Senin, 25 Oktober 2010

SEBUAH PEMIKIRAN TENTANG PENDIDIKAN

Pendidikkan adalah jelas perihal yang berkesinambungan. Kita tidak bisa hanya menyalahkan para pengangguran berdasarkan kualitas almamaternya. Melainkan harus ditarik lebih jauh lagi sejak pendidikkan dasarnya, suatu proses dimana segala pencerahan atau “kegelapan” itu dimulai. Tentunya partispasi dan keterkaitan antara stakeholder seperti pihak sekolah/perguruan tinggi, murid/mahasiswa, pemerintah, orangtua dan lingkungan sangat mempengaruhi kualitas sebuah pendididkan yang terbungkus dan terkait lagi dengan nilai-nilai umum yang berlaku di masyarakat serta aturan yang diciptakan oleh pemrintah ;

Ada satu pengalaman menarik dan patut untuk direnungkan, ketika saya mudik pada lebaran kemarin. Adik saya yang paling kecil, perempuan, tampak sedang mengerjakan PRnya. Dia baru saja duduk di kelas 2 SD. Ketika saya perhatikan lebih detail dan melihat LKSnya, tampak dengan jelas, mata pelajaran seperti IPA, IPS, Bahasa Inggris sudah diajarkan sedari dini sejak kelas 1 ternyata, ketika saya tanya lagi kepada orang tua saya. Jujur, saya cukup terkejut melihat progress nya yang sangat cepat. Ketika saya masih SD, pelajaran Bahasa Inggris, IPA, IPS diajarkan sejak kelas 3 SD. Belum lagi mereka fasih dengan pelajaran membaca menulis serta berhitung, mereka sudah diajarkan tentang hukum-hukum ilmu alam dan social (meski dalam tahap pemula).

Tak heran kemudian berjamuran pusat bimbingan belajar di sekitaran SD adik saya tersebut. Kebetulan saya berempat bersaudara memang besekolah di tempat yang sama, di sebuah SD swasta di Padang. Orang tua saya juga mengaku sangat kewalahan mendampingi proses belajar adik saya di rumah, berhubung ketiga anak-ankanya sebelumnya bisa dibilang tidak mengalami perubahan drastis dalam kurikulum SDnya. Tampaknya, anak-anak sekarang sepertinya dituntut berpikir dan belajar sangat cepat. Kemudian saya berpikir kembali, apabila sejak kelas 1 SD anak-anak sudah dibekali pembelajaran begitu banyaknya dibarengi dengan tas sekolah yang berat sekali (karena harus memuat banyak buku) tidakkah mempengaruhi perkembangan otak mereka serta proses berpikir mereka? Sudah sepantasnyakah mereak dibebani berpikir “seperti” itu?

Hal ini pada akhirnya, mempengaruhi system pendidikan dasar itu sendiri. Mengantisipasi hal ini, ternyata, di tingkat Taman Kanak-Kanak sekalipun pelajaran membaca dan menulis sudah diajarkan. Taman Kanak-Kanak tidak lagi menjadi taman bermain seperti tempo dulu. Jika memang prosesnya demikian, betapa malangnya para keluarga yang tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka untuk menempuh pendidikan di Taman Kanak-Kanak atau pendidikan sejenis sebelum memasuki jenjang SD? Mengingat padatnya mata pelajaran sejak usia dini, membuat para orangtua mulai berbondong-bondong memasukkan anak-anaknya kedalam les privat selain di luar jam sekolah.Pada taraf SMA ataupun SMP mungkin adalah perkara yang lazim dijumpai. Akan tetepai pada tingkat SD?? Saya menyayangkan disini bahwa jika seorang anak sudah ‘dipaksa’ sedari dini untuk berpikir hanya memenuhi kemampuan “kognitif”, lantas dimana waktu mreka untuk bersosialisasi dengan teman sebaya baik di sekolah maupun di rumah. Atau bersantai dengan keluarga mereka. Dan harus diingat tidak semua anak-anak diberkahi dengan kemampuan IQ yang jenius/tinggi.

Masih berkaitan dengan keluarga saya, adik saya yang ketiga pernah mengalami pengalaman dimana baju seragamnya dicoret dengan spidol oleh gurunya karena ketahuan berpakaian tidak rapi. Dalam hal ini, adik saya tidak memasukkan bajunya ke dalam celana secara rapi. Dari semua adik-adik saya, cuma dia yang tercatat dalam sejarah, seragamnya mendapatkan coretan dari gurunya. Pngalaman ini dia daptkan sewaktu masih SMP dulu. Sudah menjadi hal yang lazim tampaknya, terutama dalam bidang pendiidikan, punishment merupakan solusi dalam memberantas kenakalan remaja. Adapun hikmah yang diharapkan dari pemberian sanksi seperti ini agar si pelajar jera akan perbuatannya dan tidak akan mengulanginya di masa yang akan datang. Sejak si pelajar diterima di bangku sekolah baik dari SD sampai SMA, di awal pendafataran dia sudah disodori semacam aturan yang berlaku di sekolah tersebut. Bahkan mayoritas sekolah memberlakukan system poin. Ketika seorang siswa telah melampaui poin tertinggi (dalam perihal kesalahan yang diperbuatnya) maka dia akan didrop-out.

Saya meyakini aturan dan pendisiplinan seperti ini masih berlaku di seluruh sekolah-sekolah di Indonesia. Ketika para orang tua telah menyetujui memasukkan anaknya ke sekolah tersebut (setelah membaca berbagai macam aturan dan seluk beluk sekolah tersebut,)maka dia harus menerima segala konsekuensi yang diterapkan nantinya. Hal ini disebabkan kedua belah telah mencapat kesepakatan. Permasalahannya kemudian adalah tidak semua anak memiliki kapasitas memecahkan masalah yang sama. Ada yang berasal dari jeluarga broken home, ulama, minoritas maupun mayoritas, kaya, miskin. Belum lagi permasalahan seperti pubertas dan pendidikan seks. Hal-hal seperti inilah yang harusnya diantitispasi oleh system pendidikan kita. Tidak hanya mendidik secara akademik, tetapi juga proses mental dan interaksi si anak untuk membaur ke dalam masyarakat.

Adakalanya seorang anak yang sangat pintar/jenius malah berprestasi rendah dalam tataran akademik diperlakukan sama dengan anak lain yang nakal dengan kapasitas akademik yang biasa saja. Semuanya diberlakukan rata. Adapun pihak yang terlibat dalam “menghukum’ mereka siapa lagi kalau bukan para guru BK. Image seoang guru BK sangat menakutkan bagi para siswanya. Mereka yang masuk kedalam ruangan tersebut identik dan terstigma sebagai anak yang nakal dan bermasalah. Jika masih belum tuntas maka permasalahan mereka akan dilanjutkan ke komite sekolah. System pemberlakuan pressure yang teramat tinggi kepada si anak, kalau tidak hati-hati bisa saja membuat kapasitas (otak) mengerucut. Seberapa banyak guru BK kita di Indonesia yang memang lulusan pendidkan sarjana?? Atau tidakkah seharusnya, tetuama sekolah-sekolah yang berstandar nasional/internasional sudah seharusnya mempekerjakan tim psikologi ke sekolah mereka?

Harus ada semacam pemikiran yang diubah bahwa tim konseling/psikolog bukan lagi hanya bagi murid-murid yang melakukan pelanggaran saja. Semua murid dan pelajar berhak mendapatkan hal yang sama terutama dari semakin kompetitifnya persaingan dunia kerja nantinya. Fungsi konseling tidak lagi hanya terpaku pada masalah yang sudah terjadi saja. Melainkan harus diubah menjadi tempat/fungsi untuk sharing dan motivasi belajar si siswa, selain permasalahan yang mereka hadapi tentunya. Tidak semua murid mendapatkan pencerahan dari orang tuanya tentang dunia sekolah mereka. Tidak semuanya pernah ditanya oleh orang tua bagimana sekolahnya hari ini??

Hal-hal seperti diatas muncul ketika para orang tua dan sistem keluarga juga sudah sibuk akan pola pembagian kerja dan sangat sibuk dengan dunia kerja mereka. Kalau situasinya sudah seprti ini, siapa lagi yang akan memberikan wejangan dan arahan kepada mereka. Wali kelas saja tidak cukup karena mereka juga dibebankan beban mengajar yang tinggi dan urusan tumah tangga masing-masing. Maka dari itu sudah sepantasnya pihak sekolah bahkan perguruan tinggi mulai menerapkan jasa psikolog dalam membantu pengenalan diri siswa mereka. Sudah bukan zamannya lagi pola-pola pendidikan yang keras dan mengancam diberlakukan terutama di zaman yang katanya sangat menjunjung tinggi asas demokrasi dan HAM .

Jangan sampai seorang murid baru merasa bimbang ketika akan memilih jurusan apa yang hendak dipilih tatkala mau ke perguruan tinggi atau perencanaan lainnya selain masuk ke PT. Pembekalah di sekolah menengah tekait potensi anak didik harus dikenali sejak dini, di bidang apa yang mereka sangat kuasai. Jangan ada lagi konstruksi dan pemilahan bahwa anak IPA itu jauh lebih pintah dari anak sosial, seni dan humaniora. Pola pikir seperti ini harus dimulai dihapuskan tetuama di pemikiran para orang tua sendiripun. Bayangkan saja betapa ruginya bangsa ini ketika ribuan bahkan puluhan tibu siswanya yan sangat kompeten dalm ilmu social, humniora serta seni terbuang begitu saja bakatnya ketika para orang tua masih meamaksakan kehendaknya untuk mengabil ilmu alam dengan alasan prestos, tradisi keluarga serta dipandang baik dalam masyarakat.

Keterbukaan pemikiran bahwa keprofesian yang baik tidak hanya berupa dokter, pengacara, akuntan sudah harus ditanamakan sejak dini melalui pembekalan konseling oleh pihak sekolah lewat tim konseling/psikolognya. Mengapa hal ini begitu penting?? Akan menjadi hal yang sia-sia nantinya, jika seorang mahasiswa berkutat selama 4 tahunan menekuni bidang yang dirinya sendiri tidak memiliki hasrat dan ketertarikkan yang tinggi. Kualitas lulusan seperti apa yang diharapkan dari perguruan tinggi nantinya? Belum lagi kondisi mental si mahasiswa yang drop akibat tekanan dari sana-sini.Tak heran pengangguran berjamuran, selain karena factor pertumbuhan ekonomi yang tidak gesit.

Selain itu, pengangguran juga disebabkan oleh belum adanya sinkronisasi antara kebutuhan pasar tenaga kerja dengan materi/kurikulum para lulusan perguruan tinggi. Lulusan perguruan tinggi tidak seharusnya diharapakan menjadi seseorang pekerja. Mereka yang bersekolah di institute atau sekolah tinggilah yang memikul beban tinggi menjadi para pekerja. Mereka yang menempuh pendidikannya di universitas harusnya diarahkan menjadi peneliti/researcher, HRD atau litbang, inisiator. Maka dari itu proporsi untuk meningkatkan presentase mereka yang ingin bersekolah di SMK harus terus ditingkatkan, begitu juga dengan politeknik dan sekolah tinggi lainnya. Bukan sebaliknya, mereka yang di universitas malah terlalu didesak menjadi pekerja di pabrik atau perusahaan. Hal ini akan berkonsekuensi pada kualitas kerja secara keseluruhan. Bisa dibayangkan tentunya efek domino dari salah asuh pola pendidikan sperti ini.

Oleh karena itu, menjadi sebuah hal yang tidak dapat diterima dan percuma, jikalau potensi seorang pelajar tidak terdeteksi sejak dini akibat pola ajar, pola pikir dan kurikulum yang terlalu mengandalakan kognitif belaka serta penanganan mental yang serampangan. Yang patut diingat kapasitas otak seseorang menurut penelitian daapt menurun dan juga meningkat. Jika ia dipaksa bekerja terhadap hal yang dia sendiri tidak kuasai dan tidak tertarik, apa jadinya output yang diinginkan nantinya. Merka akan menjadi lulusan yang kebingungan dan tidak konsisten. Mengambil kesarjanaan teknik, tetapi malah menggeluti manajemen bukannya memperdalami keilmuan dari kesarjananya agar menjadi seoraang ahli. Ini semua tak ayal terjadi karena tuntutan pasar yang bisa saja tidak mengakomodasi bakat si siswa sehingga mengharuskan dirinya menyesuaikan dengan ilmu yang sebenarnya tidak ia kuasai dengan baik. Bukankah hal ini menjadi ironi??

Maka dari itu, selain menyediakan tim psikolog yang mumpuni kemampuan menghasilkan kualitas siswa yang berprestasi harusnya juga dibarengi dengan kualitas pendidkan para gurunya. Berbagai macam isentif telah dikelaurkan untuk memicu para guru untuk meningkatkan performanya. Akan tetapi yang lebih penting adalah pengangkatan kembali betapa prestisiusnya jabatan seorang guru yang memudar pamornya belakangan ini. Hal ini tentunya berpengaruh pada minat para siswa untuk mendalami pendidkna ilmu guru/pendidikan. Mereka yang bersekolah di sekolah unggulan, jangan saja dididk hanya menjadi para teknisi atau peneliti, tetapi mulai diarahakan untuk menyenangi profesi guru. Agar mereka yang memasuki universitas prodi ilmu pendididkan bukan saja diiisi oleh mereka lapis tiga atau lebih rendah lagi. Hal ini disebabkan pamor dan passing grade jurusan ilmu pendidikan bisa dikatakan rendah dan tidak dilirik oleh siswa berprestasi tinggi.

Jelaslah perencanaan masa depan bukanlah perihal yang mudah. Salah satu komponen tidak sinkron dan bersinergi maka hasilnya juga tidak jelas dan tidak menghasilkn pendidikan yang mencerahkan dan tak mampu mendongkrak kehebatan Indonesia di mata internasional.

Selasa, 12 Oktober 2010

INTERNATIONAL RELATIONS DEBATING CLUB

REVIEW The Hurt Locker ( 2009) : UNEDITED VERSION

Menampilkan Sisi Lain dari Maskulinitas


Film ini sebenarnya telah dirilis pada 2008 yang lalu dan diputar di Venice International Film Festival 2008. Akan tetapi, baru pada 2009 dirilis secara serentak di AS. Film peraih 6 piala Oscar,termasuk film dan sutradara terbaik sempat membuat industry perfilman Hollywood tercengang. Film indie ini menjadi film dengan pemasukan terendah (hanya 12 juta dollar AS) yang memenangkan film terbaik dalam ajang Oscar. Tidak hanya itu, film ini ternyata disutradarai oleh seorang perempuan, sebuah tema yang sangat jarang disentuh oleh wanita. Sentuhan Bygelow sebagai soerang wanita sangat terasa sekali ketika menonton film ini terutama kemampuannya dalam menampilkan emosi yang sangat manusiawi dari tokoh James dan kawan-kawannya. Kathryn Bigelow mengambil lokasi di Jordan dan Kanada dalam memfilmkan kisah ini. Ini didasarkan pada tidak mungkinnya mengambil lokasi di Baghdad akibat factor keamanan. Kisah dari film ini mengambil focus kisah para penjinak bom di Irak, US ARMY Explosive Ordnance Disposal (EOD). Ceritanya sendiri ditulis oleh Mark Boal yang pernah menjadi penulis lepas atau jurnalis pada tahun 2004 bersama tim penjinak bom Amerika di Iraq.

Synopsis

Cerita bermula ketika Sersan William James (Jeremy Renner) ditugaskan sebagai pimpinan bom squad di Irak mengggantikan sersan sebelumnya yang tewas dalam sebuah operasi penjinakkan. Kepribadiannya James yang nyentrik dan slengean dalam menghadapi marabahaya jelas saja membuat dua anggota timnya, JT Sanborn (Anthony Mackie) dan Owen Eldridge (Brian Geraghty) khawatir. James membawa mereka bermain dengan maut sehingga dalam beberapa kali usaha menjinakkan bom berlangsung penuh kekhawatiran. Pengalaman James yang sudah menjinakkan bom ratusan kali membuat ia “tenang” mengemban tugas ini sehingga berhasil menyelamatkan nyawa ribuan orang. Hal ini, tetap saja ini membuat Sanborn kesal dan bahkan ingin mencelakakan James. Namun, semuanya berubah ketika mereka terjebak baku tembak di padang gurun. Rasa kesetiakawanan dan tanggung jawab James terlihat di situ. Mereka sadar dengan figure James yang seperti itu membuat tim mereka solid. Sampai kemudian, tiba saatnya mereka berpisah karena masa dinas sudah selesai. James kembali ke AS dan berperan sebagai seorang suami dan ayah dari seorang putra. Tetapi, ia mengalami pergolakan batin setelah menanggalkan seragam dinasnya. Rasa candu akan medan perang muncul melihat nasib perwira AS penjinak bom di Irak lewat TV? Akankah James kembali ke medan perang?

Review

Jangan harapkan menonton The Hurt Locker kita bakal disuguhkan perang epic berskala besar dengan sinematografi yang megah, penuh adegan baku-tembak dan juga dilengkapi dengan visual effect dan tata suara yang membahana . The Hurt Locker memang bebeda dengan film bertema serupa. Bukan berarti film ini kurang dalam unsur thriller seperti layaknya film perang atau sinematrografi yang tenang dan biasa saja. The Hurt Locker muncul sebagai film perang yang sangat personal (dituturkan lewat 3 karakter utama: James, Sanborn, Eldridge) dan apolitis (tidak melibatkan sudut pandang kebijakan dari pemerintah AS). Inilah yang membuat Hurt Locker serasa begitu hidup karena melibatkan begitu banyak emosi dan psikologi para penjinak bom yang ditugaskan di Irak. Betapa sebuah perang bisa menciptakan kecanduan akibat frustasi yang belebihan. Dan perasaan ini benar-benar terasa bekecamuk ketika kita menonton film ini. Lewat emosi dan perang batin yang ditampilkan oleh ketiga tokoh utama diatas, kita sebagai human being bisa merasakan betapa menderitanya seorang prajurit secara mental ketika bertugas di medan perang. Dan bagi para pria, film ini tampak menampilkan emosi pria sangat pas, yaitu menampilkan sisi maskulin pria yang bercampur baur dengan pengalaman traumatic.

Menampilkan sisi lain dari maskulin

Kita acapkali mendengar kalau wanita yang menjalankan dunia ini, maka perang tidak akan terjadi. Dalam film ini, karakter seorang wanita sangat jarang ditampilkan. Kalaupun mucul, itu hanya sekilas saja, seperti karakter istrinya James. Itupun hanya ditampilkan amat singkat. Selebihnya scene demi scene diisi dengan karakter pria. Sekedar informasi saja, hanya 4 % wanita yang berada dalam squad penjinak bom di Irak dan Afganishtan.

Dunia militer yang merupakan symbol kuat maskulin, ternyata juga memiliki sisi lain yang patut diungkap. Hal ini tereksplor mendalam dalam film ini. Kita bisa lihat, bagaimana seorang James yang sudah terbiasa menjinakkan bom, ternyata sangat rapuh ketika melihat penderitaan seorang bocah Irak yang menjadi korban bom dan seorang pria korban bom bunuh diri. Apalagi ketika ia mengingat kembali kisahnya dengan sang isri dan anak yang jauh di Amerika sana. Merokok, minum-minuman keras, dvd porno, prostitusi adalah hal yang wajar ketika para prajurit ditempatkan di medan perang. Naluri kejantanan itu muncul alamiah dalam kondisi seperti itu. Tak ada hiburan. Hanya hal-hal diatas yang tersedia dalam mengobati kegelisahan dan trauma yang dialami para prajurit. Selain itu karakter Sanborn, seorang pria kulit hitam yang tampak tangguh dan sangat jantan akhirnya menangis juga meratapai nasibnya ditempatkan di medan perang. Hal ini juga berlaku sama bagi Aldridge, yang sangat traumatic sehingga konsultasi dari seorang psikolog masih belum mempan mengobati traumatiknya. Bahkan dalam film ini, kondisi mereka yang selalu dalam tekanan dan selalu diambang maut ditumpahkan dalam sebuah adegan perkelahian setelah pesta minuman keras diantara mereka. Hal ini dilakukan sebagai upaya melepaskan bebas dan stress dalam operasi mereka di Irak yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Ketika seorang pria dipaksa untuk melindungi negaranya melebihi kemapuan dan ketakutannya akibat yang ditimbulkan ternyata memiliki efek domino bagi kondisi kejiwaan para prajuritnya. Ada yang menjadi candu dan ada juga yang menderita gangguan jiwa. Dan The Hurt Locker jelas memberikan dan memaparkan sisi lain dari sisi maskulinitas pria yang ditempatkan di medan perang, bahwasanya pria juga ingin dilindungi. Mungkin factor, bigelow yang seorang wanita turut mempengaruhi hal ini.


*dimuat dalam majalah Stair HI UNPAD, edisi "pria"

TEKNOLOGI (INFORMASI dan KOMUNIKASI) dan IDENTITAS GENERASI 2000-an (PASCA REFORMASI)


“Kang, Teteh minta nomor handphonenya dong?” Ituah ucapan yang saya dengar dan ingat dari anak-anak SD ketika saya dan teman-teman sedang melkuakn KKNM di Desa Belendung, Subang. Mereka, padahal tidak punya handphone, melainkan meminjam punya orang tua mereka. Sampai sekarang beberapa diantara mereka masih menghubungi saya untuk menanyakan kabar dan hal-hal yang tidak penting lainnya ( hehehehe……)

Generasi yang baru tumbuh dan berkembang sepanjang dekade 2000-an memiliki semacam identitas yang sangat terkait dengan perkembangan tekonologi. Mulai dari kalangan masyarakat urban sampai pedesaan perlahan-lahan dijangkiti akan sebuah fenomena bahwa mereka secara tidak langsung/langsung memiliki kebutuhan baru yaitu pemenuhan kebutuhan akan teknologi. Teknologi yang saya bahas disini adalah akses yang memudahkan sesorang dalam memperoleh informasi dan berkomunikasi. Contoh yang paling sederhana adalah handphone. Menurut BRTI (Badan Regulasi Tekelominukasi Indonesia) jumlah pengguna handphone di indnesia pada tahun 2011 nanti diperkirakan akan menembus kisaran 100 juta pengguna. Selain handphone ,ajang pertukaran informasi dan komunikasi lainnya adalah intenet. Mulai dari kandungan akan informasi penting dan berharga sampai pada menjangkitnya situs porno dan yang sedang popular saat ini adalah situs pertemanan.

Seperti yang telah saya jelaskan diawal, bahwa pada tulisan ini yang akan saya bahas adalah generasi yang baru tumbuh dan berkembang pada dekade 2000-an. Dengan kata lain, saya memperkirakan mereka adalah genrasi yang dilahirkan pada dekade 90-an (dimulai tahun 1990). Mereka, adalah generasi yang tidak terlalu “terpengaruh” atau ada juga yang menyebutnya “tidak terkontaminasi” doktrin-doktrin ala Orde Baru. Generasi yang tidak menyimak secara langsung bagaimana jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 1998. Mereka adalah generasi yang hanya mendengar babak sejarah negeri ini (jatuhnya Orde Baru) dari buku, media cetak dan elektronik atau cerita dari orang tua mereka. Kedua kondisi inilah yang ingin saya paparkan melalui tulisan ini, interaksi antara perkembangan teknologi (infomasi dan komunikasi) dengan genreasi yang tumbuh berkembang pada dekade 2000-an (setelah reformasi).

Saya sendiri yang juga kelahitan akhir 80-an (1989) merasakan semacam sensasi tersendiri memasuki dekade 2000-an ini. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang teramat pesat pada decade ini merupakan sebuah kejadian yang belum pernah terjadi pada decade sebelumnya. Teknologi yang awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi pada tataran fungsional perlahan-lahan berubah menjadi semacam unjuk diri, unjuk identitas, pertanda dari status (ekonomi) seseorang. Seperti halnya fashion pada wanita, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah meresap ke dalam pikiran generasi-generasi tersebut. Bukan hidup tanpanya jikalau tidak memiliki handphone misalnya. Tidak hanya sebatas fungsi belaka, melainkan ada nilai lebih dari benda tersebut yang melekat pada diri mereka masing-masing. Harus ada semcam upgrading atau tukar tambah pada benda-beda tersebut agar tidak ketinggalan zaman. Bahkan sampai menggantinya atau menambah dengan produk keluaran terbaru. Sebut saja BlackBerry misalnya, yang sudah duluan popular di Amerika Serikat atau smart-phone lainnya, seperti I-phone atau pemutar MP3 dan MP4 yang terbaru. Jikalau fenomena akan handphone memang sudah merasuk sampai kepada pedesaan, untuk fenomena seperti BB, i-phone, pemutar MP memang baru menyentuh kalangan urban saja.

Selain handphone dan turunannya, internet merupakan “the amazing thing” yang terjadi pada dekade ini. Bukan berarti intenet beru ditemukan pada dekade ini, melainkan baru pada dekade inilah fungsinya mengalami progress yang sangat cepat dan sangat mempengaruhi kehidupan generasi-generasi tadi. Intenet jelas sekali memberikan informasi berharga bagi tiap individu, tetapi melihat perkembangannya yang teramat cepat. Internet sudah tidak lagi berada pada tahap fungsional belaka. Kendati penyebaran internet di Indonesia tidak merata, wabah akan kecanduan intenet sudah menjangkit di beberapa kota. Ada pemenuhan kebuuthan lainnya yang tidak didapat di dunia nyata dan terpenuhi di dunia maya. Menjangkitnya situs-situs porno sudah menjadi kekhawatiran bagi siapapun juga.

Selain pornografi, game online/game center juga merupakan bagian dari tren pada dekade ini. Komunitasnya, perlombaan juga semkain banyak. Efek candunya juga tak kalah dahsyat. Selain pornografi dan game-online, situs pertemanan merupakan sesuatu yang baru yang terjadi pada dekade ini. Tiap mereka berlomba-lomba membuat akun mulai dari Friendster, Facebook, Twitter, Plurk, Myspace,Yahoo Messenger dan sebagainya. Ada sesuatu yang kurang jika sesorang belum memiliki akun dari salah satu situs pertemanan. Mereka merasa ketinggalan infomasi kalau tidak membuat akun tersebut.

Semakin bertambahnya tahun, teknologi juga semkain berkembang, sekarang handphone dengan fasilitas internet juga telah menjadi keharusan bagi setiap pengembang. Dapat dibayangkan dunia seakan berada di telapak tangan dan itu bisa dibawa kemana saja. Permasalahan perkembangan teknologi tidak hanya merupakan cerita dari globalisasi belaka. Paham-paham materialistis juga menuyusp masuk lewat laju pertumbuhan tekonologi informasi ini. Hal ini pada akhirnya seakan menciptakan mindset bahwa ini adalah kemenangan kapitlaisme dan mereka-mereka ini akan terus disuguhi barang-barang bagus serta secara perlahan, pola hidup mereka akan dibuat seperti kaum kapitalis. Tidak terlalu hirau akan nilai-nilai sekitar, suka kompetisi. Yang terpenting hasratnya akan kebutuhan materi dapat tercapai.

Suka atau tidak suka, generasi sekarang, cenderung menjadi genrasi yang individualistis, bebas dan tidak terlalu terikat dengan norma yang ada disekitarnya. Mereka bukanlah generasi yang hidup pada dekade 70-an sampai 90-an, yang hidupnya sangat ditentukan oleh kekuatan terpusat yaitu Soeharto. Generasi sekarang yang tumbuh pada dekade 2000-an merupakan generasi penerus bangsa yang tumbuh dan berkemabng tanpa adanya “kekangan” dari Negara. Mereka tumbuh ketika kebebasan berpendapat diakui, demokrasi dan HAM menjadi topik dimana-mana dan pada saat itulah segala macam bentuk teknologi informasi dan komunikasi masuk kedalam kehidupan mereka. Semuanya berjalan beriringan. Ini seperti seorang remaja yang ketika tumbuh menghadapi lingkungan yang bebas, menghormati demokrasi dan HAM. Inilah nilai-nilai yang mereka dapat pertama kali ketika mereka tumbuh dan berkembang. Ini tentu berbeda dengan mereka yang tumbuh dan hidup dari dekade 70- 90-an yang baru merasakan dampak tekonologi informasi dan komunikasi ini pada decade 2000-an.

Budaya individual ini semakin terasa di kehidupan remaja sekarang. Ketika anda dapat mengetahui apapun dari internet atau menghabiskan waktu semaksimal mungkin di depan laptop dan internet, apakah untuk memainkan game atau mengerjakan tugas bahkan melihat situs porno, secara tidak langsung hal ini akan membentuk kita menjadi manusia yang tahu ‘segalanya”, membuat kita lebih independen sehingga kebutuhan akan individu lain semakin berkurang. Bayangkan saja, dulunya pada dekade 90-an, remaja laki-laki asik bermain layangan, atau bermain sepeda bersama, atau memainkan permainan rakyat lainnya dan remaja putri menghabiskan waktunya seperti main bongkar-pasang, masak-masakan serta pengajian bersama atau remaja majid masih menjadi budaya pada kehidupan bermasyarakat pada dekade itu. Mungkin di daerah pedesaan, belum semuanya terkontaminasi akan budaya individualitas, tetapi gejala-gejalanya mulai tampak terlihat. Ikatan antar warga sudah tidak sekuat dulu lagi. Ini saya alami ketika menjalani KKNM di sebuah desa di Subang.

Tentu hal ini perlu mendapat pemahaman yang serius dalam menangani pola pikir generasi sekarang (remaja). Mereka tidak sungkan lagi membicarakan hal seperti sex, drugs, dan berbagai macam hal tabu lainnya yang selama ini mendapat kekangan. Mereka dapat dengan mudah memperoleh-nya dari media manapaun. Diskusi mengenai seksualitas, pemikiran kiri (komunis) sudah menjadi hal yang tidak asing lagi dibicarkan terutama di univerisitas-universitas. Pengaruh internet sangat membantu sekali dalam hal ini.

Budaya individualitas pada generasi sekarang tampak pada kegigihan mereka dalam membuat akun di situs Facebook, Friendster atau Twitter. Ketika intensitas hubungan lebih banyak dihabiskan di dunia maya ketimbang di dunia nyata membuat rasa saling membutuhkan dan budaya canggung juga semakin meningkat. Sudah sampai sejauh itukah generasi sekarang ? Ini belum termasuk ketika mereka lebih terbuka akan kehidupan pribadi di dunia maya ketimbang dunia nyata. Bertukarnya status di Facebook atau Twitter dalam sekejap, mulai dari masalah pribadi sampai menggunjingkan orang semuanya ditumpahkan di status tersebut. Merupakan keanehan tentunya ketika kita lebih cenderung menumpahkan perasaan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Bukankan itu gunanya teman??? Inilah gejala dari kebebasan yang belum matang pada generasi muda ini. Di saat kebebasan berpendapat diperkuat oleh teknologi dan media.

Belum lagi bagi mereka yang sangat bangga mempunyai banyak teman, tetapi sebenarnya tidak terlalu kenal dan ketika bertemu pun tidak saling tegur sapa. Mulai terdapat perbedaan definisi tampaknya dalam memandang teman dalam dunia nyata dan dunia maya. Ucapan selamat ulang tahun sampai pada kartu lebaran,SMS, semuanya lebih banyak dilakukan dalam bentuk transfer elektronik. Sudah bukan zamannya lagi mengirim dalam bentuk kartu Lebaran, kartu selamat Natal atau kartu ucapan selamat ulang tahun. Sebagian generasi tua memandangnya sebagai sebuah hal yang dianggap terlalu enteng bagi generasi sekarang.

Ketika kebebasan semakin mudah didapat, hal ini menimbulkan semacam “kemalasan” dan “ketidaksigapan” generasi sekarang. Mereka tumbuh di lingkungan yang cenderung instan dan semuanya harus berlangsung cepat. Ketika laju teknologi semakin berkembang, mereka juga harus melaju beriringan dengan teknologi tersebut kalau bisa lebih dari perkembangan teknologi. Budaya kompetisi tanpa terlalu mengindahkan nilai-nilai kekeluargaan semakin berkembang. Bagi genreasi tua hal ini menimbulkan ancaman bagi mereka. Ketika generasi sekarang lebih banyak tahu dari mereka tapi disisi lain juga rapuh dan tak sigap dalam menyelesaikan semua permasalahan. Mereka cenderung berbuat sesuka mereka, free-spirited, tetapi masih belum cukup dewasa/matang dalam menentukan sikap.

Inilah gambaran bagi generasi muda yang tumbuh dan berkmbang setelah 12 tahun reformasi Indonesia. Ketika system perlahan-lahan berubah, hal ini pada akhirnya saling mempengaruhi antar agen yang berada di dalamnya, termasuk generasi muda sekarang. Kebebasan bersikap dan berpendapat yang didukung dari perkembangan teknologi informasi yang signifikan memberikan semacam indentitas bagi generasi ini. Generasi yang akan memimpin bangsa ini kedepannya. Dan sudah sewajarnya pembinaan terhadap mereka dilakukan sebelum semuanya terlambat di kemudian hari.


*DIAJUKAN buat lomba essay pada FISIP FAIR 2010

REAKSI PERFILMAN HOLLYWOOD MENANGGAPI TRAGEDI 11 SEPTEMBER 2001

REAKSI PERFILMAN HOLLYWOOD MENANGGAPI TRAGEDI 11 SEPTEMBER 2001


Film merupakan sebuah bentuk apresiasi seni terhadap proses kehidupan mansuaia. Ide-ide bermunculan baik dari sumber luar maupun dari pemikiran sendiri (kendati dipengaruhi oleh sumber bacaan tertentu). Apa yang sedang berlangsung secara otomatis akan memberikan kontribusi bagi pemikiran dn karya kita. Begitu juga dengan perfilam Hollywood. Perfilman Hollywood dikenal lihai dalam mencirikan/menandakan suatu kelompok tertentu yang begitu melekat di pikiran semua orang sehinggga mampu menyelami ke titik bawah alam sadar kita tanpa kita sadar (unscuncious). Kita akan selalu diingatkan dan disuguhi akan hal yang sama tanpa terdasari kita sendiri juga telah masuk ke dalam konstruksi tersebut. Berhubungan tragedi 11 September seakan menjadi timeline sejarah yang monumental terutama dalam studi HI, saya akan mencoba melihat kontribusi peristiwa diatas bagi kelangsungan “ide” perfilman Hollywood. Tidak hanya terkait dengan isu terorisme saja melainkan juga cara pandang Hollywood terhadap negara-negara lain.

Melihat bagaimana perkembangan perfilman Hollywood sepanjang dekade 2000-an, terutama setelah tragedy 11 September, kita bisa lihat tema fantasi dan science-fiction, terutama dari komik superhero menjadi acuan utama sehingga decade 2000-an diidentikkan dengan film komik superhero dan fantasi. Sebut saja, Spiderman, The Daredevil (2003), Electra (2005), remake Superman, Batman, Green Lantern (rilis 2011), the Hulk, The Avegers (2011), Watchmen (2009), Iron Man (2008 dan 2010) Beberapa berasumsi menyatakan bahwa hal ini diakibatkan oleh aksi terorisme 11 September. Memang ide film dari komik sudah diangkat sejak decade 80-an, tetapi kuantitasnya tidak sedahsyat pada decade 2000-an. Entah karena alasan semakin minimnya scenario dan ide yang berlian, tetapi produksi film berjenis ini semakin membanjiri pasaran AS dan dunia sejak tragedi 11 September. Tentu ini menimbulkan pertanyaan menarik bagi siapaun menyimaknya.

Rakyat Amerika tidak ingin terus mengingat rangkaian yang mengerikan dalam sejarah mereka, maka dari itu para pembuat film ramai-ramai mencari komik superhero dan menggali lebih dalam substansi dari komik itu sendiri. Amerika tidak ingin diingat sebagai bangsa yang gagal dan kalah dalam perang. Mereka ingin selalu menjadi pemenang dan penyelamat dunia (yang tergambar jelas dalm komik superhero tersbut). Amerika harus menjadi pahlawan dan polisi dunia.

Sedangkan film fantasi layaknya trilogy The Lord of The Ring seakan membuai imajinasi penonton akan harapan yang optmis ketimbang berlarut-larut mengingat tragedy 11 September. Sudah tak terhitung betapa banyaknya film mahal dan kaya akan visual-effect canggih yang menunjukkan betapa kuatnya dan hegemoninya AS dalam perihal kecanggihan teknologi melebihi bangsa manapun saat ini. Ini semakin diperkuat ketika gelombang 3D semakin mencuat sejak Avatar yang fenomenal tersebut. Hampir semua film action, superhero, animasi saat ini memakai teknologi 3d. Tak heran film-film mahal yang menjual cerita sukses AS dalam teknologi menjadi isu penting dan ditonjolkan demi mengangkat kembali citra AS yang sempat terpuruk sebagai polisi dunia sejak tragedi 11 September. Dan isu nuklir, senjata kimia berbahaya, terorisme menjadi isu jualan utama film bergenre action ini.

Terkait dengan isu terorisme, tak bisa dilepaskan dengan invasi AS ke Iraq sejak 2003, sebagai tanggapan AS atas aksi terorisme global. Sejak saaat itu, film-film yang mengangkat backdrop Perang Iraq bermuculan, baik film bisokop maupun documenter. Tak heran berbagai macam cerita bermunculan menganagkat isu ini. Film-film yang menampilkan pesimisme Amerika di Iraq hamper semua tidak mendapat simpati para penonton, seperti Jarhead (2005) dan In the Valley ol Ellah (2007), Rendition.(2007), Brothers (2009), The Messengers (2009) Adapun kemenangan The Hurt Locker dalam Oscar, yang dipuji krtikus, lebih optimis dalam memandang Iraq kendati tetap menyorot rapuhnya mental pasukan AS di Iraq (juga terkait dengan rencana penarikan pasukan AS dari Iraq secepatnya) sehingga membuat The Hurt Lockjer special dibandingkan film sejenis ketika dikaitkan dengan isu politis.

Konstruk dalam film Hollywood terhadap negara-negara muslim sejak isu 11 Septemebr menjadi topic yang hangat dibicarakan. Lihat saja film Rendition (2007), the Flightplan (2005), Crash (2005), A Mighty Heart (2007), Babel (2006), the Kite Runner (2007), Charlie Wilson Wars (2007) dll menampilkan citra masyarakat dan negara islam/mayoritas islam identik dengan senjata, kekerasan, aksi pembunuhan serta kemiskinan. Referensi yang selalu dipakai adalah Al-Qaeda dan Taliban untuk mengeneralisasi umat muslim di seluruh dunia. Sedikit sekali referensi yang digunakan untuk menyibak motif mengapa mucul pemberontakan di negara muslim, yang selalu diidentikkan dengan terorisme sehingga dapat dipastikan cara pandang negara non-muslim terhadap muslim juga berubah dan cenderung menimbulkan ketakutan.

Kewaspadaan AS terhadap emerging power lainnya terutama China dan Russia juga tak terhindarkan kendati perang dingin telah berakhir. Ini juga merupakan konsekuensi dari kewaspadaan AS terhadap keamanan nasionalnya sejak tragedy 11 September. Apalagi kedua negara diatas merupakan saingan terberat AS dalam persenjataan nuklir dan militer. Penggambaran mereka terhadap China dan Russia yang selalu ‘negatif’ dalam setiap filmnya seakan menggambarkan arogansi AS terhadap kedua negara tersebut dalam perihal militer dan kecanggihan teknologi. Lihat saja film the Departed (2006), Misssion Impossible III (2006), Salt (2010) dll. Pencitraan China sebagai bangsa yang licik, pengedar barang illegal, people smuggling sangat terkait dengan China selain konstruksi sebagai bangsa yang pintar, walaupun masih diidentikkan dengan plagiarisme/pembajakan. Sedangkan Russsia kerapkali diposisikan antagonis, negara yang frustrasi/iri dengan keberhasilan AS, baik dalam film Bourne Trilogy, Iron Man 2, Salt.

Tampak sekali AS, melalui industry perfilamannya membentuk konstruksi kehebatan AS sebagai negara paling maju dan mencitrakan negara lain ( terutama negara yang bersebrangan) lebih rendah. Hal ini dibentuk sedemikian ruapa sehingga melekat di pikiran setiap orang. Dan media film adalah media yang pas dalam menunjukkan hegemony AS, apalagi ketika kiblat perfilman dunia berhasil mereka pegang. Mereka seolah menentukan standar kualitas akan film apa yang berkualitas dan mana yang tidak, melalui persepsi media massa yang kuat.isu mana yang diangkat dan isu mana yang disembunyikan. Tak ayal, ketika film yang merupakan karya seni perlahan-lahan telah menjadi semacam popular culture yang tidak terhindarkan ketika telah dirongrong oleh teknik produksi yang massal dan berada dalam zona industry yang mengeruk laba. Tidak peduli idenya orisinal dan pengulangan asalkan laku , maka trend-setter itu akan terus berlanjut. Setelah mereka berhasil menguasai industry ini beserta media ini, dengan demikian power yang dimilki untuk membentuk konstruk sesuai pengguna modal akan tercapai.

Dan tahap selanjutnya yang ingin saya tekankan disini adalah betapa kuatnya doktrin dari film itu sendiri sebagai sebuah karya seni dan propaganda dalam menyampaikan sebuah issue sehingga memberikan perdebatan yang tak berkesudahan. Beberapa pakar sosiologi ataupun pengamat popular culture masih kabur dan berdebat dalam membedakan antara mana yang budaya massa, budaya popular, dan apa itu seni dan keterkaitan antara ketiganya. Hal ini disebabkan kesemuanya telah bercampur baur dan saling memasuki zona masing-masing, dan film adalah adalah salah satu contohnya, selain music, arsitektur dan televisi. Yang harus kita cermati disini adalah ketiga bagian diatas telah berasimilasi atau dirasuki oleh system kapitalisme itu sendiri. Semuanya tergantung pada kita sebagai penonton untuk lebih teliti dalam memandang fenomena yang sedang terjadi.