat publik terutama di jalur transportasi antar negara seperti bandara dan stasiun kereta api, dengan tujuan mencegah aksi serupa terjadi lagi. Hal ini membawa konsekuensi pada ketidaknyamanan yang dirasakan oleh warga negaranya sendiri akibat paranoid yang berlebihan dari penyenlenggara negara dalam memaksimalkan pengamanan bagi national securitynya. Contoh :pengamanan ekstra ketat di bandara-bandara AS dan Israel. Aksi ini dilakukan sebagai rekasi pemerintah dalam menyikapi aksi kekerasan politik oleh actor non-negara.

Dalam hal ini kita akan memfokuskan pada full body scanners yang mulai diterapkan di bandara-bandara di AS dan beberapa bandara utama di dunia (baca : http:/ /consumerist.com/2010/09/updated-list-of-full-body-scanners-at-airports.html). Teknologi ini selain berbiaya mahal sekitar 170 ribu dollar AS ini terbukti memang sangat gamblang dalam memeriksa keamanan para penumpang dalam menyembunyikan berbagai macam senjata tajam, peledak, dll dalam bentuk dan ukuran apapun sampai bisa menyensor ke dalam tubuh si penumpang untuk mengecek bebagai macam benda yang mencurigakan. Dalam satu sisi, teknologi ini memang sangat meminimalkan terjadinya berbagai macam bentuk serangan teorisme aksi brutal yang membahayakan keamanan semua orang.

Akan tetapi, penggunaan teknologi ini oleh TSA (Transportation Security Administration) di AS menimbulkan complain bahkan bebrapa telah mengajukan lawsuit ke Departement of Justice (baca : Error! Hyperlink reference not valid. ). Penggunaan teknologi dianggap sangat melecehkan martabat manusia dan sangat sensitive terkait masalah moral dan etika. Setiap penumpang yang dicek dengan teknologi ini harus menanggalkan bajunya (hanya menyisakan pakaian dalam) ketika diperiksa. Bayangkan saja, betapa lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melepas pakaian tersebut dan memasangnya kembali. Belum lagi terkait pelanggaran privasi di tempat umum. Tentu tidak semua orang nyaman mempertontonkan bentuk tubuhnya terhadap orang yang mereka tidak kenal sama sekali (para penjafga) Apalagi bagi wanita dalam balutan pakaian musim dingin tentunya?

Ini belum termasuk jika mereka memeriksa wanita muslim yang berjilbab. Dan jelas, para penganut muslim lah yang menjadi target utama pemriksaan ini. Pertentangan mempertotntonkan aurat dengan aturan akibat stigma yang terlanjut melekat pada mereka sungguh menjadi pilihan yang dilematis. Belum lagi jika anda memiliki cacat tubuh atau adanya bagian tubuh yang tidak nyaman untuk dipertontonkan (luka operasi) atau mereka ygn memiliki penyakit psikis terkait bentuk tubuh. Lalu bagiamana dengan kaum transeksual yang memakai penis prostetik misalnya?? Ditambah lagi hasil screening ini sangat jelas mempertontonkan bentuk anatomi termasuk (alat vital) para penumpang. Peralkuan semacam ini kendati ditujukan untuk keamanan nasional dan global ternyata menimbulkan permasalahan pelik terkait moralitas, etika, dan privasi warga Negara.

Tak selamanya teknologi membuat kita menjadi efektif, praktis, dan mudah, setidaknya dalam proses awal. Teknologi yang seharusnya ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat umumnya ternyata malah menimbulkan ketidaknyamanan yang sangat mengguncang keyakinan (bagi beberapa identitas). Ironi memang, ketika kita menciptakan ketakutan dan konstruk, kemudian menciptakan teknologi untuk mengatasi ketakutan tersebut hasilnya malah menimbulkan ketidaknyamanan akibat ketakutan yang diciptakan tersbut. Tentu teknologi yang ramah etika/moral bukan hal yang mustahil bukan??