Selasa, 04 Januari 2011

Teknologi dan Paranoia : Full Body Scanners at Airport

Teknologi dan Paranoia : Full Body Scanners at Airport

Pernahkah anda mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan selama di bandara? Terutama di keberangkatan internasional?? Pengalaman paling pahit yang saya alami hanya disuruh membuang botol air minum milik saya. Ini masih belum seberapa jika dibandingkan bagi anda memiliki nama yang berbau Arab/Islam , mempunyai jenggot yang lebat, dsb, anda akan dibuat “berlama-lama” di bandara untuk diinterogasi lebih jauh. Salah seorang guru saya ketika sekolah dulu pernah mengalami pemeriksaan yang berlebihan ini. Sedkit mitip dengan yang dialami Shahrukh Khan dalam My Name Is Khan.

Pemeriksaan yang berlebihan bukan mucul tanpa sebab tentunya. Sejak aksi terorisme 11 September wajah dan kebijakan negara-negara di dunia termasuk di Indonesia mengalami perubahan drastis yang berdampak pada pola konstruksi dan pencirian sebuah indentitas (baca islam) menjadi sorotan tajam. Kebijakan dan aturan yang pada tahun-sebelumnya belum pernah ada, sekarang menjelma dengan begitu ketatnya. Ketakutan yang berlebihan akibat pemberitaan media massa yang sangat exposure terkait terorisme dna laporan badan intelijen membuat kebijakan negara-negara terutama negara maju sangat radikal dalam mengamankan negaranya. Hal ini memicu pada perkembangan teknologi yang massive yang digunakan di tempat-tempat umum, mulai dari CCTV, screening di bandara yang termat ketat, dll.

Dalam kajian kemanan global kita mengenal isitilah containment (pengurungan/pengepungan), yang berarti : aksi yang dilakukan melalui peningkatan keamanan di tempat publik terutama di jalur transportasi antar negara seperti bandara dan stasiun kereta api, dengan tujuan mencegah aksi serupa terjadi lagi. Hal ini membawa konsekuensi pada ketidaknyamanan yang dirasakan oleh warga negaranya sendiri akibat paranoid yang berlebihan dari penyenlenggara negara dalam memaksimalkan pengamanan bagi national securitynya. Contoh :pengamanan ekstra ketat di bandara-bandara AS dan Israel. Aksi ini dilakukan sebagai rekasi pemerintah dalam menyikapi aksi kekerasan politik oleh actor non-negara.

Dalam hal ini kita akan memfokuskan pada full body scanners yang mulai diterapkan di bandara-bandara di AS dan beberapa bandara utama di dunia (baca : http:/ /consumerist.com/2010/09/updated-list-of-full-body-scanners-at-airports.html). Teknologi ini selain berbiaya mahal sekitar 170 ribu dollar AS ini terbukti memang sangat gamblang dalam memeriksa keamanan para penumpang dalam menyembunyikan berbagai macam senjata tajam, peledak, dll dalam bentuk dan ukuran apapun sampai bisa menyensor ke dalam tubuh si penumpang untuk mengecek bebagai macam benda yang mencurigakan. Dalam satu sisi, teknologi ini memang sangat meminimalkan terjadinya berbagai macam bentuk serangan teorisme aksi brutal yang membahayakan keamanan semua orang.

Akan tetapi, penggunaan teknologi ini oleh TSA (Transportation Security Administration) di AS menimbulkan complain bahkan bebrapa telah mengajukan lawsuit ke Departement of Justice (baca : Error! Hyperlink reference not valid. ). Penggunaan teknologi dianggap sangat melecehkan martabat manusia dan sangat sensitive terkait masalah moral dan etika. Setiap penumpang yang dicek dengan teknologi ini harus menanggalkan bajunya (hanya menyisakan pakaian dalam) ketika diperiksa. Bayangkan saja, betapa lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melepas pakaian tersebut dan memasangnya kembali. Belum lagi terkait pelanggaran privasi di tempat umum. Tentu tidak semua orang nyaman mempertontonkan bentuk tubuhnya terhadap orang yang mereka tidak kenal sama sekali (para penjafga) Apalagi bagi wanita dalam balutan pakaian musim dingin tentunya?

Ini belum termasuk jika mereka memeriksa wanita muslim yang berjilbab. Dan jelas, para penganut muslim lah yang menjadi target utama pemriksaan ini. Pertentangan mempertotntonkan aurat dengan aturan akibat stigma yang terlanjut melekat pada mereka sungguh menjadi pilihan yang dilematis. Belum lagi jika anda memiliki cacat tubuh atau adanya bagian tubuh yang tidak nyaman untuk dipertontonkan (luka operasi) atau mereka ygn memiliki penyakit psikis terkait bentuk tubuh. Lalu bagiamana dengan kaum transeksual yang memakai penis prostetik misalnya?? Ditambah lagi hasil screening ini sangat jelas mempertontonkan bentuk anatomi termasuk (alat vital) para penumpang. Peralkuan semacam ini kendati ditujukan untuk keamanan nasional dan global ternyata menimbulkan permasalahan pelik terkait moralitas, etika, dan privasi warga Negara.

Tak selamanya teknologi membuat kita menjadi efektif, praktis, dan mudah, setidaknya dalam proses awal. Teknologi yang seharusnya ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat umumnya ternyata malah menimbulkan ketidaknyamanan yang sangat mengguncang keyakinan (bagi beberapa identitas). Ironi memang, ketika kita menciptakan ketakutan dan konstruk, kemudian menciptakan teknologi untuk mengatasi ketakutan tersebut hasilnya malah menimbulkan ketidaknyamanan akibat ketakutan yang diciptakan tersbut. Tentu teknologi yang ramah etika/moral bukan hal yang mustahil bukan??


Tidak ada komentar: