Senin, 01 November 2010

Ketika Rakyat Indonesia Harus Memilih Sepeda Motor.............

Tak sedikit diantara kita yang seringkali mendadak mengeluarkan kata-kata kotor atau sumpah serapah melihat kelakuan para pengendara motor yang sembarangan dan amburadul. Para pengemudi mobil mungkin tau sekali bagaimana rasanya ketika melihat ulah para pengandara motor yang serampangan itu. Tak hanya pengendara mobil, para pejalan kaki kerapkali dibuat jengkel ketika sepeda motor mendadak memasuki lahan pejalan kaki baik di trotoar dan jembatan penyeberangan, belum lagi bunyi knalpot yang berisik dan polusi knalpot (motor dan mobil ). Tingginya kerawanan mereka dalam kecelakaan lalau lintas membuat polisi juga sibuk berururan dengan pengendara roda dua ini. Mereka menjadi diantara tertuduh utama atas biang utama kemacetan di DKI belakangan ini. Dampaknya mereka dilarang melewati jalur-jalur terentu. Begitu masalahkah sepeda motor di Indonesia? Apakah mereka memang pantas menerima ganjaran sebagai sebuah masalah dalam dunia transportasi Indonesia?

Jika kita melongok kepada data yang dikeluarkan oleh AISI (Asosiasi Industry Sepeda Motor Indonesia) sejak 1996-2009, tampak dari tahun ke tahun penjualan sepeda motor di Indonesia menunjukkan hal yang mencengangkan[1]. Selain ketika krisis 1998 dan kenaikkan harga BBM, penjualan sepeda motor menunjukkan angka yang bombastis. Hal ini diakibatkan kepemilikan motor atas jumlah penduduk Indonesia masih rendah. Pada 2007 memperlihatkan, satu sepeda motor di Indonesia digunakan oleh delapan orang. Dengan perekonomian Indonesia yang realtif stabil (selalu diatas 5 persen), membuat industri ini juga semakin menggeliat. Dengan asumsi tingkat perekonomian terus tumbuh, maka angka penjualan otomotif pun akan berkembang. (Warta Kota, 19 Januari 2009), sehingga jumlah sepeda motor tersebut pada akhir tahun 2008 tercatat 49 juta (data Mabes Polri) dengan pertambahan secara nasional 10%/tahun. Sedangkan titik jenuh seperti yang diutarakan oleh AISI, baru terjadi pada 2014-2015. Hanya saja penjualan sepeda motor masih akan stabil pada kisaran 6 juta unit pada waktu itu diakibatkan daya beli dan pendapatan masyrakan yang membaik.

Gambaran diatas memberikan kita pemahaman bahwa masyarakat memang memiliki permintaan yang massive atas sepeda motor terlepas dari berbagai macam dampak yang dihasilkan. Tak dapat dipungkiri income per capita RI masih berada dikisaran $2000-2500 dollar atau 4000-an dollar AS kalau menggunakan perhitungan PPP (purchasing power parity). Jika jika dirupiahkan pendapatan rata-rata masyarakat RI setahun berada dikisaran 18 juta sampai 23 juta/tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa rakyat Indonesia masih belum sepenuhnya mampu beralih ke kendaraan yang lebih mewah dan layak seperti mobil, yang memiliki harga kisaran diatas 80 juta keatas. Selama perekonomian Indonesia masih berada dikisaran ini,susah sekali untuk menghentikan laju pertumbuhan sepeda motor. Hal yang sama juga terjadi pada emerging market lainnya yaitu China dan India yang menduduki posisi sebagai pengguna sepeda motor terbanyak di dunia, yang mencapai 15 juta , 6,5 juta ,diikuti Indonesia dengan 6,2 juta (2008).

Pendapatan masyarakat yang masih tergolong menengah bawah, dengan tuntutan kehidupan dan produktivitas yang semakin tinggi membuat masyarakat hanya memiliki sedikit opsi yaitu sepeda motor, untuk meningkatkan mobilitas mereka. Masyarakat kota misalnya, apalagi kota besar seperti DKI, Bandung, Surabaya, dimana kemacetan mulai menjadi budaya dalam kehidupan sehari, serta buruknya pelayanan moda transportasi umum, seprti angkot, bus ( busway bisa kita masukkan dalam kategori ini), belum lagi masalah tingkat keamanan dan kriminal yang tinggi,seperti pelecehan seksual dan pencopetan membuat masyarakat harus berpikir ulang demi mencapai produktivitas yang tinggi. Beralih ke mobil pribadi bukanlah solusi karena keterbatasan finasial. Tetap menggunakan moda transportasi umum rawan akan kemacetan dan tindakan kriminal. Hanya motorlah yang mampu membuat mereka lepas dari cengkraman kemacetan yang parah, yang diakibatkan body dari sepeda motor yang kecil dan lincah.

Jika kita urai lagi permasalahan kemacetan, ketimpangan laju pertumbuhan sepeda motor dan mobil dengan laju pertumbuhan jalan, lebih disebabkan permasalahan perencanaan tata kota dan pembangunan infrasturktur. Seperti yang telah saya ungkapkan diatas, bahwa adalah wajar bagi negara berkembang seperti Indonesia dengan perekonomian yang baru menggeliat, menjadi sasaran empuk pertumbuhan motor. Hal ini seharusnya tidak menjadi masalah jika saja pelaksanaan otonomi daerah dan perencanaan tata kota berjalan lancar dan memaksimalkan anggaran belanja daerah demi pembangunan infarastruktur. Ketika perekoenomain telah booming dan pendapatan masyarakat semakin sejahtera, mereka perlahan-lahan akan meninggalkan sepeda motor dan beralih ke moda transportasi yang lebih nyaman. Maka dari itu, jika perencanaan tata kota terutama dalam sector transportasi tidak bisa menunggu waktu lagi. Pemda harus masuk membangun moda transportasi massal yang nyaman secara perlahan-lahan demi menumbuhkan minat positif dari masyarakat. Sudah selayaknya pajak yang dikenakan terhadap sepeda motor dan mobil yamg mengalir ke pendapatan asli daerah, dikembalikan lagi ke rakyat dalam bentuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur, dalam hal ini infrastruktur transportasi.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat di desa? Sangat kontras dengan kota, kondisi desa di Indonesia seakan jauh dari pusaran ‘aktivitas’ ekonomi, terutama dari segi pembangunan infrastruktur. Desa identik dengan kemiskinan, kurang tennga kerja ahli, yang merantau ke kota, minim investasi. Ini ditambah dengan jarak tempuh antara pusat kota dan desa yang jauh membuat motor menjadi kebutuhan yang mendesak demi kelancaran kegiatan ekonomi. Bahkan demi memenuhi kebutuhan ekonominya ,masyarakat di desa rela terbelit hutang demi cicilan motor agar mobilisasi ekonomi berjalan lancar. Kalau di kota/kota besar, permasalahan kemacetan dan pelayanan moda transportasi umum yang buruk menjadi alasan utama masyarakat menggunakan motor, maka di desa jauhnya jarak tempuh dan miskinnya infrstruktur membuat sepeda motor menjadi pilihan utama dalam melaksanakan transaksi ekonomi.

Hal ini ternayata sangat jeli dipantau oleh para penyedia jasa kredit motor, terutama di desa. Dengan uang muka sebesar 500 ribu, mereka sudah bisa memiliki motor untuk terus memnayar lewat cicilan. Terkadang berhasil dilunaskan, tetapi lebih banyak lagi gagal membayar utangnya. Yang pada akhirnya membuat mereka membayat uang muka lagi untuk motor yang baru. Dan pola ini terus berputar. Masyarakat yang tidak mampu tampak menjadi korban akibat pola ini karena pengeluaran yang sifatnya tidak jangka panjang. Dan hal ini dipicu oleh ketidakpuasan masyrakat atas penyediaan jasa moda transportasi yang berkualitas serta pemerataan ekonomi yang timpang.

Kondisi ini semakin diperparah, ketika dari 95 ribu total kecelakan lalu lintas yang terjadi, 80%-nya disumbang oleh para pengendara motor[2]. Seperti yang diutarakan Hatta Rajasa ketika masih menjabat Menteri Perhubungan, kecelakaan lalu lintas merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia. Setiap tahunnya rata-rata 30.000 nyawa melayang di jalan raya. Dengan angka setinggi itu, Indonesia duduk di peringkat ke-3 negara di ASEAN yang jumlah kecelakaan lalu lintasnya paling tinggi, sehingga menjadi pembunuh nomor 3 di Indonesia. (penyebab kematian nomor 1 dan 2 adalah penyakit jantung dan stroke). Permasalahannya semakin kompleks, ketika menyangkut polusi yang dihasilkan sepeda motor. CO (Karbon monoksida),HC (Hidrokarbon),NOx (Nitrogen Oksida),So (Sulfur Oksida), Pb (Timbal,Pm (Debu atau partikel halus) adalah senyawa kimia berbahaya bagi pernafasan, terutama bagi para penumpang yang menunggu mobil di pinggir jalan. Dampaknya pasti sudah diduga akan menurunkan kulaitas hidup dan bisa saja menyebabkan kecelakaan di jalan araya. Dan DKI adalah contoh nyata dari dampak berbahaya senyawa kimia diatas.

Semenatara itu perlakuan tidak adil terus menimpa sector pengendara motor. Kebijakan pajak progresif trehadap pengguna sepeda motor serta pembatasan BBM bersubsidi (premium) bagi sepeda motor, bisa membuat industri otomotif nasional yang memiliki porsi besar dalam GDP Indonesia, menjadi menyusut pertumbuhannya. Padahal,total pengunaan premium nasional dari penggunaan sepeda motor hanya sekitar 27%, sedangkan 73% lainnya digunakan oleh mobil. Hal ini tentunya semakin memberatkan kalangan menengah bawah,yang merupakan pengguna terbesar kendaraan sepeda motor.

Berbagai paparan diatas, menjelaskan pertumbuhan yang tak terkendali dari sepeda motor jelas merupakan sebuah masalah. Ini disebabkan kelalaian kita semua dalam merencanakan pembangunan. Semua bukti empiris menyatakan laju pertumbuhan tak terkendali dari seepda motor ibarat virus yang mematikan. Akan tetpi, yang harus kita pahami, kenapa dan bagaimana itu terus terjadi? Masyarakat sudah tahu dengan jelas dampak buruk dari penggunaan sepeda motor, tetapi mereka tetap mengendarainya. Masyarakat tidak memiliki pilihan, karena pemerintah sendiri tidak memberikan mereka pilihan yang mencerahkan. Jadi masalah yang tampak di depan kita saat ini hanya masalah printilan-printilan kecil dari masalah yang menggunung dibawahnya. Permasalhannya bukan di sepeda motor, tetapi dari subjek yang mengendalikan sepeda motor itu sendiri.