Jumat, 11 Juni 2010

MAKING GENDER A GLOBAL HEALTH PRIORITY

MAKING GENDER A GLOBAL HEALTH PRIORITY


Tantangan dalam ranah kesehatan global belakangan ini lebih banyak memberikan pengaruh bagi kaum perempuan. Permasalahan mengenai akses terhadap, informasi, pelayanan serta sumber daya kesehatan meningkatkan kerentanan perempuan terhadap berbagai macam penyakit. Maka dari itu, AS berupaya menjadi perintis dan menyusun berbagai strategi dalam mengatasi disparitas gender yang telah banyak mempengaruhi kondisi kesehatan pada taraf global. Perhatian yang besar dalam bidang kesehatan perempuan akan memberikan “pengaruh yang baik” bagi AS dalam strategi kesehatan global. Hal inilah yang menjadi salah satu kepentingan, daya tarik dan prioritas kebijakan luar negeri AS dibawah Presiden obama dan Menlu Hillary Clinton. Hal ini kontan saja mendapat apresiasi dari berbagai kalangan sehingga berdampak positif bagi citra AS dimata dunia. Jelas isu kesetaraan gender dalam kebijakan luar negeri AS merupakan hal yang patut disimak.

Untuk mengaplikasikan hal tersebut, pemerintah AS mengenalkan pendekatan dengan konsep Gender Lens, sebuah pendekatan yang memiliki dampak signifikan, menjangkau orang banyak,serta mampu memberdayakan tim pemerintah AS, prirotas kerja, evaluasi dan pengawasan sistem,alokasi dana serta kesepakatan diplomatik. Kesemua hal ini terakait satu sama lainnya. Selain itu, dengan adanya krisis global yang sedang terjadi semkain memperburuk kondisi disparitas gender bagi kaum perempuan. Oleh karena itu, AS bertekad menjadikan pendekatan gender sebagai prioritas utama dalam penanganan permasalahan kesehatan global.

What Is a Gender Lens?

Gender lens mengandung arti yaitu memberikan perhatian khusus terhadap kerentanan dan disparitas gender yang memberikan pengaruh terhadap kesehatan global. Pendekatan ini diharapkan mengurangi hambatan bagi perempuan dalam mengakses informasi, pelayanan serta sumber daya terkait masalah kesehatan. Pendekatan ini memungkinkan isu yang diangkat semakin luas dan spesifik sehingga lebih detail dalam menganalisis permasalahan gender. Maka dari itu dibutuhkan data yang lengkap terkait besarnya keluarga, tunangan, masalah kesuburan, kekuasaan, akses, serta peran perempuan dalam rumah tangga. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan membawa pada pertanyaan akan pengetahuan, akses, pengaruh pengambilan-keputusan. Issu seperti kekerasan yang terkait gender (gender-based violence), dapat menimbulkan dampak yang besar jika dilihat sebagai isu independen daripada sebuah kesatuan dalam strategi kesehatan global. Bahkan tak jarang intervensi aspek kesehatan yang pokok seperti imunisasi, suplemen nutrisi, kelambu (bed nets) untuk tidur bagi pencegahan malaria kerapkali gagal untuk menyadari dinamika geder yang berkontribusi terhadap risiko, tekanan, dan kerentanan.

Making gender a global health priority

Ada 4 komponen dalam menjadikan pendekatan gender sebagai priotiras dalam penanganan kesehatan global yaitu: kesehatan bayi dan keluarga berencana, penyakit infeksi, kekerasan yang berbasis gender, ketahanan pangan. Menangani permasalahan ini, pemerintahan Obama merekomendasikan tiga poin diantaranya:

• membutuhkan gender lens dalam perencanaan dan pengaplikasian program.

• mendukung kemampuan dalam meningkatkan dan memobilisasi sumber daya yang ada.

• koordinasi antara perwakilan pemerintah AS dan mengenalkan kepemimpinan global AS.

Adapun upaya untuk menjadikan gender sebagai prioritas utama kesehatan global, haruslah terlebih dahulu menentukan: tujuan yang ingin diraih, prioritas investasi, memilih tempat untuk pelkasanan program serta mengukur perkmbangannya. Keempat pertanyan inni akan memberikan inforasmi terkait skala dan struktur dalm penyuusnan strateginya sehingga akan diketahui ranaha apa yang paling diutamakan. Apakah politik, budaya atau agama. Oleh karena itu untuk menyukseskan dinutuhkan kerjasam antara pemerintha dan NGO terkait.

New Directions from the Obama Administration

Dalam pemerintahan Obama, terkait dengan isu wanita, didirikanlah sebuah dewan yang khusus menangani isu ini, yaitu White House Council on Women and Girls. Bahkan isu perempuan dimasukkan ke dalam salah satu pilar dari Global Health Iniative (GHI). Ini mencerminkan dibawah pemerintahan Obama dan Menlu AS Hillary Clinton, isu kesehatan Perempuan telah dimasukkan dan diakui sebagai bagian penting dari national security AS. Oleh karena itu, demi memaksimalkan program ini pemerintahan AS tak tanggung-tanggung mengucurkan dana yang teramat banyak dalam menangani isu kesehatan wanita ini yang tidak hanya dikucurkan di AS tapi juga dalam taraf global. Untuk permasalahan keluarga berencana dan kesehatan dan pencegahan kematian bayi, pemerintahan Obama mengucurkan dana sebesar 63 milyar dollar pada May 2009. Pada Juli 2009, Terkait masalah ketahanan pangan, AS menggelontorkan dana sbesar 20 milyar dollar. Sedangakan untuk pengatasan masalah gender-based violence, AS mengucurkan dana yang tidak sedikit sebesar 17 milyar dollar AS ke Kongo pada Agustus 2009. Dalam menjadikan penanganan kesehatan global yang berdasarkan gender, pemerintahan Obama turut bekerjasama dengan para advokat perempuan, NGO, Kongres.

Past U.S. Policy on Gender Equity and Global Health

AS sendiri telah lama menjadi pemimpin dalam penangan kesehatan global baik secara keuangan dan teknis di lapangan. Itu bisa dilhat adanya sebuah body dalam USAID yang bernama Woman In Development (WiD) didirikan pada 1998 yang menangani masalah kelahiran ibu dan kesehatan anak. Sedangkan Kongres membiayai semua hal yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak. Pada 1997, USAID mendirikan Inter Agency Gender working group (IGWG) yang bertugas membantu mempromosikan kesetaraan gender melalui KB, kesehatan, program makanan. IGWG merupakan gabungan dari berbagagi macam jaringan agensi yaitu USAID, NGO, kelompok advokasi, kelompok peneliti yang tertarik akan isu gender ini bagi kesehatan global.Selain itu juga USAIDS juga memasukkan issu gender ke dalam ADS (Annual Directive System), sebuah panduan resmi agensi terkait kebijakan dan operasional prosedur isu gender agar isu ini dimasukkan ke dalam dokumen resmi agar dijadikan proposal, program, dan tindakan langsung tehadap isu gender. Hal ini bertujuan melihat bagaimana gender berperan, memiliki norma dan sumber daya terhadap masyarakat sehingga mempengaruhi kesehatan pria dan wanita tentunya.

Selain itu juga ada The President’s Malaria Initiative (PMI), sebuah program lima tahunan yang telah dimulai sejak 2006 dengan anggaran sebesar $1.2 milyar, yang dirancang untuk mengurangi kematian akibat penyakit malaria di Sub-Sahara Africa hingga 50 persen. Program ini fokus pada penanganan kematian dan kesehatan ibu terhadap penyakit malaria. Target utamanya agar 85 persen wanita hamil dan anak dibawah 5 tahun hidup dalam kondisi yang jauh dari bahaya malaria dengan berbagai perlindungan diantaranya melalui penyemprotan. Selain PMI, ada lagi program pemerintah AS terkait penyakit AIDS yang bernama PEPFAR (President’s Emergency Plan for AIDS Relief), PEPFAR memberikan kemajuan dalam mengintegrasikan gender kedalam. Walaupun PEPFAR tidak mempertimbangkan gender sebagai isu prioritas pada tahap awal, tapi kemudian isu ini menjadi nyata dalam mencapai tujuannya dalam perihal pencegahan, pelayanan, serta perawatan dan memastikan kualitas dari program ini serta pelayanan yang berlandaskan gender dalam pandemi HIV. Berdasarkan Office of the Global AIDS Coordinator (OGAC) komitmen terhadap isu gender meningkat serta mengadopsi 5 strategi gender bagi pencegahan AIDS diantaranya: meningkatkan kesetaraan gender, memusatkan perhatian pada norma pria,mengurangi kekerasan dan paksaan seksual, meningkatkan perlindungan hukum terhadap wanita, dan meningkatkan akses terhadap pendapatan dan sumber daya produktif

Maternal and Child Health/Family Planning

Tingkat kematian ibu melahirkan masih sangat tinggi di beberapa kawasan di dunia. Yang paling tinggi terdapat di kawasan Sub-Sahara dan Asia Selatan. Adapun mayoritas dari kebanyakan kasus kematian ibu melahirkan sangat terkait dengan kemiskinan, minimnya akses kesehatan dan ketidaksetaraan gender. Sebagai perbandingan, tingkat kematian ibu melahirkan di Sub-Sahara mncapai 1 dari 30, di Asia Selatan dari 43 sedangkan di Swedia 1 dari 30 ribu orang. Tampak sekali pada kawasan ini kemajuan dari kesehatan ibu melahirkan menunjukkan perkembangan yang sangat lambat. Dan semakin disadari betapa pentingnya pendekatan gender dalam menangani isu ini. Adapun tingginya tingkat kematian ibu melahirkan menunjukkan ada “tiga keterlambatan” dalam proses melahirkan. Pertama, keterlambatan dalam mencari perawatan (tergantung dari keluarga), keterlambatan dalam menuju fasilitas kesehatan (infrastruktur transportasi), keterlambatan dalam menerima perawatan ( kelangkaan tenaga medis dan perlengkapan kesehatan).

Kesemua keterlambatan ini sangat terkait dengan permasalahan gender yang menghambat kemampuan wanita untuk memperoleh perawatan yang layak. Harus diakui faktor keluarga sangat berperan. Di Asia Selatan dan Sub-Sahara, 80 persen kelahiran dilakukan di rumah. Hal ini berdampak pada kerentanan keselamatan ibu melahirkan karena tidak dikawal dengan alat yang memadai dan tenaga ahli. Rendahnya perawatan terhadap proses sebelum, saat dan sesudah melahirkan akan sangat mempengaruhi proses perkembangan bayi yang juga semakin meningkatkan tingkat kematian bayi itu sendiri. Tidak hanya bagi bayi, tapi bagi sang ibu juga berbahaya ketika tidak mendapatkan perawatan yang layak. Kematian dan penyakit yang diderita si ibu akibat proses melahirkan akan memberikan efek yang besar dalam rumah tangga baik dari segi pendapatan dan kontribusi ekonomi serta memperluas tekanan sosial. Untuk itu dibutuhkan solusi seperti informasi terkait ASI, KB dan peningkatan kualitas tenaga medis. Terlebih lagi jika si ibu juga sedang sekarat akan AIDS.

Selain itu, dalam upaya untuk meningkatakan upaya peningkatan kesehatan keluarga, sangat dibutuhkan family planning (KB). Sebagian besar para ahli sepakat, bahwa informasi yang memadai terkait KB akan sangat membantu dalam mengurangi kematian ibu melahirkan. Kerapkali “The unmet need” menjadi persolan dalam KB. Sekitar 200 juta perempuan ingin membatasi dan memberi jarak kelahiran tapi mereka tetap tidak menggunakan kontrasepsi. Dan faktor gender sangat terkait dengan isu ini. Itu bisa dilihat dari pelayanan dan level pendidikan yang masih susah diperoleh perempuan, kondisi geografi, serta tingkat otonomi wanita terhdap dirinya sendiri yang masih dikendalikan pria terutma di negara berkembang dan ini semakin diperparah jika dia terlahir dari kelurga miskin di negara berkembang. Selain masalah diatas, kehamilan pada saat remaja juga menjadi hirauan dari kajian ini. Di negara berkembang hal ini menjadi penyumbang tertinggi dalam tingkat kelahiran ibu dimana tingkat kematian pada ibu melahirkan yang masih berusia 15-19 tahun sangat lah rentan jika dibandingkan dengan wanita di usia 20-an. Dan hal ini juga ditimbulkan dari adanya disparitas gender.

Infectious Diseases that Disproportionally Affect Women

Penggunaan dan pengumpulan data yang berbasis gender dalam menganalisiis penyakit menular cukup jarang digunakan. Terlebih lagi jika menyangkut mengenai STI (penyakit menular seksual). Dalam hal ini ada perbedaan biologis antara pria dan wanita yang mempengaruhi laju penularannya. Dan wanita lebih rentan terkena penularan AIDS. Maka dari itu dibutuhkan pendekatan gender untuk menangani masalah ini. Peran dan pola gender memiliki dampak yang signifikan terhadap transmisi HIV. Ini terlihat kala wanita tidak bisa menegosiaksikan seks dan penggunaan kondom dengan pria. Sedangkan pria semakin sibuk mencari partner lain yang lebih banyak dan mengambil risiko lainnya dan kembali meninggalkan wanitanya yang telah tertular. Pengaruh feminim dan maskulin sangat kuat dalam hal penyebaran penyakit menular seksual khusunya. Kurangnya akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi, pendidikan, dan keahlian menyebabkan mereka semakin renatan akan penularan HIV AIDS. Salah satu upaya yang dpat dilakukan adalah melaui KB. Melalui KBlah wanita dapat memperoleh informasi terkait HIV AIDS termasuk pencegahnnya.

Selain AIDS malaria juga merupakan penyakit menular yang membutuhkan pendekatan gender dalam analisisnya. Walaupun secara psikologis pria dan wanita sama rentannya terhadap malaria, tetapi wanita hamil dan anak-anak lebih rentan lagi terhadap penyakit ini. Pengaruh gender terhadap pencegahan penyakit malaria juga sangat diperlukan. Adanya pembagian kerja (divison of labour) antara pria dan wanita membuat wanita lebih rentan terkena gigitan dan infeksi dari nyamuk. Selain itu adanya gender-barriers juga mempengaruhi akses perempuan dalam ememperoleh pelayanan dan perawatan malaria serta pencegahan melalui bed nets ( kelambu) .

Gender-based Violence

Kekerasan berbasis gender, tidak hanya dalam bentuk fisik saja, tetapi lebih banyak dalam bentuk emosional/non-fisik. Wanita kerapkali menjadi subjek dari kekerasan berbasis gender ini, dan umumnya merupakan kekerasan seksual, baik KDRT, maupun kekerasan seksual pada anak-anak. Efek dari kekerasan berbasis gender secara fisik akan berakhir ketika kekerasan itu berakhir. Akan tetapi, dampaknya secara mental bakal lebih lama karena telah lama terakumulasi. Berdasarkan data WHO, wanita hamil yang mengalami kekerasan ini lebih berpotensi mengalami keguguran dan aborsi. Efeknya tidah hanya sampai disitu bahkan kematian juga mengancam. Bunuh diri, kerusakan pada alat genital dan reproduksi merupakan efek lainnya. Secara global kekerasan ini merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat kematian pada wanita. Kekerasan berbasis gender ini lebih sering dijumpai ketika terjadi konflik horizontal,seperti di Rwanda, Yugoslavia, Kongo serta Darfur. Kekerasan seksual, pemerkosaan menjadi “senjata” lainnya bagi para opposan dalam menjatuhkan lawan serta sebagai alat untuk menghancurkan struktur sosial selain untuk merebut kekuasaan. Pemerkosan tidak hanya dilakukan oleh musuh tapi juga oleh para tentara sendiri. Pada kasus Rwanda (1994) sebanyak 250 ribu wanita menjadi subjek kekerasan sesksual, dan sebagian besar diantara mereka akhirnya tertular oleh HIV. Oleh sebab itu, upaya seperti KB, pelayanan kesehatan (termasuk didalamnya pelayanan kesehatan alat reproduksi) harus menjadi poin utama dalam mengatasi permasalahan ini.

Food Security

Ketahanan pangan sangat terkait sekali dengan permasalahan gender. Berdasarkan data WFP, wanita lebih banyak bekerja di bidang pertanaian, tapi lebih sedikit dalam mengonsumsi makanan. Pada banyak negara berkembang, wanita sering menjadi orang yang terakhir makan setelah anak-anak dan keluarga mereka yang lain menyelesaikan makannya. Wanita juga merupakan aktor kunci dalam perkebunan dan pertanian di sebagian besar negara berkembang. Wanita menjadi pengumpul kayu untuk bahan bakar, pengambil air yang jelas sangat membahayakan pada situasi tertentu, diantaranya rawan akan kekerasan seksual karena harus menmepuh lokasi yang terkadang membahayakan. Meskipun mereka menjadi andalan dalam memberi makan keluarga mereka, mereka seringkali ditolak untuk memiliki sebuah lahan pertanian/perkebunan, air, teknologi, kredit. Bahkan mereka juga seringkali ditolak untuk masuk kedalam sebuah kelompok tani. Walaupun mereka memproduksi 60-80 persen makanan, tetapi mereka hanya memiliki 1% lahan. Kondisi ini semakin diperparah dengan rentannya wanita terkena HIV akibat kurangnya asupan gizi yang mereka peroleh. Ini terjasi di Botswana dan Swaziland. Selain itu upaya untuk memperlama hidup penderita AIDS adalah dengan asupan gizi yang memadai. Dan wanita di negara berkembang kebanyakan kesulitan dalam memperoleh asupan gizi yang memadai. Semua kondisi diatas semakin diperparah apabila wanita berada dalam periode kritis seperti pada masa kehamilan. Kekurangan zat besi, anemia akan sangat membahayakan ketika proses melahirkan dilakukan dan berperan terhadap 20 persen kematian kelahiran bagi si ibu.

Rekomendasi dari Pemerintah Obama

1.Require a Gender Lens in Design and Implementation of U.S. government-supported programs, diantaranya: mengurangi hambatan dan kerentanan dalam memperoleh pelayanan kesehatan, secara rutin mengumpulkan, menganalisis, laporan kesehatan serta penyakit berdasarkan kelamin dan umur serta mengolahnya untuk memperoleh level disparitas gendernya, mengidentifikasi ¾ negara di dunia untuk lebih memfokuskan pada pendekatan gender dalam mengatasi masalah kesehatan global, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan pengetahuan yang memadai terkait tentang gender dengan menggunakan pakar gender, penanganan yang lebih komprehensif dan terintegrasi untuk memudahkan wanita membawa anak mereka untuk imunisasi,klinik kelahiran dan informasi yang memadai terkait KB, kesehatan reproduksi, pencegahan penyaklit menular seperti HIV dan malaria.

2.Support Capacity Strengthening and Resource Mobilization, diantaranya: menghapuskan hambatan bagi wanita miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan untuk melahirkan dan proses sesudahnya, memobilisasi sumber daya, mengenalkan hubungan dan program yang terintegrasi antara kesehatan glonal AS dengan program pembangunan (pendidikan, ekonomi), pelatihan bagi semua provider kesehatan untuk mengkhususkan kebutuhan kesehatan bagi wanita, remaja, gadis

3. Coordinate among U.S. Government Agencies and Promote U.S. Global Leadership, diantaranya: melanjutkan kepemimpinan global AS dalam memprioritasksan gender sebagai upaya mengatasi masalah kesehatan global, memastikan kantor perwakilan duta besasr yang terkait isu perempuan terlibat langsung dalam program pembangunan yang berkaitan dengan kesehatan global, menciptakan agen yang saling terkait yang membuat semua orang peduli akan geder dalam kebijakan kesehatan global AS dalam Global Health Iniative-nya, menugaskan Presidential Policy Directive (PPD) untuk membuat kesetaraan gender dalam program pembangunan AS dan memastikan Gender Lens diaplikasikan dengan baik, adanya komisi yang bernama “National Intelligence Council” (NIC) untuk melaksanakan implikasi strategi dalam kesehatan global dan pembangunan serta menganalisis dampak potensial bagi kepentingn nasional AS dalam meningkatkan fokus terhadap ranah gender.

NSIDEN CHEONAN DAN STABILISASI KAWASAN SEMENANJUNG KOREA

INSIDEN CHEONAN

DAN STABILISASI KAWASAN SEMENANJUNG KOREA

Gorae ssaum ae saewoodung tuhjinda ( Dalam perkelahian dua ikan paus, punggung seekor udang meledak). Dan, dua Korea adalah udang yang siap meledak kapan saja.

(Rene L.Pattiradjawane)

Kronologis Insiden Cheonan

Pada 26 Maret 2010 sebuah Korvet Angkatan Laut dengan 104 awak kapal sedang patroli rutin di perairan dekat perbatasan Korea Selatan dan Korea Utara. Tiba-tiba saja terjadi ledakan dahsyat di buritan. Mesin kapal perang itu nyaris terbelah dua dan tenggelam. Kapal pemburu dan penghancur Korea Selatan yang terbelah dua dan tenggelam ini bernama Cheonan. Cheonan sendiri memiliki arti perdamaian surgawi, memiliki karakter kanji yang sama seperti Gerbang Perdamaian Surgawi Tiananmen, Beijing, China.

Korea Selatan mengutarakan kapalnya, Cheonan, ditenggelamkan oleh serangan torpedo Korea Utara Maret lalu. Sementara, Pyongyang membantah tuduhan tersebut. Ketegangan meruncing di kawasan sejak Cheonan tenggelam tanggal 26 Maret dan menewaskan 46 angkatan laut Korea Selatan. Kapal korvet Cheonan dinyatakan tenggelam ditorpedo Korut berdasarkan hasil penyelidikan secara ilmiah oleh tim gabungan Korsel, AS, Swedia, Australia, Kanada, dan Inggris. Kesimpulannya[1],

1. Cheonan tenggelam akibat ledakan bubble jet dari torpedo CHT-02D milik Korut meledak tanpa kontak ke korvet itu.

2. Cheonan kelas Pohang diyakini ditorpedo kapal selam Korut di perairan dekat Pulau Baengnyeong.

3. Kesimpulan investigasi sudah menyatakan bahwa torpedo tersebut berasal dari kapal selam Korut kelas Yeono.

4. Namun, keseluruhan proses tenggelamnya kapal korvet Cheonan masih belum jelas. Korut selama ini diduga memiliki 22 kapal selam patroli, 29 kapal selam penjaga pantai, dan 20 kapal selam mini (midget).

Korea Utara menampik semua tuduhan terlibat dalam penembakan kapal patroli Korea Selatan. Pada 28 Mei 2010,Komisi Pertahanan Nasional, yang menjadi badan politik terpenting Korea Utara, untuk pertama kalinya mengadakan konferensi pers, dimana mereka menyanggah semua tuduhan.Direktur bagian politik pada Komisi Pertahanan Nasional menyatakan, tuduhan Korea Selatan sangat berat, sehingga perang bisa pecah kapan saja.

Sebaliknya, harian-harian Korsel melaporkan bahwa bukti-bukti keterlibatan Korut sudah begitu jelas[2]. Tidak lama setelah pengumuman penyebab tenggelamnya Cheonan, Menlu AS Hillary Clinton segera terbang ke Jepang, China, dan Korsel untuk mencari dukungan agar Korut dikenai sanksi internasional melalui resolusi Dewan Keamanan PBB. Sanksi ini menjadi amunisi baru bagi AS memaksa Korut kembali ke meja perundingan untuk membahas masalah persenjataan nuklir yang dimilikinya.

Kemungkinan pecah perang baru antar Korea kembali menjadi kekhawatiran dunia. Ditambah lagi, Korut memiliki senjata nuklir sebagai pemusnah massal dan rezim di Pyongyang bisa melakukan tindakan tidak terduga. Insiden ini dipastikan akan menjadi pemicu konflik terbuka bila Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi memberikan sanksi kepada Korut yang mengatakan akan membalas aksi unilateral yang dipelopori AS, Jepang, dan Korsel ini..

Stabilisasi Kawasan Semenanjung Korea “Memanas” Kembali

Ketegangan yang terjadi di Semenanjung Korea sebenarnya tidak terlepas dari warisan sejarah yakni perang Dingin yang meninggalkan ceceran nuklir di berbagai kawasan. Penjatuhan sanksi dan ujicoba militer justru hanya semakin memperburuk situasi keamanan kawasan, munculnya wacana kemungkinan peperangan di Semenanjung Korea.

Kompeksitas kepentingan antar kepentingan di negara Semenanjung Korea jelas sekali terlihat. Kendati system internasional tidak lagi serigid ketika Perang Dingin berlangsung,dimana tampak jelas ada blok barat dan bok timur, tetapi isu “serupa” tampaknya masih bersemayam di Semenanjung Korea sekarang ini, tetapi dalam bentuk yahng lebih “cair”. Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang menjadi sekutu di kawasan tersbut. Dilain pihak ada China, Rusia, dan Korut. Meskipun China dan Russia tidak sepenuhnya berseberangan dengan AS dan sekutunya, tetapi mereka lebih dekat ke Korut. Korut seakan menjadi perebutan dalam menunjukkan eskalasi hegemoni di kawasan tersebut. China dan Russia lebih mengutamakan dialog ketimbang ancaman sanksi dan embargo bagi Korut (terkait Insiden ini). Kendati Korut juga terkadang menunjukkan sikap serampangan pada kedua Negara tesebut, tetapi secara keseluruhan mereka masih berada dalam satu kubu yang “cair”.

Kompetisi seakan menjadi hal yang tak terelakkan ketika masing-masing negara semakin mengembangkan powernya yang berdampak pada munculnya rasa takut dan ancaman bagi negara lain. Selain itu, sesuai dengan asumsi Realis modern yang menekankan bahwa dibawah sistem yang anarki, penting bagi negara untuk percaya pada diri sendiri, dengan gaya yang berpusat pada diri sendiri.

Banyak pihak yang berasumsi, terutama pakar militer dan keamanan mengatakan Insiden Cheonan bisa jadi hanya dalih bagi AS untuk kembali menjerat Korut untuk kembali ke meja runding demi tercapainya penutupan stasiun nuklir mereka. Insiden Cheonan dinilai aneh dan ganjil bagi beberapa kalangan karena kapasitas militer Korut yang mustahil untuk meledakkan dan menenggelamkan kapal canggih buatan Korsel. Hal ini disebabkan karena kapal buatan Korut umumnya adalah kapal tua buatan tahun 80-an. Hal ini kontras dengan kapal korsel yang dilengkapi teknologi canggih sehingga tak mungkin bagi kapal secanggih Cheonan tidak mampu mendeteksi keberadaaan kapal Korut tersebut. “Banyak yang menyamakan motif AS di Korut ini dengan insiden kapal perusak Angkatan Laut AS, USS Maddox, di Teluk Tonkin[3].

Selain itu, insiden tembakan yang terjadi di perairan perbatasan juga tampak janggal. Asumsipun bermunculan bahwa kapal AS yang melakukan latihan bersama dengan Angkatan Laut Korsel lah yang secara tidak sengaja menenggelamkan Kapal Cheonan. Hal ini semakin diperkuat karena hasil investigasi yang dilakukan oleh Korsel dikerjakan besama sekutu mereka yang tak lain antek-antek AS, seperti Australia, Inggis, Kanada dan AS sendiri. Sedangkan tim dari Russia tidak mau berasumsi dulu dan lebih mengutamakan hasil investigasi yang komprehensif.

Ini seakan membenarkan asumsi realis bahwa dengan tidak adanya struktur yang lebih tinggi dalam sistem, negara pun secara struktural tidak aman dalam menciptakan perlindungan, karenanya kekuatan militer untuk menanggulangi kemungkinan ancaman menjadi bentuk kekuatan yang paling vital. Kompetisi meningkat dengan fakta bahwa ketika suatu negara memperluas power-nya untuk menjadi lebih aman, ketakutan-ketakutan dari negara lainnyapun meningkat (security dilemma), bahwa dalam mengambil tindakan untuk menjaga keamanan, suatu pemerintahan (atau aktor lainnya) justru menciptakan reaksi-reaksi yang mengurangi keamanannya.

Belajar dari sejarah konfrontasi yang dialami oleh Amerika Serikat, penjatuhan sanksi, isolasi dan resolusi kepada pihak-pihak yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional AS justru semakin memperburuk eskalasi konflik dan tidak menurunkan eskalasi konflik tersebut, pelajaran konfrontasi AS dengan RRC, Uni Sovyet, dan hingga saat ini yang masih berlangsung dengan Iran, Kuba, dan Korea Utara ternyata penjatuhan sanksi, isolasi dan resolusi tersebut belum mampu mengakomodir kepentingan AS.

Tak dapat dipungkiri, AS memang menjadi penggerak bagi percepatan terjadinya stabilisasi kawasan Korea Peninsula. Hanya saja dengan situasi domestic dan kondisi ekonomi yang masih carut marut membuat AS tidak “senafsu” ketika menginvasi Irak dan Afganishtan. Upaya yang dilakukan AS dari dulu adalah berupaya melalui pembicaraan diplomatic dan embargo ekonomi. Akan tetapi, ini juga sukar karena China dan Russia juga sedang membangun diri menjadi pemain utama dunia terutama di kawasan Semenanjung Korea. Insiden ini bisa semakin menjauhkan AS dari Korut dan sebaliknya semakin mendekatkan hubungan Korut-China-Russia.

Selain itu Jepang di satu sisi juga semakin membutuhkan kekuatan militer dalam menangani permasalahan ini dalam melindungi national security mereka. Kekalahan PD II membuat Jepang kehilangan armada angkatan bersenjatanya. Sehingga sengan semakin serampangannya Korut mencoba senjata nulkirnya membuat Jepang semakin terancam. Dan belakangan keinginan untuk dibentuknya kembali kekuatan pertahanan bagi Jepang menjadi isu yang telah mengemuka di muka public selain usulan menjadi anggota tetap DK PBB, demi mengembalikan kejayaaan Jepang serta memberikan ancaman bagi Korut.

Sedangkan China, jelas tidak tampak “murka” atas insiden ini. China juga tidak menhendaki kawasan Semenanjung Korea menjadi kawasan aliansi pendukung AS. Seperti yang diutarakan oleh Peter Beck “Pyongyang tahu Beijing tidak akan meninggalkan mereka meskipun mereka jelas-jelas bertindak provokatif[4]." Korea Selatan, Jepang sudah cukup bagi China menjadi penghalang dalam hegemoninya di kawasan tersebut. Belum lagi sanksi yang berlebihan bisa memicu reaksi yang tak terprediksi dari Kout yang jelas sekali akan menganggu pertumbuhan ekonomi China di kawasan. Oleh karena itu sampai sekarang, China dan Russia masih bisa dikatakan sebagai dua Negara yang belum seratus persen percaya atas hasil penyelidikan dari Korea dan antek-anteknya. Russia sendiri juga telah mengatakan masih meragukan hasil penyeldikan tersbut. Maka dari itu, China termasuk Negara yang belum mau terlibat langsung dalam pertentangan antara kedua Korea tersebut[5].

Walaupun China acap bermasalah/berang terkait arus pengungsi ekonomi dari Korut ke China, dukungan China dan Russia atas Korut jelas untuk menghalangi terbentuknya upaya “westernisasi” Semenanjung Korea yang sangat liberal sehingga akan mengancam dominasi dan perkembangan Rusia serta China di kawasan. Dan perdana Menteri China Wen Jiabao pada lawatannya dalam KTT Asia Timur menyatakan “Tugas penting saat ini adalah bagaimana menghentikan dampak kasus Cheonan, mengganti situasi ketegangan, dan menghindari konflik[6].”

Berbagai upaya pendekatan bilateral yang dilakukan terhadap Korea Utara seperti yang dilakukan AS dan Korea Selatan ternyata masih belum mampu meminimalisasi ketegangan di kawasan ini. Sikap Korea Utara yang kerap kali membangkang dari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati membuat penyelesaian isu ini tidak pernah mengalami perkembangan yang signifikan. Situasi internasional, pasca tragedi 11 September menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi meningkatnya ketegangan perihal isu ini[7].

Dan, relik Perang Dingin di Semenanjung Korea kembali bergerak ke pola lama, dimulai dengan ancaman program persenjataan nuklir Korut, potensi konsekuensi stabilitas kawasan Asia dan kebijakan luar negeri AS untuk bisa bercokol di Asia, hingga dampak yang ditimbulkan atas upaya rekonsiliasi inter-Korea. Seperti yang diutarakan kaum Realis, komponen utama kekuatan politik adalah kekuatan militer. Distribusi power mengendalikan perilaku negara-negara. Pemerintah bekerja keras untuk secara akurat membantu distribusi power dan memahami implikasinya bagi perilaku mereka, serta mempertahankan distribusi yang pantas dan tepat bagi keamanannya.

Terkait Insiden Cheonan, saya meragukan AS akan melakukan invasi karena dampaknya yang tak kepalang tanggung. Begitu juga halnya dengan sanksi DK PBB bakal sulit terjadi berhubung hasil investigasi yang cenderung “bermotif politik”. Hal ini diakibatkan perimbangan kekuatan di kawasan yang mulai merata sehingga ada kemungkinan menghindari pertikaian (detterence).

Referensi

Patrick Morgan.2009.Security in International Politics: Traditional Approach dalam Allan Collins,Contemporary Security Studies.Oxford:Oxford University Press. Hal 13-34

Peter Kujath / Marjory Linardy. 2010. Penanganan Cheonan Penting bagi Asia Timur Laut. Diunduh melalui http://www.dw-world.de/dw/ article/0, ,5632092,00.html. [Dikases pada 2 Juni 2010]

Rene L.Pattiradjawane. 2010. Cheonan Ditorpedo AS atau Korsel. Diunduh melalui http://internasional.kompas.com/read/2010/05/31/06315567/Cheon- an.Ditorpedo.AS.atau.Korut. [Diakses pada 2 Juni 2010]

2009. Quo Vadis Six party talks. Diunduh melalui http://umum.kompasiana. com/2009/06/03 /quo-vadis-six-party-talks/. Diakses pada [2 Juni 2010]



[1]Lihat http://internasional.kompas.com/read/2010/05/31/06315567/Cheonan. Ditorpedo. AS . atau.Korut. Rene L.Pattiradjawne. 2010. Cheonan Ditorpedo AS atau Korsel [Diakses pada 2 Juni 2010]

[2] Harian Chosun llbo memberitakan bahwa pecahan baling-baling torpedo yang ditemukan dekat lokasi insiden sama persis dengan baling-baling torpedo Korut yang diperoleh Korsel tujuh tahun lalu."Nomor seri baling-baling itu ditulis dengan huruf yang biasa dipakai di Korut. Sisa bahan peledak di pecahan torpedo itu juga mirip dengan bahan peledak milik Korut," tulis Chosun llbo. Harian Dotg-a llbo memaparkan bahwa penembakan torpedo dilakukan sebuah kapal selam Korut yang berbobot 85 ton. Itu didasarkan kepada data intelijen tentang pergerakan kapal selam dan analisis rekaman komunikasi Korut. Lihat http://bataviase.co.id/node/218976 dengan judul “ Insiden Cheonan Ulah Korut”.

[3] Pada 2 Agustus 1964, Washington mengumumkan, ada tiga kapal torpedo Vietnam yang memprovokasi dan menyerang USS Maddox dan insiden Teluk Tonkin ini menyebabkan Presiden AS Lyndon B Johnson mendapat dukungan Kongres AS untuk meningkatkan intervensi militer AS di Vietnam.

[4]China yang merupakan donatur terbesar untuk Korut ingin mengurangi tingkat ketegangan di Semenanjung Korea tanpa terkesan menghukum rezim Pyongyang. Intinya adalah Pyongyang tahu Beijing tidak akan meninggalkan mereka meskipun mereka jelas-jelas bertindak provokatif," kata analis Korea dari Stanford University Peter Beck Lihat http://bataviase.co.id/node/192699. China-Korsel bahas Insiden Cheonan. Diakses pada 2 Juni 2010.

[5]Daniel Pinkston, analis International Crisis Group, di Seoul menyatakan kecil kemungkinan China akan langsung menengahi pertentangan kedua negara Korea. Soalnya keterlibatan seperti itu bisa membahayakan kepentingan nasional China sendiri. "China tidak ingin ada Korea yang bersatu di perbatasannya, sebuah Korea yang bersekutu dengan Amerika Serikat," kata Pinkston. "China yakin perselisihan antar-Korea ini akan segera berakhir. Lihat http://bataviase.co.id/node/192699.

[7]AS mengkhawatirkan kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara tanpa adanya pengaturan dan pengawasan mampu mengarah kepada kepemilikan senjata nuklir oleh kelompok-kelompok teroris Korut ditetapkan oleh AS ke dalam daftar sebagai negara yang mensponsori kegiatan kelompok teroris sehingga meningkatnya ketegangan antara Korea Utara dan Amerika Serikat semakin mempersulit upaya penyelesaian krisis ini dan diperburuk dengan keluarnya Korea Utara dari NPT pada tahun 2003. Siapapun yang tidak patuh terhadap rezim nuklir dunia dianggap mampu menyuburkan gerakan-gerakan terorisme global dan perlombaan senjata seperti di kawasan Asia Timur.

KRISIS SUEZ (1956)

Krisis Suez (1956)

Seperti yang kita ketahui isu kemanan tradisonal tidak terlepas dari perkara isu-isu high-politics, yang didominasi oleh isu militer, politik dan kemanan.serta sangat mengedepankan Negara sebagai actor yang paling signifikan dalam membentuk keamanan global. Selain itu area of coverage tidak hanya melibatkan hubungan bilateral atau regional saja tetapi sudah pada konteks global. Dan krisis Suez pada 1956 merupakan contoh dari eksplanasi diatas. Sebuah krisis yang kompleks yang pernah terjadi di Timur Tengah, tetapi melibarkan actor Negara dari benua lain, mulai dari Eropa sampai Amerika Serikat yang berujung pada invasi/perang di kawasan tersebut.

Ada beberapa dugaan kenapa krisis ini bisa terjadi. Hal yang paling mengemuka diantaranya adalah Krisis Suez ini merupakan sebuah bentuk pergulatan kepentingan antara AS dan Inggris untuk mengontrol terusan Suez yang memiliki arti penting dalam jalur perdagangan. Selain itu adanya titik temu kepentingan nasional antara Inggris, Perancis, Israel dalam menjatuhkan dominasi dan pengaruh Nasser di kawasan Timur Tengah. Prancis berusaha tetap menjaga dominasi atas kolonialnya di Afrika Utara. Sedangkan Israel ingin membuka kembali pelayaran di Terusan Suez, setelah mereka diblok oleh negara-negara Arab pada perang Arab-Israel 1948. Gemercik kekisruhan krisis Suez sudah mulai terasa setelah PD II dan terbentuknya Negara Arab-Israel. Akan tetepai, nasionalisasi terusan Suez lah yang menjadi katalis meledaknya perang di kawasan tersebut.

Terusan Suez memegang peranan penting bagi kepentingan ekonomi Inggris. Situasi ekonomi dan hegemoni Inggris semakin turun setelah PD II. Mereka butuh sumber daya ekonomi baru dan kembali menata daerah kolonialnya untuk memperbaiki situasi ekonomi mereka yang kacau balau ketika meletusnya PD II. Dan Terusan Suez yang dulunya pernah mereka kuasai, membuat Inggris ingin semakin memperkuat posisinya di Timur Tengah. Dan Irak dam Mesir merupakan Negara yang dapat membantu memperkuat pengaruh Inggris di Timut Tengah. Namun, pemerintah Mesir mencabut Anglo-Egyptian Treaty of 1936, yang menandakan berakhirnya kekuasaan Inggris selama 20 tahun menguasai Terusan Suez. Disebakan Inggris tidak ingin menarik pasukannya dari Mesir, sehingga menimbulkan berbagai macam bentrok antara Mesir dan Inggris. Hal ini terus berlanjut ketika 1952, pasukan Inggris menyebabkan terbunuhnya 41 orang warga Mesir. Semangat anti-Barat semakin menguat yang menyebabkan tewasnya 11 warga Inggris di Mesir. Kejadian demi kejadian semakin mempercepat kejatuhan Raja Farouk yang merupakan antek-antek Inggris di Mesir.

Sedangkan AS memandang Mesir sebagai sekutu yang dibutuhkan dalam menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah. Melalui CIA, AS merekayasa sebuah kudeta untuk menjatuhkan Raja Farouk pada 1952. Kemudian AS menempatkan sekelompok perwira yang dipimpin Gamal Abdul Nasser ke tampuk kekuasaan. ‘CIA membutuhkan seorang pemimpin kharismatik yang akan mampu mengalihkan sikap Anti Amerika yang semakin meningkat di wilayah tersebut.’ Ia menjelaskan, baik CIA dan Nasser memiliki kesepahaman soal Israel. Ia menempatkan prioritasnya pada pendudukan Inggris di kawasan Terusan Suez. Ketika Mesir dipimpin oleh Nasser, pertentangan antara Nasser dan Inggris terus berlanjut sehingga semakin mempersulit kepentingna Inggris di Timur Tengah dan Mesir khususnya. Mulai dari 1955-1956, Nasser banyak sekali mengeluarkan kebijakan yang membuat frustrasi Inggris di Timur Tengah. PM Inggris saat itu, Anthony Eden, sampai menyebut Nasser sebagai dikatator. Gagalnya Pakta Baghdad membuat posisi Inggris di Timur Tengah semakin melemah. Inilah kesempatan AS memperkuat kekuatannya di Timur Tengah. AS yang pada saat itu dipimpin Eisenhower, hanya memiliki teman dekat di Timur Tengah melalui Arab Saudi.

Akan tetapi,gerakan dan kebijakan Nasser yang bekejasama dngan Cekoslowakia terkait penjualan senjata cukup membuat ketidaksukaan bagi AS. Semuanya berubah ketika Mesir dibawah Nasser memulai hubungan dengan China dan mengakui Negara China, sedangkan pada saat itu AS sedang giat-gitanya mendukung Taiwan. Hal ini membuat AS marah dan akhirnya menarik dananya dari proyek pembangunan Bendungan Aswan. Nasser langsung memberikan respon terhadap situasi ini, dengan menasionalisasi Terusan Suez pada Juli 1956. Saham-saham para pemegang saham sebelumnya, semuanya dikembalikan oleh Mesir sesuai dengan harga penutupan saham di Bursa Saham Prancis.

Ada empat komponen utama dari keamanan menurut kaum Realis : melihat negara selalu disibukkan dengan urusan keamanan fisik,negara diasumsikan selalu berhubungan dengan masalah otonomi,menggunakan pembangunan nasional sebagai suatu alat untuk menjaga dan memperkuat otonomi dan keamanan negara, menganggap aturan sebagai sesuatu yang penting, aturan sebagai alat. Tampak sekali baik Inggris dan Amerika Serikat maupun Mesir bersikeras memiliki motif kuat dibalik tindakannya. Mesir sangat jelas mementingkan kemaanan fisik negaranya dari seragnan atau ancaman dari negara luar. Mesir tahu sekali bahwa Terusan Suez dapat menjadi asset dalam pembangunan nasional mereka dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya sekaligus memperkuat posisi tawar-menawarnya di Timur Tengah.. Maka dari itu, Nasser tanpa sungkan menasionalisasi terusan ini. Begitu juga halnya dengan AS dan Inggris yang melihat Terusan Suez sebagai alat untuk memperluas pengaruh mereka di kawasan Timur Tengah terutama dalam perihal ekonomi yang pastinya akan memperkuat sector militer mereka. Kita bias lihat betapa susahnya untuk bekerjasama ketika antara Inggris, AS dan Mesir tampak mencari dukungan negara lain untuk semkain memperkuat posisi mereka di kawasan. Kendati AS secara implisit mendukung Mesir, Mesir bersikap sebaliknya. Dia mejalin hubungan dengan RRC dan Uni Sovyet sehingga menimbulkan kegeraman bagi AS. Rendahnya tingkt bekerjasama dan saling keprcayaan ternyata berbuntut panjang di kemudian hari.

Tiga bulan setelah nasionalisasi Terusan Suez, sebuah pertemuan rahasia diselenggarakan di Sevres, di luar Paris antara Inggris, Perancis, dan Israel. Kepentingan dari pihak.kelompok ini beragam. Inggris sangat khawatir kehilangan akses ekonomi dan militer yang berdampak pada “kerajaan” mereka. Nasionalisasi Terusan Suez jelas memberikan pukulan keras bagi ekonomi Inggris dan kekuatan militer mereka di kawasan Timur tengah. Semenjak pemerintah AS tidak mendukung tindakan Inggris, maka pemerintah Inggris meneruskan melakukan intervensi militer melawan Mesir demi menghindari runtuhnya perekonomian Inggris kala itu. Hanya saja , jika Inggris melakukan aksi intervensi secara langsung, hal ini terlalu mengandung risiko tinggi dan merusak hubungan Barat-Arab. Maka dari itu, pemerintah Inggris melakukan pakta militer rahasia dengan Prancis dan Israel yang bertujuan untuk meningkatkan kembali kontrol atas Terusan Suez.

Prancis juga khawatir dengan pengaruh Nasser di Timur Tengah dan khususnya di Afrika Utara, dimana banyak koloni Prancis berada. Baik Inggris dan Perancis ingin sekali terusan ini tetap terbuka bagi saluran minyak. Israel ingin membuka terusan ini kembali bagi pelayaran kapal-kapal Israel. Selain itu juga, Israel melihat peluang untuk memperkuat daerah perbatasan selatannya serta memperlemah seperti apa yang digambarkan sebagai negara berbahaya..Disnilah letak dari miskalkulasi Inggris, yang beranggapan bahwa AS akan bergabung dengan aliansi mereka. Inggris sangat berkeyakinan dengan dekatnya hubungan Nasser dan komunis akan membuat AS terbuka dan menerima pinangan aliansi mereka. Dan pada kenyatannya itu tidak terjadi sama sekali. Kelompok ini setuju jika Israel akan menginvasi Semenanjung Sinai. Sedangkan Inggris dan Prancis akan mengintervensi kemudian dengan memisahkan pertempuran antara Israel dan Mesir, untuk kemudian menginstruksikan keduanya menarik pasukan hingga 16 km dari tepi Terusannya. Inggris dan Prancis kemudian beranggapan bahwa control Mesir atas rute yang ada sangat lemah, dan untuk itu perlu digantikan oleh manajemen Inggris-Prancis (Anglo-French).

Kompetisi menjadi hal yang tak terelakkan ketika masing-masing negara semakin mengembangkan powernya yang berdampak pada munculnya rasa takut dan ancaman bagi negara lain. Hal inilah yang dipikir oleh Inggris, Perancis, dan Israel dan juga Amerika Serikat melihat nasionalisasi terusan Suez sebagai bentuk aktualisasi Mesir dalam meningkatkan kapasitas powernya. Selain itu, sesuai dengan asumsi Realis modern yang menekankan bahwa dibawah sistem yang anarki, penting bagi negara untuk percaya pada diri sendiri, dengan gaya yang berpusat pada diri sendiri. Dengan tidak adanya struktur yang lebih tinggi dalam sistem, negara pun secara struktural tidak aman dalam menciptakan perlindungan, karenanya kekuatan militer untuk menanggulangi kemungkinan ancaman menjadi bentuk kekuatan yang paling vital. Kompetisi meningkat dengan fakta bahwa ketika suatu negara memperluas power-nya untuk menjadi lebih aman, ketakutan-ketakutan dari negara lainnya pun meningkat → security dilemma → bahwa dalam mengambil tindakan untuk menjaga keamanan, suatu pemerintahan (atau aktor lainnya) justru menciptakan reaksi-reaksi yang mengurangi keamanannya.

Bagi Realis, komponen utama kekuatan politik adalah kekuatan militer. Distribusi power mengendalikan perilaku negara-negara. Pemerintah bekerja keras untuk secara akurat membantu distribusi power dan memahami implikasinya bagi perilaku mereka, serta mempertahankan distribusi yang pantas dan tepat bagi keamanannya. Inilah yang dilakuan oleh Inggris, Perancis, dan Israel ketika mereka sepakat mendahulukan kekuatan militer untuk menyerang Mesir sebagai sebuah bentuk aliansi demi mencapai perimbangan kekuatan di kawasan teursan Suez. Dan pada akhirnya jalan peranglah yang diambil demi mengamankan power dan kepentingan nasional masing-masing. Kendati demikian tindakan sepihak dari ketiga Negara mendaapt tantangan keras di Majelis Umum PBB dan para anggota DK PBB. Setelah Israel menusai Sinai pada 5 november dengan bantan Inggris dan Perancis, kecaman terhadap tindakan ketiga negara semakin keras. Setelah menempuh lobi dan desakan yang keras, akhirnya ketiga negara ini bersedia mundur dari Sinai dan digantikan dengan pasukan UNEF atas bentukan PBB demi mengamankan kondisi Sinai pasca perang.

Beberapa analis berpendapat bahwa suatu perang besar atau periode peperangan dibutuhkan untuk menciptakan suatu struktur kekuatan yang baru. Mungkin Krisis Suez tidak bisa dikategorikan perang besar seperti PD I dan II, tetapi dampaknya memang signifikan bagi stabilisasi kawasan Timur Tengah dan bagi Inggis sendiri. Pihak Arab semakin menyadari bahaya ancaman militerisme Israel. Sedang pihak Israel sendiri semakin enggan memberi konsesi, karena kejayaan militernya menjadi semakin keras dan semakin susah untuk diatasi. Bersamaan dengan itu, peristiwa Suez yang telah menjatuhkan penilaian dunia Arab terhadap Inggris dan Perancis, telah memperkuat posisi Uni Soviet di kawasan itu.

Amerika Serikat juga melancarkan tekanan finansial terhadap Britania Raya untuk mengakhiri invasi. Eisenhower memerintahkan George M. Humphrey untuk menjual bagian dari "US Government's Sterling Bond holdings". Pemerintah AS memegangnya sebagai bagian dari bantuan ekonomi terhadap Inggris setelah Perang Dunia II, dan pembayaran sebagian hutang Inggris kepada AS, dan juga bagian dari Rencana Marshall untuk membangun kembali ekonomi Eropa Barat. Arab Saudi juga memulai embargo minyak terhadap Britania dan Perancis. AS menolak membantu minyak bumi hingga Inggris dan Perancis setuju untuk mundur. Negara NATO lainnya juga menolak untuk menjual minyak bumi yang mereka terima dari negara-negara Arab ke Britania atau Perancis.

Krisis Suez merupakan bukti bahwa kompetisi (akibat system yang anarki) semakin membuat Negara meningkatkan kekuatan relative lainnya. Hal ini ditempuh melalui ekspansi militer dengan “force” dalam upaya meningkatkan dan mempeluas wilayah, ekonomi (kekayaan) serta populasi.