Jumat, 11 Juni 2010

NSIDEN CHEONAN DAN STABILISASI KAWASAN SEMENANJUNG KOREA

INSIDEN CHEONAN

DAN STABILISASI KAWASAN SEMENANJUNG KOREA

Gorae ssaum ae saewoodung tuhjinda ( Dalam perkelahian dua ikan paus, punggung seekor udang meledak). Dan, dua Korea adalah udang yang siap meledak kapan saja.

(Rene L.Pattiradjawane)

Kronologis Insiden Cheonan

Pada 26 Maret 2010 sebuah Korvet Angkatan Laut dengan 104 awak kapal sedang patroli rutin di perairan dekat perbatasan Korea Selatan dan Korea Utara. Tiba-tiba saja terjadi ledakan dahsyat di buritan. Mesin kapal perang itu nyaris terbelah dua dan tenggelam. Kapal pemburu dan penghancur Korea Selatan yang terbelah dua dan tenggelam ini bernama Cheonan. Cheonan sendiri memiliki arti perdamaian surgawi, memiliki karakter kanji yang sama seperti Gerbang Perdamaian Surgawi Tiananmen, Beijing, China.

Korea Selatan mengutarakan kapalnya, Cheonan, ditenggelamkan oleh serangan torpedo Korea Utara Maret lalu. Sementara, Pyongyang membantah tuduhan tersebut. Ketegangan meruncing di kawasan sejak Cheonan tenggelam tanggal 26 Maret dan menewaskan 46 angkatan laut Korea Selatan. Kapal korvet Cheonan dinyatakan tenggelam ditorpedo Korut berdasarkan hasil penyelidikan secara ilmiah oleh tim gabungan Korsel, AS, Swedia, Australia, Kanada, dan Inggris. Kesimpulannya[1],

1. Cheonan tenggelam akibat ledakan bubble jet dari torpedo CHT-02D milik Korut meledak tanpa kontak ke korvet itu.

2. Cheonan kelas Pohang diyakini ditorpedo kapal selam Korut di perairan dekat Pulau Baengnyeong.

3. Kesimpulan investigasi sudah menyatakan bahwa torpedo tersebut berasal dari kapal selam Korut kelas Yeono.

4. Namun, keseluruhan proses tenggelamnya kapal korvet Cheonan masih belum jelas. Korut selama ini diduga memiliki 22 kapal selam patroli, 29 kapal selam penjaga pantai, dan 20 kapal selam mini (midget).

Korea Utara menampik semua tuduhan terlibat dalam penembakan kapal patroli Korea Selatan. Pada 28 Mei 2010,Komisi Pertahanan Nasional, yang menjadi badan politik terpenting Korea Utara, untuk pertama kalinya mengadakan konferensi pers, dimana mereka menyanggah semua tuduhan.Direktur bagian politik pada Komisi Pertahanan Nasional menyatakan, tuduhan Korea Selatan sangat berat, sehingga perang bisa pecah kapan saja.

Sebaliknya, harian-harian Korsel melaporkan bahwa bukti-bukti keterlibatan Korut sudah begitu jelas[2]. Tidak lama setelah pengumuman penyebab tenggelamnya Cheonan, Menlu AS Hillary Clinton segera terbang ke Jepang, China, dan Korsel untuk mencari dukungan agar Korut dikenai sanksi internasional melalui resolusi Dewan Keamanan PBB. Sanksi ini menjadi amunisi baru bagi AS memaksa Korut kembali ke meja perundingan untuk membahas masalah persenjataan nuklir yang dimilikinya.

Kemungkinan pecah perang baru antar Korea kembali menjadi kekhawatiran dunia. Ditambah lagi, Korut memiliki senjata nuklir sebagai pemusnah massal dan rezim di Pyongyang bisa melakukan tindakan tidak terduga. Insiden ini dipastikan akan menjadi pemicu konflik terbuka bila Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi memberikan sanksi kepada Korut yang mengatakan akan membalas aksi unilateral yang dipelopori AS, Jepang, dan Korsel ini..

Stabilisasi Kawasan Semenanjung Korea “Memanas” Kembali

Ketegangan yang terjadi di Semenanjung Korea sebenarnya tidak terlepas dari warisan sejarah yakni perang Dingin yang meninggalkan ceceran nuklir di berbagai kawasan. Penjatuhan sanksi dan ujicoba militer justru hanya semakin memperburuk situasi keamanan kawasan, munculnya wacana kemungkinan peperangan di Semenanjung Korea.

Kompeksitas kepentingan antar kepentingan di negara Semenanjung Korea jelas sekali terlihat. Kendati system internasional tidak lagi serigid ketika Perang Dingin berlangsung,dimana tampak jelas ada blok barat dan bok timur, tetapi isu “serupa” tampaknya masih bersemayam di Semenanjung Korea sekarang ini, tetapi dalam bentuk yahng lebih “cair”. Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang menjadi sekutu di kawasan tersbut. Dilain pihak ada China, Rusia, dan Korut. Meskipun China dan Russia tidak sepenuhnya berseberangan dengan AS dan sekutunya, tetapi mereka lebih dekat ke Korut. Korut seakan menjadi perebutan dalam menunjukkan eskalasi hegemoni di kawasan tersebut. China dan Russia lebih mengutamakan dialog ketimbang ancaman sanksi dan embargo bagi Korut (terkait Insiden ini). Kendati Korut juga terkadang menunjukkan sikap serampangan pada kedua Negara tesebut, tetapi secara keseluruhan mereka masih berada dalam satu kubu yang “cair”.

Kompetisi seakan menjadi hal yang tak terelakkan ketika masing-masing negara semakin mengembangkan powernya yang berdampak pada munculnya rasa takut dan ancaman bagi negara lain. Selain itu, sesuai dengan asumsi Realis modern yang menekankan bahwa dibawah sistem yang anarki, penting bagi negara untuk percaya pada diri sendiri, dengan gaya yang berpusat pada diri sendiri.

Banyak pihak yang berasumsi, terutama pakar militer dan keamanan mengatakan Insiden Cheonan bisa jadi hanya dalih bagi AS untuk kembali menjerat Korut untuk kembali ke meja runding demi tercapainya penutupan stasiun nuklir mereka. Insiden Cheonan dinilai aneh dan ganjil bagi beberapa kalangan karena kapasitas militer Korut yang mustahil untuk meledakkan dan menenggelamkan kapal canggih buatan Korsel. Hal ini disebabkan karena kapal buatan Korut umumnya adalah kapal tua buatan tahun 80-an. Hal ini kontras dengan kapal korsel yang dilengkapi teknologi canggih sehingga tak mungkin bagi kapal secanggih Cheonan tidak mampu mendeteksi keberadaaan kapal Korut tersebut. “Banyak yang menyamakan motif AS di Korut ini dengan insiden kapal perusak Angkatan Laut AS, USS Maddox, di Teluk Tonkin[3].

Selain itu, insiden tembakan yang terjadi di perairan perbatasan juga tampak janggal. Asumsipun bermunculan bahwa kapal AS yang melakukan latihan bersama dengan Angkatan Laut Korsel lah yang secara tidak sengaja menenggelamkan Kapal Cheonan. Hal ini semakin diperkuat karena hasil investigasi yang dilakukan oleh Korsel dikerjakan besama sekutu mereka yang tak lain antek-antek AS, seperti Australia, Inggis, Kanada dan AS sendiri. Sedangkan tim dari Russia tidak mau berasumsi dulu dan lebih mengutamakan hasil investigasi yang komprehensif.

Ini seakan membenarkan asumsi realis bahwa dengan tidak adanya struktur yang lebih tinggi dalam sistem, negara pun secara struktural tidak aman dalam menciptakan perlindungan, karenanya kekuatan militer untuk menanggulangi kemungkinan ancaman menjadi bentuk kekuatan yang paling vital. Kompetisi meningkat dengan fakta bahwa ketika suatu negara memperluas power-nya untuk menjadi lebih aman, ketakutan-ketakutan dari negara lainnyapun meningkat (security dilemma), bahwa dalam mengambil tindakan untuk menjaga keamanan, suatu pemerintahan (atau aktor lainnya) justru menciptakan reaksi-reaksi yang mengurangi keamanannya.

Belajar dari sejarah konfrontasi yang dialami oleh Amerika Serikat, penjatuhan sanksi, isolasi dan resolusi kepada pihak-pihak yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional AS justru semakin memperburuk eskalasi konflik dan tidak menurunkan eskalasi konflik tersebut, pelajaran konfrontasi AS dengan RRC, Uni Sovyet, dan hingga saat ini yang masih berlangsung dengan Iran, Kuba, dan Korea Utara ternyata penjatuhan sanksi, isolasi dan resolusi tersebut belum mampu mengakomodir kepentingan AS.

Tak dapat dipungkiri, AS memang menjadi penggerak bagi percepatan terjadinya stabilisasi kawasan Korea Peninsula. Hanya saja dengan situasi domestic dan kondisi ekonomi yang masih carut marut membuat AS tidak “senafsu” ketika menginvasi Irak dan Afganishtan. Upaya yang dilakukan AS dari dulu adalah berupaya melalui pembicaraan diplomatic dan embargo ekonomi. Akan tetapi, ini juga sukar karena China dan Russia juga sedang membangun diri menjadi pemain utama dunia terutama di kawasan Semenanjung Korea. Insiden ini bisa semakin menjauhkan AS dari Korut dan sebaliknya semakin mendekatkan hubungan Korut-China-Russia.

Selain itu Jepang di satu sisi juga semakin membutuhkan kekuatan militer dalam menangani permasalahan ini dalam melindungi national security mereka. Kekalahan PD II membuat Jepang kehilangan armada angkatan bersenjatanya. Sehingga sengan semakin serampangannya Korut mencoba senjata nulkirnya membuat Jepang semakin terancam. Dan belakangan keinginan untuk dibentuknya kembali kekuatan pertahanan bagi Jepang menjadi isu yang telah mengemuka di muka public selain usulan menjadi anggota tetap DK PBB, demi mengembalikan kejayaaan Jepang serta memberikan ancaman bagi Korut.

Sedangkan China, jelas tidak tampak “murka” atas insiden ini. China juga tidak menhendaki kawasan Semenanjung Korea menjadi kawasan aliansi pendukung AS. Seperti yang diutarakan oleh Peter Beck “Pyongyang tahu Beijing tidak akan meninggalkan mereka meskipun mereka jelas-jelas bertindak provokatif[4]." Korea Selatan, Jepang sudah cukup bagi China menjadi penghalang dalam hegemoninya di kawasan tersebut. Belum lagi sanksi yang berlebihan bisa memicu reaksi yang tak terprediksi dari Kout yang jelas sekali akan menganggu pertumbuhan ekonomi China di kawasan. Oleh karena itu sampai sekarang, China dan Russia masih bisa dikatakan sebagai dua Negara yang belum seratus persen percaya atas hasil penyelidikan dari Korea dan antek-anteknya. Russia sendiri juga telah mengatakan masih meragukan hasil penyeldikan tersbut. Maka dari itu, China termasuk Negara yang belum mau terlibat langsung dalam pertentangan antara kedua Korea tersebut[5].

Walaupun China acap bermasalah/berang terkait arus pengungsi ekonomi dari Korut ke China, dukungan China dan Russia atas Korut jelas untuk menghalangi terbentuknya upaya “westernisasi” Semenanjung Korea yang sangat liberal sehingga akan mengancam dominasi dan perkembangan Rusia serta China di kawasan. Dan perdana Menteri China Wen Jiabao pada lawatannya dalam KTT Asia Timur menyatakan “Tugas penting saat ini adalah bagaimana menghentikan dampak kasus Cheonan, mengganti situasi ketegangan, dan menghindari konflik[6].”

Berbagai upaya pendekatan bilateral yang dilakukan terhadap Korea Utara seperti yang dilakukan AS dan Korea Selatan ternyata masih belum mampu meminimalisasi ketegangan di kawasan ini. Sikap Korea Utara yang kerap kali membangkang dari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati membuat penyelesaian isu ini tidak pernah mengalami perkembangan yang signifikan. Situasi internasional, pasca tragedi 11 September menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi meningkatnya ketegangan perihal isu ini[7].

Dan, relik Perang Dingin di Semenanjung Korea kembali bergerak ke pola lama, dimulai dengan ancaman program persenjataan nuklir Korut, potensi konsekuensi stabilitas kawasan Asia dan kebijakan luar negeri AS untuk bisa bercokol di Asia, hingga dampak yang ditimbulkan atas upaya rekonsiliasi inter-Korea. Seperti yang diutarakan kaum Realis, komponen utama kekuatan politik adalah kekuatan militer. Distribusi power mengendalikan perilaku negara-negara. Pemerintah bekerja keras untuk secara akurat membantu distribusi power dan memahami implikasinya bagi perilaku mereka, serta mempertahankan distribusi yang pantas dan tepat bagi keamanannya.

Terkait Insiden Cheonan, saya meragukan AS akan melakukan invasi karena dampaknya yang tak kepalang tanggung. Begitu juga halnya dengan sanksi DK PBB bakal sulit terjadi berhubung hasil investigasi yang cenderung “bermotif politik”. Hal ini diakibatkan perimbangan kekuatan di kawasan yang mulai merata sehingga ada kemungkinan menghindari pertikaian (detterence).

Referensi

Patrick Morgan.2009.Security in International Politics: Traditional Approach dalam Allan Collins,Contemporary Security Studies.Oxford:Oxford University Press. Hal 13-34

Peter Kujath / Marjory Linardy. 2010. Penanganan Cheonan Penting bagi Asia Timur Laut. Diunduh melalui http://www.dw-world.de/dw/ article/0, ,5632092,00.html. [Dikases pada 2 Juni 2010]

Rene L.Pattiradjawane. 2010. Cheonan Ditorpedo AS atau Korsel. Diunduh melalui http://internasional.kompas.com/read/2010/05/31/06315567/Cheon- an.Ditorpedo.AS.atau.Korut. [Diakses pada 2 Juni 2010]

2009. Quo Vadis Six party talks. Diunduh melalui http://umum.kompasiana. com/2009/06/03 /quo-vadis-six-party-talks/. Diakses pada [2 Juni 2010]



[1]Lihat http://internasional.kompas.com/read/2010/05/31/06315567/Cheonan. Ditorpedo. AS . atau.Korut. Rene L.Pattiradjawne. 2010. Cheonan Ditorpedo AS atau Korsel [Diakses pada 2 Juni 2010]

[2] Harian Chosun llbo memberitakan bahwa pecahan baling-baling torpedo yang ditemukan dekat lokasi insiden sama persis dengan baling-baling torpedo Korut yang diperoleh Korsel tujuh tahun lalu."Nomor seri baling-baling itu ditulis dengan huruf yang biasa dipakai di Korut. Sisa bahan peledak di pecahan torpedo itu juga mirip dengan bahan peledak milik Korut," tulis Chosun llbo. Harian Dotg-a llbo memaparkan bahwa penembakan torpedo dilakukan sebuah kapal selam Korut yang berbobot 85 ton. Itu didasarkan kepada data intelijen tentang pergerakan kapal selam dan analisis rekaman komunikasi Korut. Lihat http://bataviase.co.id/node/218976 dengan judul “ Insiden Cheonan Ulah Korut”.

[3] Pada 2 Agustus 1964, Washington mengumumkan, ada tiga kapal torpedo Vietnam yang memprovokasi dan menyerang USS Maddox dan insiden Teluk Tonkin ini menyebabkan Presiden AS Lyndon B Johnson mendapat dukungan Kongres AS untuk meningkatkan intervensi militer AS di Vietnam.

[4]China yang merupakan donatur terbesar untuk Korut ingin mengurangi tingkat ketegangan di Semenanjung Korea tanpa terkesan menghukum rezim Pyongyang. Intinya adalah Pyongyang tahu Beijing tidak akan meninggalkan mereka meskipun mereka jelas-jelas bertindak provokatif," kata analis Korea dari Stanford University Peter Beck Lihat http://bataviase.co.id/node/192699. China-Korsel bahas Insiden Cheonan. Diakses pada 2 Juni 2010.

[5]Daniel Pinkston, analis International Crisis Group, di Seoul menyatakan kecil kemungkinan China akan langsung menengahi pertentangan kedua negara Korea. Soalnya keterlibatan seperti itu bisa membahayakan kepentingan nasional China sendiri. "China tidak ingin ada Korea yang bersatu di perbatasannya, sebuah Korea yang bersekutu dengan Amerika Serikat," kata Pinkston. "China yakin perselisihan antar-Korea ini akan segera berakhir. Lihat http://bataviase.co.id/node/192699.

[7]AS mengkhawatirkan kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara tanpa adanya pengaturan dan pengawasan mampu mengarah kepada kepemilikan senjata nuklir oleh kelompok-kelompok teroris Korut ditetapkan oleh AS ke dalam daftar sebagai negara yang mensponsori kegiatan kelompok teroris sehingga meningkatnya ketegangan antara Korea Utara dan Amerika Serikat semakin mempersulit upaya penyelesaian krisis ini dan diperburuk dengan keluarnya Korea Utara dari NPT pada tahun 2003. Siapapun yang tidak patuh terhadap rezim nuklir dunia dianggap mampu menyuburkan gerakan-gerakan terorisme global dan perlombaan senjata seperti di kawasan Asia Timur.

Tidak ada komentar: