Selasa, 04 Januari 2011

Pemuatan Kembali Karikatur Nabi Muhammad oleh Media Massa di Eropa ( 2005-2006) Sebagai Sebuah Bentuk Ancaman Keamanan Global

Pemuatan Kembali Karikatur Nabi Muhammad oleh Media Massa di Eropa

( 2005-2006) Sebagai Sebuah Bentuk Ancaman Keamanan Global

A. Sekilas tentang Pemuatan Karikatur Nabi Muhammad pada 2006 oleh Media Massa di Eropa

Isu ini menghebohkan dunia pada awal tahun 2006. Setelah dimuat di harian kecil Jylland-Posten di Denmark dan diterbitkan kembali oleh berbagai media massa Eropa seperti, Swedia, Spanyol, Jerman, dan Prancis, kabar ini semkain menghebohkan dunia. Meskipun teklah ada pemintaan maaf dari pihak Jylland-Posten dan dari Pemerintah Denmark sendiri, gelombang protes tak dapat dihindarkan. Dua kubu pun muncul dan saling memanaskan suasana. Kubu Muslim berpendapat kartun Nabi Muhammad tersebut telah melecehkan agama Islam serta mengganggap bahwa deksripsi negatif tentang Nabi Muhammad dirasa semakin melecehkan perasaan umat Muslim Dunia. Reaksi paling keras dan vokal disampaikan di negara-negara Kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan.

Kubu lainnya yaitu pihak Barat kendati telah meminta maaf tetap saja respon yang diberikan umat Muslim masih “keras”. Mereka tetap bersikeras penerbitan kartun tersebut atas dasar kebebasan brekspresi dan kebebasan pers. Hal inilah yang semakin tidak terima oleh umat Muslim. Aksi kekerasan tak terelakkan yang berbuntut pada penarikan sementara staf diplomatik Denmark di tiga negara, Indonesia, Iran dan Suriah. Selain itu juga terjadi perang mulut anatar AS dengan Iran terlebih lagi ketika AS melalui Menlunya menuduh Iran dan Suriah sebagai dalang dari kekisruhan ini. Hal ini dibantah oleh Iran dan Suriah. Meskipun AS memberikan dukungan kepada Denmark, Sekjen PBB secara halus juga menyindir kinerja dari wartawan Denmark tersebut. Melihat berbagai perbedaan persepsi antara kedua kubu saya akan memakai konsep HAM dalam memahami permasalahan yang terjadi ini.

Masyarakat Muslim duniapun turun kejalan dan melakukan tindakan anarkis serta mudah sekali terpancing amarah dalam menganggapi isu-isu yang sensitif. Itu bisa dilihat dari aksi dunia Muslim berupa pelemparan batu yang dimuat berulang-ulang, pembakaran bendera Denmark serta slogan anti-Denmark. Selain itu reaksi umat Muslim digambarkan menimbulkan ketakutan yang berlebihan dari pihak Eropa karena tindakan mereka yang merusak gedung-gedung perwakilan UE dan Denmark dan negara-negara yang menerbitkan kembali kartun tersebut. Hal ini kontan membuat Denmark menarik sementara para staf diplomatiknya di negara-negara yang mayoritas Muslim.

B. Konsep HAM (Hak Asasi Manusia)

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dimiliki seseorang dan melekat pada diri setiap manusia sejak ia dalam kandungan dan merupakan pemberian dari Tuhan. Konsep-konsep atau ide-ide mengenai HAM setidaknya dapat dibagai ke dalam tiga bagian. Pertama, dikenal dengan istilah first generation. Pada bagian ini isu-isu HAM berpusat pada area politik, seperti kebebasan berbicara dan berorganisasi serta mendirikan perkumpulan atau hak untuk berpartisipasi secara aktif maupun pasif dalam pemerintahan negaranya atau diwakili melalui parlemen. Pengakuan tentang hal yang berkaitan dengan politik ini dituangkan dalam Deklarasi HAM PBB pasal 21. Kedua, dikenal dengan istilah second generation. Bagian yang kedua ini sangat memfokuskan HAM pada area ekonomi, sosial dan budaya demi martabat serta pengembangan kepribadian seorang manusia. Pengakuan akan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya diatur dalam dokumen PBB berupa Perjanjian Internasional mengenai hak ekonomi, sosial , dan budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights). Berikutnya dikenal dengan istilah third generation. pada bagian ketiga ini lebih difokuskan pada area kolektif dnegan kata lain pengakuan tentang hak-hak masyarakat (peoples). Pada era setelah berakhirnya Perang Dingin, konsep dari HAM mengalami tantangan yang luar biasa dan memunculkan berbagai macam kritik. Ini sekaligus mempertanyakan konsep third generation. Penekanannya pada “people” menjadi rancu. Paling jelas dapat diamati pada konsep “Western values” dan “Asian Values”. Benarkah “people” dari seluruh dunia yang dimaksud?

C. Analisis

Isu pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW jelas menimbulkan semacam ancaman social (social-threats) dalam dinamika keamanan global. Social threats tidak dapat dipisahkan dari political threats. Permasalahan seperti bahasa, ide, komunikasi, agama, entitas lokal (tradisi), budaya, merupakan pokok utama permasalahan dalam societal threats. Ketika masuk ke ranah global ini menjadi semacam social-security yang sangat saling keterkaitan dengan political-security.

Dalam kasus ini CSS (Critical Security Studies) memberikan manfaat yang penting dengan memperluas cakupan debat di dalam studi mengenai keamanan dengan memperkenalkan perspektif-perspektif postpositivis, seperti feminis, pos-kolonial, neo-marxis, konstruktifis, sosiologis, dan posmodernis.[1] CSS secara langsung menarik permasalahan yang nyata dan pertanyaan-pertanyaan dari studi keamanan kontemporer dengan tujuan untuk terlibat dalam re-evaluasi secara teoretis dan re-orientasi dari bidang tersebut.[2] Copenhagen school mengangkat isu mengenai securitization. Securitization, menurut Copenhagen School terjadi dalam interaksi di antara elit pemerintah dan masyarakat. Menurut Barry Buzan dan Waever, “Security is a quality actors inject into issues by securitizing them, which means to stage them on the political arena… and then to have them accepted by a sufficient audience to sanction extraordinary defensive moves.” (Buzan, Waever, and de Wilde 1998 p. 204)[3]

Menurut Barry Buzan dan Waever, keamanan dapat didefinisikan sebagai aktor-aktor yang masuk ke dalam suatu permasalahan dengan mengamankan mereka, yang bertujuan untuk menempatkan mereka dalam arena politik, dan kemudian membuat mereka diterima oleh sejumlah masyarakat untuk memberikan sanksi terhadap tindakan pertahanan yang luar biasa. Apabila melihat karya-karya Barry Buzan, sectors didefinisikan sebagai arena di mana tipe-tipe keamanan berinteraksi; yaitu militer, politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan.[4] Bagi Copenhagen School, sektor-sektor ini mendukung berbagai bentuk hubungan-hubungan antara aktor-aktor untuk mengembangkan definisi yang berbeda dari referent object – sebuah entitas yang dilihat dalam terancam dan memiliki klaim yang sah untuk meminta keberlangsungan hidupnya.[5] Dalam kasus diatas, Denmark ‘kewalahan’ oleh keputusan pemerintah di beberapa negara di Kawasan Timur Tengah. Mereka menghentikan impor dari Denmark dan menolak semua barang buatan Denmark. Perekonomian Denmark sempat melemah. Kita bisa lihat bagaimana sebuah kebijakan Luar Negeri dipengaruhi oleh isu-isu HAM misalnya.

Isu yang awalnya dimulai oleh sebuah media massa, dalam waktu sekejap berubah menjadi “friksi” antarnegara, yaitu antara Denmark dan mayoritas Negara yang dihuni oleh penduduk Muslim. Bahkan Uni Eropa juga termasuk dalam kekisruhan isu ini akibat pemuatan kembali karikatur Nabi Muhammad oleh media massa mereka.. Apalagi pada kasus pemuatan karikatur Nabi Muhammad ini terjadi setelah tragedy 11 September dimana entitas Muslim selalu menjadi sorotan tajam. Penggambaran Nabi Muhammad secara ‘karikatur” sangat sukar diterima oleh penganut muslim di seluruh dunia. Sedangkan di Barat dimana cara pandang liberal sangat diakui hal ini lebih bermuatan ‘kebebasan berpendapat dan berekspresi. Perbedaan persepsi akan sebuah nilai kepercayaan menjadi blunder yang mengancam stabilitas keamanan global. Mulai dari aksi anarkis di berbagai penjuru dunia yang memakan korban sampai pemboikotan produk buatan Denmark mencerminkan betapa kompleksnya keterkaitan antar satu sector dengan sector lainnya (social-politik-ekonomi).

Mengacu pada pemahaman Copenhagen School terkait isu ini jelas ada dua pihak yang merasa terancam (referent object) terkait pemuatan karikatur Nabi Muhammad ini, pertama jelas umat muslim di seluruh dunia, mereka menanggap terjadi pelecehan terhadap nilai-nilai yang mereka percayai selama ini oleh Denmark dan Eropa,ditambah lagi pencitraan pasca 11 September dan aksi anarkis dan terorisme yang melekat di citra umat Muslim membuat posisi umat Muslim “kesusahan”. Jelas ada nilai-nilai identitas umat Muslim yang terancam bagi pemeluk Islam di seluruh dunia. Pihak lain yang merasa dirinya juga terancam adalah Denmark dan UE (karena memuat kembali kariaktur tersebut di media massa local di berbagai negara), mulai dari media yang memuatnya, masyarakat Denmark di luar negeri sampai Pemerintah Denmark sendiri. Pihak Denmark jelas mengalami kerugian besar terkait boikot barang-barang buatan Denmark di Timur Tengah. Selain itu aksi anarkis pelemparan batu ke jendela kedutaan besar mereka dan perwakilan UE di negara berpenduduk muslim semakin membuat permasalahan memanas sampai pada penarikan staff diplomatic untuk sementara waktu.

Selain sectors dan referent object, konsep lain yang terkait dalam pemahaman CSS adalah securitzation. Securitization berhubungan dengan kemampuan “speech act” yang dilakukan oleh pemerintah atau elit politik untuk meyakinkan masyarakat terhadap suatu hal yang dianggap mengancam keamanan, agar masyarakat waspada dan mengganggap hal tersebut sebagai ancaman bagi keamanan. Permasalahan yang dianggap ancaman itu biasanya bukan berasal dari militer atau yang berhubungan dengan high politics. Pada pemuatan ulang karikatur Nabi Muhammad ini dapat kita simak ada perbedaan dalam memandang penerbitan kartun nabi tersebut. Pihak Barat tetap teguh dengan prinsip kebebasan berekspresinya dan sangat menghormati keberagaman. Sentimen negatif tampak diberikan oleh Amerika Serikat yang menilai Iran dan Suriah sebgai dalang dari aksi massa di seluruh dunia Muslim dan sangat memanfaaatkan situasi ini dengan baik. Terlihat prasangka dari masing-masing pihak semakin tajam ditambah lagi dengan sikap Taheran yang membiarkan lomba penerbitan kartun Holocaust yang memicu kemarahan umat Yahudi dan Barat.

Hal ini kemudian melebar sampai pada perseturuan antara dunia Muslim dan Barat. Denmark mendapat sokongan dari AS, meski bisa dikatakan bukan dalam bentuk langsung, tetapi pernyataan AS yang menuding Suriah dan Iran sebagai provokator aksi anarkis di berbagai negara membuat kedua kubu semakin berlawanan. Di Nigeria dan Pakistan, pemerintah setemapt, sampai mengeluarkan tanggap darurat demi mengatasi aksi anarkis warga yang menentang pemuatan ulang kartun ini. Pada akhirnya tidak hanya Denmark, tetapi identitas Barat juga terseret kedalamnya. Bahkan PBB, Uni Eropa, dan OKI mengatakan mereka cemas atas aksi unjuk dengan kekerasan menentang kartun politik Denmark yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai teroris. Ketiga organisasi itu mengeluarkan pernyataan bersama mengutuk tindak kekerasan itu – khususnya serangan atas misi-misi diplomatik di Siria, Lebanon dan tempat-tempat lain. Ketiga organisasi itu mengatakan mereka menjunjung sepenuhnya hak mengutarakan pendapat. Tetapi mereka mengatakan kartun “penghinaan” terhadap Nabi Muhammad menunjukkan perlunya kepekaan dan tanggung jawab oleh pers bagi kepercayaan semua agama. Javier Solana mengatakan “Eropa menghormati Islam dan tidak pernah dan tidak akan bermaksud melukai perasaan umat Islam terkait penrbitan kartun Nabi Muhammad yang menyinggung umat muslim seluruh dunia”. Hal ini disampaikan sewaktu pertemuannya dengan ketua OKI Ekmeleddin Ihsanoglu. Sedangkan Koffi Anan mengatakan “kartun tersebut bersifat sensitif,ofensif dan provokativ”.

Isu HAM jelas menjadi isu sekuritisasi dalam hal ini. Pihak Denmark dan Barat menganggap apa yang diterbitkan oleh media Denmark tersebut sebagai sebuah kebebasan berekspresi dan telah sesuai dengan UU Denmark. Bahkan negara-negara seperti Perancis, Jerman, Spanyol menganggap penerbitan kembali kartun tersebut merupakan aksi solidaritas mereka dalam menjunjung kebebasan pers. Namun, pihak negara Muslim menanggap lain permasalhan ini. Menurut mereka penggambaran Nabi Muhammad yang bersorban bom dianggap melecehkan agama mereka. Ditambah lagi dalam Islam gambar/kartun Nabi muhammad saja tidak boleh dilakukan (haram) karena dianggap sebagai bentuk pemberhalaan.

Benarkah HAM berlaku secara universal? Meski hal ini diralat oleh Chris Brown yang berpendapat bahwa meskipun HAM merupakan produk pemikiran Barat bukan berarti kita akan dibuat berpikir seperti Barat pula[6]. Dari yang awalnya menekankan pada kebebasan berpendapat dan HAM ternyata menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan. Jelas isu social kemudian bisa berkembang menjadi ancaman global sehingga perlu disekuritisasi agar tak terulang lagi dan memberikan kemaslahatan bagi semua orang. Perbedaan pemahaman dalam memandang HAM saja bisa menimbulkan konflik antar sesama manusia lintas nasional yang memakan korban jiwa dan membuat ketenangan warga Barat di Negara Muslim menjadi terancam. Yang kemudian dibutuhkan adalah ruang publik dimana wacana-wacana alternatif dapat dihasilkan melawan wacana keamanan yang dikonstruksikan oleh para elit politik atau pemerintah.

Daftar Pustaka


Brown, Chris.2008. Human Rights dalam John Baylis dan Steve Smith, eds., The Globalization of World Politics.An Introduction to Internatonal Relations. 4th. Oxford: Oxford University Press,hal 506-521.

Buzan, Barry. 1991. People, States, and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era. London: Harvester Wheatsheaf, 2nd ed., dalam buku Allan Collins. 2007. Contemporary Security Studies. New York: Oxford University Press.

Buzan, Barry dan Hansen, Lene. 2008. The Evolution of International Security Studies. New York: Cambridge University Press.

Aradau, Claudia . Theorizing Security and the Limits of Politics”, dalam http://critical. libertysecurity. org/ documents/Aradau.doc . Diakses pada 18 Desember 2010

Booth,Ken. 2005. Critical Security Studies and World Politics. (Boulder, CO and London: Lynne Rienner, dalam http://www. in-spire. org/reviews/nz11072007_critical_security _studies.pdf. Diakses pada 18 Desember 2010

Booth, Ken. 1997. Security and self: Reflections of a fallen realist. In Critical security studies, ed. Keith Krause and Michael C. Williams: London: UCL Press.

http://www.upress.umn.edu/Books/K/krause_critical.html Diakses pada 17 Desember 2010

Ribuan Demonstran Bakar Gedung Kedutaan Denmark dan Norwegia di Damaskus.2006. diakses melalui http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2006-02-04-voa11-85266257.html. Diakses pada 17 Desember 2010.

AS Mengecam Keras Serangan Atas Kedutaan Asing di Damaskus.2006. http://www. voanews.com/indonesian/news/a-32-2006-02-05-voa1-85232997.html. Diakses pada 17 Desember 2010

PBB, Uni Eropa dan OKI Cemaskan Reaksi Keras Atas Kartun Nabi Muhammad.2006. http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2006-02-08-voa1-85075047.html. Diakses pada 17 Desember 2010

Kofi Annan Kritik Media Yang Memuat Kartun Nabi.2006. http://www.voanews. com/indonesian/news/a-32-2006-02-10-voa3-85257212.html. Diakses pada 17 Desember 2010.

Staf Diplomatik Denmark Tinggalkan Suriah.2006. http://www.voanews. com/indonesian/news/a-32-2006-02-11-voa7-85307102.html. Diakses pada 17 Desember 2010.

Denmark Tarik Pulang Diplomat, Anjurkan Warganya Tinggalkan Indonesia.2006. http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2006-02-12-voa3-85307237.html. Diakses pada 17 Desember 2010.

Javier Solana: Eropa Menghormati Islam.2006. http://www.voanews.com/english/news/a-13-2006-02-13-voa49.html. Diakses pada 17 desember 2010.




[1] Ken Booth, Critical Security Studies and World Politics. (Boulder, CO and London: Lynne Rienner, 2005) dalam http://www. in-spire. org/reviews/nz11072007_critical_security_studies.pdf (diakses pada 18 Desember 2010)

[3]Theorizing Security and the Limits of Politics”, oleh Claudia Aradau dalam http://critical. libertysecurity. org/ documents/Aradau.doc (diakses pada 17 Desember 2010)

[4] Barry Buzan, People, States, and Fear: An Agenda For International Security Studies in the Post-Cold War Era, 2nd ed., (London: Harvester Wheatsheaf, 1991), dalam buku Allan Collins, Contemporary Security Studies, ( New York: Oxford University Press, 2007), hlm. 60.

[5] Barry Buzan dan Lene Hansen, The Evolution of International Security Studies, (New York: Cambridge University Press, 2008), hlm. 214.

[6] Chris Brown.2008. Human Rights dalam John Baylis dan Steve Smith, eds., The Globalization of World Politics.An Introduction to Internatonal Relations. 4th. Oxford: Oxford University Press


Praktikum Profesi HI UNPAD 2007 :

Sebagai Sebuah Inovasi dalam Pengaplikasian Studi HI

Berbicara tentang aplikasi tentu kita akan berbicara tentang manfaat/kegunaan akan sebuah hal, seeprti halnya aplikasi bwt perangkat elektronik. Berhubung temanya aplikasi studi HI, tentu jelas sebagai sebuah ilmu, HI memiliki kegunaan. Kalu tidak memiliki kegunaan tentu bukan ilmu namanya. Percuma saja untuk dipeljari jikalau tidak memberikan kemaslhatan bagi umat manusia.

Semakin berkembangnya studi HI baik dalam actor sebagai subjek dan cakupan issuenya, tentunya membawa pengaruh yang besar dalam aplikasi ilmu HI itu sendiri. Jika kita tarik lagi perubahan studi HI yang sejak awal berdirinya sampai sebelumj perang Dingin berakhir sangat didominasi oleh aliran postiivs, yang mana menurut kaum reflektivis telah memebntuk ‘struktur” yang kuat dalam menancapkan konsep dan teorinya di tiap pikiran para penstudi HI. Maka sejak berakhirnya Perang Dingin, isu-isu HI yang sangat high-politics perlahan-lahan mulai cair dan mulai “membumi”, tidak lagi terpatok pada lingkaran elitis pembuat kebijakan. Perspektif barupun mulai menjadi pilihan dan dikembangkan secara masssiv. Keberanian mendrobak struktur yang telah tertanam kuat telah membuka pintu-pintu pengetahuna baru dalam pendalaman studi HI.

Lihat saja efeknya sekarang ini, HI tidak lagi melulu berbicara mengenai kebijakan luar negeri, diplomasi, politik global, kemanan global (tradisional), organisasi internasional, perang dan damai. Berakhirnya Perang Dingin misalnya melahirkan konsep demokrasi dan HAM yang mulai marak diperbicangkan, konsep human security yang tidak lagi beraptok hanya pada dunia militer dan high-politic (tetapi menekankan pada individu) serta semakin meningkatnya perhatian utama kita terhadap lingkungan hidup dan kesetaraan gender. Belum lagi konflik yang terjadi tidak lagi hanya melibatkan antar negara, melainkan terhadi dalam Negara itu sendiri (domestic) yang semakin ramai sejak 90-an, membuat kajian konflik etnis menjadi perhatian utama para penstudi HI. HI seakan semakin meluas. Tragedi 11 September menjadi bukti berikutnya dimana kajian tentang terorisme global/internasional mulai dipelajari di bangku-bangku kuliah ataupun kajian tetnang Islam dalam HI dalam memahami kompleksitas tragedi 11 September. Tidak hanya itu pembelajaran terkait cultural studies juga mulai popler di kalangan para penstudi HI dimana kita diajak untuk ‘mengobrak-abrik” berbagai macam “struktur/mitos” yang telah tertancap kuat dalam studi HI selama ini. Untuk Indonesia khususnya, sejak dimulainya otonomi daerah sangat memungkinkan sekali kerjasama antar daerah dan dunia internasional asalkan kesepakatannya sejalan dengan kebijakan nasional negaranya. Dalam studi HI pun ada pembelajaran tentang hubungan ekonomi politik pusat dan daerah

Jelas dinamisnya studi HI dalam menyikapi berbagai macam persoalan yang terjadi menandai adanya keberanian untuk bersikap inovatif dan selalu berorientasi akan masa depan. Studi HI perlahan-lahan mulai keluar dari zona nyamannya selama ini dan seakan menantang dirinya sendiri dalam menghadapi berbagai macam problema dunia internasional. Bukan bermaksud membanggakan diri sendiri tetapi kita (saya dan teman-teman HI Unpad 2007) sebagai penstudi HI juga mulai perlahan-lahan berpikir inovatif dalam menyikapi perkembangan studi Hi saat ini. Ini bisa terlihat jelas dalam praktikum profesi yang kami lakukan pada November lalu. Mulai dari pengamtan terhadap “keunikan” hip-hop di Australia, ekssistensi waria dan cabaret di Thailand sebagai penarik wisatawan, glokalisasi kopitiam (warung kopi) di Singapura, perkembangan wisata belanja di Orchard Road Singapura, penamaan rijstafle (kuliner) di Belanda yang identik dengan poskolonialisme, sampai pada hal-hal seperti English Village di Pare (Kediri), konsep disneysasi di Taman Mini Jakarta, ataupun perkembangan Pasar Seni Sukowati di Bali yang ramai dikunjungi wisatawan mancanegara dan konsep pengairan dan pertanian di Bali yang terus lestari dalam era globalisasi selain sebagai tujuan wisata hingga mengamati hal-hal yang berbau mistis/spiritual/local wisdom di sebuah desa di Bali.

Studi HI yang kita lakukan berupa praktikum menunjukkan betapa semakin membuminya studi HI dan bisa ditemukan dimana-mana. Studi HI saat ini bisa mengaitkan dirinya dengan hal-hal yang tidak lagi harus berdasarkan hubungan antar negara melainkan mulai dilakukan dan dirasakan pada tingkatan komunitas ataupun individu (sebagai pemain kunci). Sekarang kemanapun kita berjalan, menonton, gaul, kongkow semuanya tidak lepas dengan fenomena dalam studi HI. Melihat iklan Nutrilon di tv, kongkow di Starbucks, nonton film-film Hollywood, efek CAFTA di Cibaduyut, banyaknya para warga melayu Malayisa yang belanja di Pasar Baru Bandung (menurut teman saya David), pornografi, penyebaran HIV/AIDS, donor organ illegal, pandemik SARS dan flu burung, fenomena paras Indo di tv-tv yang digilai para warga Indonesia sampai pada fenomena the rising star Irfan Bachdim juga tak luput dari kajian HI baik dari segi fisiknya maupun konsep naturalisasi dalam sepakbola.

Bukan berarti high-politics thingy sudah tidak zaman lagi, melainkan dengan bermunculannya konsep HI yang sangat sehari-hari tadi menandakan betapa kompleksnya studi HI tersebut. Tentu terkadang isu-isu yang nyeleneh ini tidak sejalan dengan pola pikir penstudi HI kebanyakan, bahkan malah cenderung mengucilkan dan tidak mengapresiasi. Berbagai tekanan muncul. Hal ini semakin memberi tantangan dalam mengembangkan studi HI yang semakin kaya dan menarik ini. Justru disanalah menurut saya aplikasi ilmu HI yang paling dasar selalu berpikir ke depan dan maju dalam melihat zaman. Tidak terkungkung akan struktur yang telah tercipta dan senantiasa selalu mendobrak dan melakukan perubahan.


Menyikapi Ragam Paradigma dalam Studi HI

Menyikapi Ragam Paradigma dalam Studi HI

Dalam hal saya tidak akan membahas berbagai macam paradigma dalam studi HI. Jumlahnya sangat banyak sehingga memungkinkan kita melihat persoalan dari berbaghai macam sudut pandang. Paradimga seringkali disamakan maknanya dengan perspektif, pendekatan, aliran pemikiran (school of thought). Jumlahnya yang cukup banyak tersebut terkadang membingungkan dan sukar sekali untuk menguasai semuanya sekaligus. Sebut saja Realisme, Liberalisme beserta turunanya Neo-Realisme dan Neo-Liberalisme, Marxisme, Critical Theory, Normative Theory, Konstruiktivisme, Poskolonialisme, Feminisme, Historical Sociology, Pos modernisme serta Enviromentalisme. School of thought dioatas juga terbelah kedalam Positivis dan Reflektivis yang karakternya saling bertolak belakang. Banyaknya pendekatan yang digunakan juga terkait dengan dinamisnya isu (ontology) dari kajian studi HI itu sendiri.

Pada tulisan kali ini saya akan lebih memfokuskan pada diri saya sendiri (dan mungkin bagi para pembaca dan teman-teman HI lainnya) dalam usaha memahami berbagai macam aliran pemikiran/paradimga diatas. Bukan pekerjaaan yang gampang tentunya dalam memahami kesemuanya. Mereka seolah-olah seperti prasmanan yang terhampar di meja saji dalam partai besar. Beberapa ada yang kita sukai dan cocok dengan lidah kita, tetapi beberapa diantaranya tampak tidak sesuai selera. Akan tetapi sebagai pesntudi HI mau tidak mau kita harus mencoba semuanya (sebelum pada proses memahami tentunya). Beberapa diantaranya cukup lancar ditermia, sedangkan yang lain membutuhkan pergolakan yang cukup panjang untuk bisa memahaminya (setidaknya untuk dibaca). Terkadang sukar sekali diterima dengan akal pemikiran mainstream (terutama pemikiran Reflektivis). Dibutuhkan “keterbukaan” (open-minded) dalam memahaminya. Setidaknya untuk membuka pintu pertama dalam otak kita, sebelum pintu-pintu yang lainnya dibuka.

Lalu apakah selancar itukah prosesnya? Tentu tidak, untuk memahami reflektivis misalnya sebagai “lawan” dari positivis, kita dituntut untuk memahami positivis terlebih dahulu, agar tidak ngaur dan sok-sok-an dalam memahami pemikiran Reflektivisme. Reflektivisme sendiri mulai menjadi mengemuka dalam studi HI sejak berakhirnya Perang Dingin, walaupun pada decade sebelumnya telah mulai dirintis. Semakin berkembangnya pemahaman Reflektivisme membuat studi HI semakin berwarna dan bervariasi sekaligus semakin menawarkan banyak pilihan. Pilihan yang sangat banyak inilah yang membingunkan jika kita berusaha memahami semuanya dalam kurun waktu empat tahun. Memahami kesemuanya secara sedikit-sedikit dan tidak tuntas, tentunya membuat kita kewalahan dalam menentukan sikap. Seringnya diskusi dengan teman-teman seangkatan dan angkatan-angkatan atas, membuat saya mendapat kesimpulan “terlebih baik” jika kita memilih satu yang paling kita sukai dan paling tertarik untuk selanjutnya dieksplor lebih dalam ketimbang membaca semuanya tetapi cuma sedikit-sedikit . tentu mengetahui dan membaca kesemua paradigm tersebut adalah hal yang dibutuhkan demi pemahaman yang lebih holistic. Akan tetapi ketetapan sikap dan pilihan akan lebih memudahkan kita dalam menyatakan sikap (setidaknya untuk tujuan yang pragmatis).

Jika kita tarik keawal ketika Studi HI pertama kali berdiri setelah PD I berakhir, pengaruh bidang studi lain seperti hukum, sejarah, dan filsafat tampak sangat mendominasi. Bahkan Realisme yang identik dengan “orisinalitas” atau “keunikan” dalam studi HI, sangat kuat sekali dipengaruhi oleh pemikiran pemikiran politiknya Machiavelli dan Thomas Hobbes. Ataupun Idealisme yang sangat kental atas pemikiran Kant. Hal ini terus berlanjut sampai sekarang, dimana ilmu sosial lain seperti Sosiologi, Antropologi, dan Ekonomi serta Politik sangat kental dalam mewarnai studi HI. Perkembangan Studi HI yang sangat dinamis dari masa ke masa terutama dalam coverage issuenya memungkinkan sekali mucul kajian baru dengan pendekatan yang sudah di”HI-kan” seperti pemikiran Mazhab Frankfurt yang kental dengan Ilmu Komunikasi yang kemudian di-“HI-kan” oleh Linklater atau pemikiran Posmodernisme yang di-Hi-kan” oleh Ashley dan RBJ.Waklker. Bahkan berbagai macam mata kuliah pun seperti Politik Dunia, Lingkungan Hidup dalam studi HI, Islam dalam studi HI, MNC dalam politik dunia menandakan betapa rumitny dan kompleksnya percampuran ilmu-ilmu lain dalam studi HI itu sendiri.

Sangat dinamisnya perkembangan paradigma/alirran dalam studi HI mengindikasikan pola pikir yang “open-minded” dalam menyikapi berbagai macam perubahan. Itulah yang saya rasakan selama belajar di HI. Keberagaman paradigma serta adanya filtrasi dan percampuran dari ilmu social lainnya membuat kadar toleransi dalam menyikapi masalah lebih longgar tidak lagi kaku/keras seperti diawal dulu karena adanya kesadaran bahwa studi HI sangat kaya akan ‘sudut pandang’ dalam menyikapi sebuah permasalahan yang tentunya dengan tool analysis-nya menggunakan paradigm yang beragam tadi.

Hanya saja, kelonggaran toleransi yang tinggi terhadap keberagaman cenderung menimbulkan semacam clash dalam diri masing-masing penstudi HI saya pikir. Apalagi segala macam buku/referensi yang dibaca merupakan pemikiran dari Eropa, Amerika Utara, Australia. Sangat sedikit sekali literature yang intens kita baca berasal dari India dan China atau dunia belahan lainnya. Mungkin selain dominasi Eropa dan Amerika Utara, Australia, Amerika Latin yang sangat terkenal dengan prominen pemikiran terkait dependency school-nya . Mungkin pemikiran ini lebih tepat ditujukan khusus bagi para penstudi HI di Indonesia dan negara berkembang lainnya,diman studi HI cenderung membuat para penstudinya sangat “kebarat-baratan” dan bingung dalam “membumikan” studi HI itu sendiri yang identik dengan elitis, keanggunan, pencitraan. Dengan kata lain studi HI juga belum digunakan secara maksimal dalm pengambilan kebijakan pemerintah. Hal ini menimbulkan kebingungan dalam mengharmonisasikan teori dan paradigm HI dengan event-event domestik Jika India mulai perlahan-lahan mengidentikkan dengan aliran poskolonilsime lantas bagaimana dengan penstudi Hi di Indonesia ??

Teknologi dan Paranoia : Full Body Scanners at Airport

Teknologi dan Paranoia : Full Body Scanners at Airport

Pernahkah anda mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan selama di bandara? Terutama di keberangkatan internasional?? Pengalaman paling pahit yang saya alami hanya disuruh membuang botol air minum milik saya. Ini masih belum seberapa jika dibandingkan bagi anda memiliki nama yang berbau Arab/Islam , mempunyai jenggot yang lebat, dsb, anda akan dibuat “berlama-lama” di bandara untuk diinterogasi lebih jauh. Salah seorang guru saya ketika sekolah dulu pernah mengalami pemeriksaan yang berlebihan ini. Sedkit mitip dengan yang dialami Shahrukh Khan dalam My Name Is Khan.

Pemeriksaan yang berlebihan bukan mucul tanpa sebab tentunya. Sejak aksi terorisme 11 September wajah dan kebijakan negara-negara di dunia termasuk di Indonesia mengalami perubahan drastis yang berdampak pada pola konstruksi dan pencirian sebuah indentitas (baca islam) menjadi sorotan tajam. Kebijakan dan aturan yang pada tahun-sebelumnya belum pernah ada, sekarang menjelma dengan begitu ketatnya. Ketakutan yang berlebihan akibat pemberitaan media massa yang sangat exposure terkait terorisme dna laporan badan intelijen membuat kebijakan negara-negara terutama negara maju sangat radikal dalam mengamankan negaranya. Hal ini memicu pada perkembangan teknologi yang massive yang digunakan di tempat-tempat umum, mulai dari CCTV, screening di bandara yang termat ketat, dll.

Dalam kajian kemanan global kita mengenal isitilah containment (pengurungan/pengepungan), yang berarti : aksi yang dilakukan melalui peningkatan keamanan di tempat publik terutama di jalur transportasi antar negara seperti bandara dan stasiun kereta api, dengan tujuan mencegah aksi serupa terjadi lagi. Hal ini membawa konsekuensi pada ketidaknyamanan yang dirasakan oleh warga negaranya sendiri akibat paranoid yang berlebihan dari penyenlenggara negara dalam memaksimalkan pengamanan bagi national securitynya. Contoh :pengamanan ekstra ketat di bandara-bandara AS dan Israel. Aksi ini dilakukan sebagai rekasi pemerintah dalam menyikapi aksi kekerasan politik oleh actor non-negara.

Dalam hal ini kita akan memfokuskan pada full body scanners yang mulai diterapkan di bandara-bandara di AS dan beberapa bandara utama di dunia (baca : http:/ /consumerist.com/2010/09/updated-list-of-full-body-scanners-at-airports.html). Teknologi ini selain berbiaya mahal sekitar 170 ribu dollar AS ini terbukti memang sangat gamblang dalam memeriksa keamanan para penumpang dalam menyembunyikan berbagai macam senjata tajam, peledak, dll dalam bentuk dan ukuran apapun sampai bisa menyensor ke dalam tubuh si penumpang untuk mengecek bebagai macam benda yang mencurigakan. Dalam satu sisi, teknologi ini memang sangat meminimalkan terjadinya berbagai macam bentuk serangan teorisme aksi brutal yang membahayakan keamanan semua orang.

Akan tetapi, penggunaan teknologi ini oleh TSA (Transportation Security Administration) di AS menimbulkan complain bahkan bebrapa telah mengajukan lawsuit ke Departement of Justice (baca : Error! Hyperlink reference not valid. ). Penggunaan teknologi dianggap sangat melecehkan martabat manusia dan sangat sensitive terkait masalah moral dan etika. Setiap penumpang yang dicek dengan teknologi ini harus menanggalkan bajunya (hanya menyisakan pakaian dalam) ketika diperiksa. Bayangkan saja, betapa lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melepas pakaian tersebut dan memasangnya kembali. Belum lagi terkait pelanggaran privasi di tempat umum. Tentu tidak semua orang nyaman mempertontonkan bentuk tubuhnya terhadap orang yang mereka tidak kenal sama sekali (para penjafga) Apalagi bagi wanita dalam balutan pakaian musim dingin tentunya?

Ini belum termasuk jika mereka memeriksa wanita muslim yang berjilbab. Dan jelas, para penganut muslim lah yang menjadi target utama pemriksaan ini. Pertentangan mempertotntonkan aurat dengan aturan akibat stigma yang terlanjut melekat pada mereka sungguh menjadi pilihan yang dilematis. Belum lagi jika anda memiliki cacat tubuh atau adanya bagian tubuh yang tidak nyaman untuk dipertontonkan (luka operasi) atau mereka ygn memiliki penyakit psikis terkait bentuk tubuh. Lalu bagiamana dengan kaum transeksual yang memakai penis prostetik misalnya?? Ditambah lagi hasil screening ini sangat jelas mempertontonkan bentuk anatomi termasuk (alat vital) para penumpang. Peralkuan semacam ini kendati ditujukan untuk keamanan nasional dan global ternyata menimbulkan permasalahan pelik terkait moralitas, etika, dan privasi warga Negara.

Tak selamanya teknologi membuat kita menjadi efektif, praktis, dan mudah, setidaknya dalam proses awal. Teknologi yang seharusnya ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat umumnya ternyata malah menimbulkan ketidaknyamanan yang sangat mengguncang keyakinan (bagi beberapa identitas). Ironi memang, ketika kita menciptakan ketakutan dan konstruk, kemudian menciptakan teknologi untuk mengatasi ketakutan tersebut hasilnya malah menimbulkan ketidaknyamanan akibat ketakutan yang diciptakan tersbut. Tentu teknologi yang ramah etika/moral bukan hal yang mustahil bukan??


Senin, 01 November 2010

Ketika Rakyat Indonesia Harus Memilih Sepeda Motor.............

Tak sedikit diantara kita yang seringkali mendadak mengeluarkan kata-kata kotor atau sumpah serapah melihat kelakuan para pengendara motor yang sembarangan dan amburadul. Para pengemudi mobil mungkin tau sekali bagaimana rasanya ketika melihat ulah para pengandara motor yang serampangan itu. Tak hanya pengendara mobil, para pejalan kaki kerapkali dibuat jengkel ketika sepeda motor mendadak memasuki lahan pejalan kaki baik di trotoar dan jembatan penyeberangan, belum lagi bunyi knalpot yang berisik dan polusi knalpot (motor dan mobil ). Tingginya kerawanan mereka dalam kecelakaan lalau lintas membuat polisi juga sibuk berururan dengan pengendara roda dua ini. Mereka menjadi diantara tertuduh utama atas biang utama kemacetan di DKI belakangan ini. Dampaknya mereka dilarang melewati jalur-jalur terentu. Begitu masalahkah sepeda motor di Indonesia? Apakah mereka memang pantas menerima ganjaran sebagai sebuah masalah dalam dunia transportasi Indonesia?

Jika kita melongok kepada data yang dikeluarkan oleh AISI (Asosiasi Industry Sepeda Motor Indonesia) sejak 1996-2009, tampak dari tahun ke tahun penjualan sepeda motor di Indonesia menunjukkan hal yang mencengangkan[1]. Selain ketika krisis 1998 dan kenaikkan harga BBM, penjualan sepeda motor menunjukkan angka yang bombastis. Hal ini diakibatkan kepemilikan motor atas jumlah penduduk Indonesia masih rendah. Pada 2007 memperlihatkan, satu sepeda motor di Indonesia digunakan oleh delapan orang. Dengan perekonomian Indonesia yang realtif stabil (selalu diatas 5 persen), membuat industri ini juga semakin menggeliat. Dengan asumsi tingkat perekonomian terus tumbuh, maka angka penjualan otomotif pun akan berkembang. (Warta Kota, 19 Januari 2009), sehingga jumlah sepeda motor tersebut pada akhir tahun 2008 tercatat 49 juta (data Mabes Polri) dengan pertambahan secara nasional 10%/tahun. Sedangkan titik jenuh seperti yang diutarakan oleh AISI, baru terjadi pada 2014-2015. Hanya saja penjualan sepeda motor masih akan stabil pada kisaran 6 juta unit pada waktu itu diakibatkan daya beli dan pendapatan masyrakan yang membaik.

Gambaran diatas memberikan kita pemahaman bahwa masyarakat memang memiliki permintaan yang massive atas sepeda motor terlepas dari berbagai macam dampak yang dihasilkan. Tak dapat dipungkiri income per capita RI masih berada dikisaran $2000-2500 dollar atau 4000-an dollar AS kalau menggunakan perhitungan PPP (purchasing power parity). Jika jika dirupiahkan pendapatan rata-rata masyarakat RI setahun berada dikisaran 18 juta sampai 23 juta/tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa rakyat Indonesia masih belum sepenuhnya mampu beralih ke kendaraan yang lebih mewah dan layak seperti mobil, yang memiliki harga kisaran diatas 80 juta keatas. Selama perekonomian Indonesia masih berada dikisaran ini,susah sekali untuk menghentikan laju pertumbuhan sepeda motor. Hal yang sama juga terjadi pada emerging market lainnya yaitu China dan India yang menduduki posisi sebagai pengguna sepeda motor terbanyak di dunia, yang mencapai 15 juta , 6,5 juta ,diikuti Indonesia dengan 6,2 juta (2008).

Pendapatan masyarakat yang masih tergolong menengah bawah, dengan tuntutan kehidupan dan produktivitas yang semakin tinggi membuat masyarakat hanya memiliki sedikit opsi yaitu sepeda motor, untuk meningkatkan mobilitas mereka. Masyarakat kota misalnya, apalagi kota besar seperti DKI, Bandung, Surabaya, dimana kemacetan mulai menjadi budaya dalam kehidupan sehari, serta buruknya pelayanan moda transportasi umum, seprti angkot, bus ( busway bisa kita masukkan dalam kategori ini), belum lagi masalah tingkat keamanan dan kriminal yang tinggi,seperti pelecehan seksual dan pencopetan membuat masyarakat harus berpikir ulang demi mencapai produktivitas yang tinggi. Beralih ke mobil pribadi bukanlah solusi karena keterbatasan finasial. Tetap menggunakan moda transportasi umum rawan akan kemacetan dan tindakan kriminal. Hanya motorlah yang mampu membuat mereka lepas dari cengkraman kemacetan yang parah, yang diakibatkan body dari sepeda motor yang kecil dan lincah.

Jika kita urai lagi permasalahan kemacetan, ketimpangan laju pertumbuhan sepeda motor dan mobil dengan laju pertumbuhan jalan, lebih disebabkan permasalahan perencanaan tata kota dan pembangunan infrasturktur. Seperti yang telah saya ungkapkan diatas, bahwa adalah wajar bagi negara berkembang seperti Indonesia dengan perekonomian yang baru menggeliat, menjadi sasaran empuk pertumbuhan motor. Hal ini seharusnya tidak menjadi masalah jika saja pelaksanaan otonomi daerah dan perencanaan tata kota berjalan lancar dan memaksimalkan anggaran belanja daerah demi pembangunan infarastruktur. Ketika perekoenomain telah booming dan pendapatan masyarakat semakin sejahtera, mereka perlahan-lahan akan meninggalkan sepeda motor dan beralih ke moda transportasi yang lebih nyaman. Maka dari itu, jika perencanaan tata kota terutama dalam sector transportasi tidak bisa menunggu waktu lagi. Pemda harus masuk membangun moda transportasi massal yang nyaman secara perlahan-lahan demi menumbuhkan minat positif dari masyarakat. Sudah selayaknya pajak yang dikenakan terhadap sepeda motor dan mobil yamg mengalir ke pendapatan asli daerah, dikembalikan lagi ke rakyat dalam bentuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur, dalam hal ini infrastruktur transportasi.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat di desa? Sangat kontras dengan kota, kondisi desa di Indonesia seakan jauh dari pusaran ‘aktivitas’ ekonomi, terutama dari segi pembangunan infrastruktur. Desa identik dengan kemiskinan, kurang tennga kerja ahli, yang merantau ke kota, minim investasi. Ini ditambah dengan jarak tempuh antara pusat kota dan desa yang jauh membuat motor menjadi kebutuhan yang mendesak demi kelancaran kegiatan ekonomi. Bahkan demi memenuhi kebutuhan ekonominya ,masyarakat di desa rela terbelit hutang demi cicilan motor agar mobilisasi ekonomi berjalan lancar. Kalau di kota/kota besar, permasalahan kemacetan dan pelayanan moda transportasi umum yang buruk menjadi alasan utama masyarakat menggunakan motor, maka di desa jauhnya jarak tempuh dan miskinnya infrstruktur membuat sepeda motor menjadi pilihan utama dalam melaksanakan transaksi ekonomi.

Hal ini ternayata sangat jeli dipantau oleh para penyedia jasa kredit motor, terutama di desa. Dengan uang muka sebesar 500 ribu, mereka sudah bisa memiliki motor untuk terus memnayar lewat cicilan. Terkadang berhasil dilunaskan, tetapi lebih banyak lagi gagal membayar utangnya. Yang pada akhirnya membuat mereka membayat uang muka lagi untuk motor yang baru. Dan pola ini terus berputar. Masyarakat yang tidak mampu tampak menjadi korban akibat pola ini karena pengeluaran yang sifatnya tidak jangka panjang. Dan hal ini dipicu oleh ketidakpuasan masyrakat atas penyediaan jasa moda transportasi yang berkualitas serta pemerataan ekonomi yang timpang.

Kondisi ini semakin diperparah, ketika dari 95 ribu total kecelakan lalu lintas yang terjadi, 80%-nya disumbang oleh para pengendara motor[2]. Seperti yang diutarakan Hatta Rajasa ketika masih menjabat Menteri Perhubungan, kecelakaan lalu lintas merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia. Setiap tahunnya rata-rata 30.000 nyawa melayang di jalan raya. Dengan angka setinggi itu, Indonesia duduk di peringkat ke-3 negara di ASEAN yang jumlah kecelakaan lalu lintasnya paling tinggi, sehingga menjadi pembunuh nomor 3 di Indonesia. (penyebab kematian nomor 1 dan 2 adalah penyakit jantung dan stroke). Permasalahannya semakin kompleks, ketika menyangkut polusi yang dihasilkan sepeda motor. CO (Karbon monoksida),HC (Hidrokarbon),NOx (Nitrogen Oksida),So (Sulfur Oksida), Pb (Timbal,Pm (Debu atau partikel halus) adalah senyawa kimia berbahaya bagi pernafasan, terutama bagi para penumpang yang menunggu mobil di pinggir jalan. Dampaknya pasti sudah diduga akan menurunkan kulaitas hidup dan bisa saja menyebabkan kecelakaan di jalan araya. Dan DKI adalah contoh nyata dari dampak berbahaya senyawa kimia diatas.

Semenatara itu perlakuan tidak adil terus menimpa sector pengendara motor. Kebijakan pajak progresif trehadap pengguna sepeda motor serta pembatasan BBM bersubsidi (premium) bagi sepeda motor, bisa membuat industri otomotif nasional yang memiliki porsi besar dalam GDP Indonesia, menjadi menyusut pertumbuhannya. Padahal,total pengunaan premium nasional dari penggunaan sepeda motor hanya sekitar 27%, sedangkan 73% lainnya digunakan oleh mobil. Hal ini tentunya semakin memberatkan kalangan menengah bawah,yang merupakan pengguna terbesar kendaraan sepeda motor.

Berbagai paparan diatas, menjelaskan pertumbuhan yang tak terkendali dari sepeda motor jelas merupakan sebuah masalah. Ini disebabkan kelalaian kita semua dalam merencanakan pembangunan. Semua bukti empiris menyatakan laju pertumbuhan tak terkendali dari seepda motor ibarat virus yang mematikan. Akan tetpi, yang harus kita pahami, kenapa dan bagaimana itu terus terjadi? Masyarakat sudah tahu dengan jelas dampak buruk dari penggunaan sepeda motor, tetapi mereka tetap mengendarainya. Masyarakat tidak memiliki pilihan, karena pemerintah sendiri tidak memberikan mereka pilihan yang mencerahkan. Jadi masalah yang tampak di depan kita saat ini hanya masalah printilan-printilan kecil dari masalah yang menggunung dibawahnya. Permasalhannya bukan di sepeda motor, tetapi dari subjek yang mengendalikan sepeda motor itu sendiri.


Senin, 25 Oktober 2010

SEBUAH PEMIKIRAN TENTANG PENDIDIKAN

Pendidikkan adalah jelas perihal yang berkesinambungan. Kita tidak bisa hanya menyalahkan para pengangguran berdasarkan kualitas almamaternya. Melainkan harus ditarik lebih jauh lagi sejak pendidikkan dasarnya, suatu proses dimana segala pencerahan atau “kegelapan” itu dimulai. Tentunya partispasi dan keterkaitan antara stakeholder seperti pihak sekolah/perguruan tinggi, murid/mahasiswa, pemerintah, orangtua dan lingkungan sangat mempengaruhi kualitas sebuah pendididkan yang terbungkus dan terkait lagi dengan nilai-nilai umum yang berlaku di masyarakat serta aturan yang diciptakan oleh pemrintah ;

Ada satu pengalaman menarik dan patut untuk direnungkan, ketika saya mudik pada lebaran kemarin. Adik saya yang paling kecil, perempuan, tampak sedang mengerjakan PRnya. Dia baru saja duduk di kelas 2 SD. Ketika saya perhatikan lebih detail dan melihat LKSnya, tampak dengan jelas, mata pelajaran seperti IPA, IPS, Bahasa Inggris sudah diajarkan sedari dini sejak kelas 1 ternyata, ketika saya tanya lagi kepada orang tua saya. Jujur, saya cukup terkejut melihat progress nya yang sangat cepat. Ketika saya masih SD, pelajaran Bahasa Inggris, IPA, IPS diajarkan sejak kelas 3 SD. Belum lagi mereka fasih dengan pelajaran membaca menulis serta berhitung, mereka sudah diajarkan tentang hukum-hukum ilmu alam dan social (meski dalam tahap pemula).

Tak heran kemudian berjamuran pusat bimbingan belajar di sekitaran SD adik saya tersebut. Kebetulan saya berempat bersaudara memang besekolah di tempat yang sama, di sebuah SD swasta di Padang. Orang tua saya juga mengaku sangat kewalahan mendampingi proses belajar adik saya di rumah, berhubung ketiga anak-ankanya sebelumnya bisa dibilang tidak mengalami perubahan drastis dalam kurikulum SDnya. Tampaknya, anak-anak sekarang sepertinya dituntut berpikir dan belajar sangat cepat. Kemudian saya berpikir kembali, apabila sejak kelas 1 SD anak-anak sudah dibekali pembelajaran begitu banyaknya dibarengi dengan tas sekolah yang berat sekali (karena harus memuat banyak buku) tidakkah mempengaruhi perkembangan otak mereka serta proses berpikir mereka? Sudah sepantasnyakah mereak dibebani berpikir “seperti” itu?

Hal ini pada akhirnya, mempengaruhi system pendidikan dasar itu sendiri. Mengantisipasi hal ini, ternyata, di tingkat Taman Kanak-Kanak sekalipun pelajaran membaca dan menulis sudah diajarkan. Taman Kanak-Kanak tidak lagi menjadi taman bermain seperti tempo dulu. Jika memang prosesnya demikian, betapa malangnya para keluarga yang tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka untuk menempuh pendidikan di Taman Kanak-Kanak atau pendidikan sejenis sebelum memasuki jenjang SD? Mengingat padatnya mata pelajaran sejak usia dini, membuat para orangtua mulai berbondong-bondong memasukkan anak-anaknya kedalam les privat selain di luar jam sekolah.Pada taraf SMA ataupun SMP mungkin adalah perkara yang lazim dijumpai. Akan tetepai pada tingkat SD?? Saya menyayangkan disini bahwa jika seorang anak sudah ‘dipaksa’ sedari dini untuk berpikir hanya memenuhi kemampuan “kognitif”, lantas dimana waktu mreka untuk bersosialisasi dengan teman sebaya baik di sekolah maupun di rumah. Atau bersantai dengan keluarga mereka. Dan harus diingat tidak semua anak-anak diberkahi dengan kemampuan IQ yang jenius/tinggi.

Masih berkaitan dengan keluarga saya, adik saya yang ketiga pernah mengalami pengalaman dimana baju seragamnya dicoret dengan spidol oleh gurunya karena ketahuan berpakaian tidak rapi. Dalam hal ini, adik saya tidak memasukkan bajunya ke dalam celana secara rapi. Dari semua adik-adik saya, cuma dia yang tercatat dalam sejarah, seragamnya mendapatkan coretan dari gurunya. Pngalaman ini dia daptkan sewaktu masih SMP dulu. Sudah menjadi hal yang lazim tampaknya, terutama dalam bidang pendiidikan, punishment merupakan solusi dalam memberantas kenakalan remaja. Adapun hikmah yang diharapkan dari pemberian sanksi seperti ini agar si pelajar jera akan perbuatannya dan tidak akan mengulanginya di masa yang akan datang. Sejak si pelajar diterima di bangku sekolah baik dari SD sampai SMA, di awal pendafataran dia sudah disodori semacam aturan yang berlaku di sekolah tersebut. Bahkan mayoritas sekolah memberlakukan system poin. Ketika seorang siswa telah melampaui poin tertinggi (dalam perihal kesalahan yang diperbuatnya) maka dia akan didrop-out.

Saya meyakini aturan dan pendisiplinan seperti ini masih berlaku di seluruh sekolah-sekolah di Indonesia. Ketika para orang tua telah menyetujui memasukkan anaknya ke sekolah tersebut (setelah membaca berbagai macam aturan dan seluk beluk sekolah tersebut,)maka dia harus menerima segala konsekuensi yang diterapkan nantinya. Hal ini disebabkan kedua belah telah mencapat kesepakatan. Permasalahannya kemudian adalah tidak semua anak memiliki kapasitas memecahkan masalah yang sama. Ada yang berasal dari jeluarga broken home, ulama, minoritas maupun mayoritas, kaya, miskin. Belum lagi permasalahan seperti pubertas dan pendidikan seks. Hal-hal seperti inilah yang harusnya diantitispasi oleh system pendidikan kita. Tidak hanya mendidik secara akademik, tetapi juga proses mental dan interaksi si anak untuk membaur ke dalam masyarakat.

Adakalanya seorang anak yang sangat pintar/jenius malah berprestasi rendah dalam tataran akademik diperlakukan sama dengan anak lain yang nakal dengan kapasitas akademik yang biasa saja. Semuanya diberlakukan rata. Adapun pihak yang terlibat dalam “menghukum’ mereka siapa lagi kalau bukan para guru BK. Image seoang guru BK sangat menakutkan bagi para siswanya. Mereka yang masuk kedalam ruangan tersebut identik dan terstigma sebagai anak yang nakal dan bermasalah. Jika masih belum tuntas maka permasalahan mereka akan dilanjutkan ke komite sekolah. System pemberlakuan pressure yang teramat tinggi kepada si anak, kalau tidak hati-hati bisa saja membuat kapasitas (otak) mengerucut. Seberapa banyak guru BK kita di Indonesia yang memang lulusan pendidkan sarjana?? Atau tidakkah seharusnya, tetuama sekolah-sekolah yang berstandar nasional/internasional sudah seharusnya mempekerjakan tim psikologi ke sekolah mereka?

Harus ada semacam pemikiran yang diubah bahwa tim konseling/psikolog bukan lagi hanya bagi murid-murid yang melakukan pelanggaran saja. Semua murid dan pelajar berhak mendapatkan hal yang sama terutama dari semakin kompetitifnya persaingan dunia kerja nantinya. Fungsi konseling tidak lagi hanya terpaku pada masalah yang sudah terjadi saja. Melainkan harus diubah menjadi tempat/fungsi untuk sharing dan motivasi belajar si siswa, selain permasalahan yang mereka hadapi tentunya. Tidak semua murid mendapatkan pencerahan dari orang tuanya tentang dunia sekolah mereka. Tidak semuanya pernah ditanya oleh orang tua bagimana sekolahnya hari ini??

Hal-hal seperti diatas muncul ketika para orang tua dan sistem keluarga juga sudah sibuk akan pola pembagian kerja dan sangat sibuk dengan dunia kerja mereka. Kalau situasinya sudah seprti ini, siapa lagi yang akan memberikan wejangan dan arahan kepada mereka. Wali kelas saja tidak cukup karena mereka juga dibebankan beban mengajar yang tinggi dan urusan tumah tangga masing-masing. Maka dari itu sudah sepantasnya pihak sekolah bahkan perguruan tinggi mulai menerapkan jasa psikolog dalam membantu pengenalan diri siswa mereka. Sudah bukan zamannya lagi pola-pola pendidikan yang keras dan mengancam diberlakukan terutama di zaman yang katanya sangat menjunjung tinggi asas demokrasi dan HAM .

Jangan sampai seorang murid baru merasa bimbang ketika akan memilih jurusan apa yang hendak dipilih tatkala mau ke perguruan tinggi atau perencanaan lainnya selain masuk ke PT. Pembekalah di sekolah menengah tekait potensi anak didik harus dikenali sejak dini, di bidang apa yang mereka sangat kuasai. Jangan ada lagi konstruksi dan pemilahan bahwa anak IPA itu jauh lebih pintah dari anak sosial, seni dan humaniora. Pola pikir seperti ini harus dimulai dihapuskan tetuama di pemikiran para orang tua sendiripun. Bayangkan saja betapa ruginya bangsa ini ketika ribuan bahkan puluhan tibu siswanya yan sangat kompeten dalm ilmu social, humniora serta seni terbuang begitu saja bakatnya ketika para orang tua masih meamaksakan kehendaknya untuk mengabil ilmu alam dengan alasan prestos, tradisi keluarga serta dipandang baik dalam masyarakat.

Keterbukaan pemikiran bahwa keprofesian yang baik tidak hanya berupa dokter, pengacara, akuntan sudah harus ditanamakan sejak dini melalui pembekalan konseling oleh pihak sekolah lewat tim konseling/psikolognya. Mengapa hal ini begitu penting?? Akan menjadi hal yang sia-sia nantinya, jika seorang mahasiswa berkutat selama 4 tahunan menekuni bidang yang dirinya sendiri tidak memiliki hasrat dan ketertarikkan yang tinggi. Kualitas lulusan seperti apa yang diharapkan dari perguruan tinggi nantinya? Belum lagi kondisi mental si mahasiswa yang drop akibat tekanan dari sana-sini.Tak heran pengangguran berjamuran, selain karena factor pertumbuhan ekonomi yang tidak gesit.

Selain itu, pengangguran juga disebabkan oleh belum adanya sinkronisasi antara kebutuhan pasar tenaga kerja dengan materi/kurikulum para lulusan perguruan tinggi. Lulusan perguruan tinggi tidak seharusnya diharapakan menjadi seseorang pekerja. Mereka yang bersekolah di institute atau sekolah tinggilah yang memikul beban tinggi menjadi para pekerja. Mereka yang menempuh pendidikannya di universitas harusnya diarahkan menjadi peneliti/researcher, HRD atau litbang, inisiator. Maka dari itu proporsi untuk meningkatkan presentase mereka yang ingin bersekolah di SMK harus terus ditingkatkan, begitu juga dengan politeknik dan sekolah tinggi lainnya. Bukan sebaliknya, mereka yang di universitas malah terlalu didesak menjadi pekerja di pabrik atau perusahaan. Hal ini akan berkonsekuensi pada kualitas kerja secara keseluruhan. Bisa dibayangkan tentunya efek domino dari salah asuh pola pendidikan sperti ini.

Oleh karena itu, menjadi sebuah hal yang tidak dapat diterima dan percuma, jikalau potensi seorang pelajar tidak terdeteksi sejak dini akibat pola ajar, pola pikir dan kurikulum yang terlalu mengandalakan kognitif belaka serta penanganan mental yang serampangan. Yang patut diingat kapasitas otak seseorang menurut penelitian daapt menurun dan juga meningkat. Jika ia dipaksa bekerja terhadap hal yang dia sendiri tidak kuasai dan tidak tertarik, apa jadinya output yang diinginkan nantinya. Merka akan menjadi lulusan yang kebingungan dan tidak konsisten. Mengambil kesarjanaan teknik, tetapi malah menggeluti manajemen bukannya memperdalami keilmuan dari kesarjananya agar menjadi seoraang ahli. Ini semua tak ayal terjadi karena tuntutan pasar yang bisa saja tidak mengakomodasi bakat si siswa sehingga mengharuskan dirinya menyesuaikan dengan ilmu yang sebenarnya tidak ia kuasai dengan baik. Bukankah hal ini menjadi ironi??

Maka dari itu, selain menyediakan tim psikolog yang mumpuni kemampuan menghasilkan kualitas siswa yang berprestasi harusnya juga dibarengi dengan kualitas pendidkan para gurunya. Berbagai macam isentif telah dikelaurkan untuk memicu para guru untuk meningkatkan performanya. Akan tetapi yang lebih penting adalah pengangkatan kembali betapa prestisiusnya jabatan seorang guru yang memudar pamornya belakangan ini. Hal ini tentunya berpengaruh pada minat para siswa untuk mendalami pendidkna ilmu guru/pendidikan. Mereka yang bersekolah di sekolah unggulan, jangan saja dididk hanya menjadi para teknisi atau peneliti, tetapi mulai diarahakan untuk menyenangi profesi guru. Agar mereka yang memasuki universitas prodi ilmu pendididkan bukan saja diiisi oleh mereka lapis tiga atau lebih rendah lagi. Hal ini disebabkan pamor dan passing grade jurusan ilmu pendidikan bisa dikatakan rendah dan tidak dilirik oleh siswa berprestasi tinggi.

Jelaslah perencanaan masa depan bukanlah perihal yang mudah. Salah satu komponen tidak sinkron dan bersinergi maka hasilnya juga tidak jelas dan tidak menghasilkn pendidikan yang mencerahkan dan tak mampu mendongkrak kehebatan Indonesia di mata internasional.