Jumat, 11 Juni 2010

KRISIS SUEZ (1956)

Krisis Suez (1956)

Seperti yang kita ketahui isu kemanan tradisonal tidak terlepas dari perkara isu-isu high-politics, yang didominasi oleh isu militer, politik dan kemanan.serta sangat mengedepankan Negara sebagai actor yang paling signifikan dalam membentuk keamanan global. Selain itu area of coverage tidak hanya melibatkan hubungan bilateral atau regional saja tetapi sudah pada konteks global. Dan krisis Suez pada 1956 merupakan contoh dari eksplanasi diatas. Sebuah krisis yang kompleks yang pernah terjadi di Timur Tengah, tetapi melibarkan actor Negara dari benua lain, mulai dari Eropa sampai Amerika Serikat yang berujung pada invasi/perang di kawasan tersebut.

Ada beberapa dugaan kenapa krisis ini bisa terjadi. Hal yang paling mengemuka diantaranya adalah Krisis Suez ini merupakan sebuah bentuk pergulatan kepentingan antara AS dan Inggris untuk mengontrol terusan Suez yang memiliki arti penting dalam jalur perdagangan. Selain itu adanya titik temu kepentingan nasional antara Inggris, Perancis, Israel dalam menjatuhkan dominasi dan pengaruh Nasser di kawasan Timur Tengah. Prancis berusaha tetap menjaga dominasi atas kolonialnya di Afrika Utara. Sedangkan Israel ingin membuka kembali pelayaran di Terusan Suez, setelah mereka diblok oleh negara-negara Arab pada perang Arab-Israel 1948. Gemercik kekisruhan krisis Suez sudah mulai terasa setelah PD II dan terbentuknya Negara Arab-Israel. Akan tetepai, nasionalisasi terusan Suez lah yang menjadi katalis meledaknya perang di kawasan tersebut.

Terusan Suez memegang peranan penting bagi kepentingan ekonomi Inggris. Situasi ekonomi dan hegemoni Inggris semakin turun setelah PD II. Mereka butuh sumber daya ekonomi baru dan kembali menata daerah kolonialnya untuk memperbaiki situasi ekonomi mereka yang kacau balau ketika meletusnya PD II. Dan Terusan Suez yang dulunya pernah mereka kuasai, membuat Inggris ingin semakin memperkuat posisinya di Timur Tengah. Dan Irak dam Mesir merupakan Negara yang dapat membantu memperkuat pengaruh Inggris di Timut Tengah. Namun, pemerintah Mesir mencabut Anglo-Egyptian Treaty of 1936, yang menandakan berakhirnya kekuasaan Inggris selama 20 tahun menguasai Terusan Suez. Disebakan Inggris tidak ingin menarik pasukannya dari Mesir, sehingga menimbulkan berbagai macam bentrok antara Mesir dan Inggris. Hal ini terus berlanjut ketika 1952, pasukan Inggris menyebabkan terbunuhnya 41 orang warga Mesir. Semangat anti-Barat semakin menguat yang menyebabkan tewasnya 11 warga Inggris di Mesir. Kejadian demi kejadian semakin mempercepat kejatuhan Raja Farouk yang merupakan antek-antek Inggris di Mesir.

Sedangkan AS memandang Mesir sebagai sekutu yang dibutuhkan dalam menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah. Melalui CIA, AS merekayasa sebuah kudeta untuk menjatuhkan Raja Farouk pada 1952. Kemudian AS menempatkan sekelompok perwira yang dipimpin Gamal Abdul Nasser ke tampuk kekuasaan. ‘CIA membutuhkan seorang pemimpin kharismatik yang akan mampu mengalihkan sikap Anti Amerika yang semakin meningkat di wilayah tersebut.’ Ia menjelaskan, baik CIA dan Nasser memiliki kesepahaman soal Israel. Ia menempatkan prioritasnya pada pendudukan Inggris di kawasan Terusan Suez. Ketika Mesir dipimpin oleh Nasser, pertentangan antara Nasser dan Inggris terus berlanjut sehingga semakin mempersulit kepentingna Inggris di Timur Tengah dan Mesir khususnya. Mulai dari 1955-1956, Nasser banyak sekali mengeluarkan kebijakan yang membuat frustrasi Inggris di Timur Tengah. PM Inggris saat itu, Anthony Eden, sampai menyebut Nasser sebagai dikatator. Gagalnya Pakta Baghdad membuat posisi Inggris di Timur Tengah semakin melemah. Inilah kesempatan AS memperkuat kekuatannya di Timur Tengah. AS yang pada saat itu dipimpin Eisenhower, hanya memiliki teman dekat di Timur Tengah melalui Arab Saudi.

Akan tetapi,gerakan dan kebijakan Nasser yang bekejasama dngan Cekoslowakia terkait penjualan senjata cukup membuat ketidaksukaan bagi AS. Semuanya berubah ketika Mesir dibawah Nasser memulai hubungan dengan China dan mengakui Negara China, sedangkan pada saat itu AS sedang giat-gitanya mendukung Taiwan. Hal ini membuat AS marah dan akhirnya menarik dananya dari proyek pembangunan Bendungan Aswan. Nasser langsung memberikan respon terhadap situasi ini, dengan menasionalisasi Terusan Suez pada Juli 1956. Saham-saham para pemegang saham sebelumnya, semuanya dikembalikan oleh Mesir sesuai dengan harga penutupan saham di Bursa Saham Prancis.

Ada empat komponen utama dari keamanan menurut kaum Realis : melihat negara selalu disibukkan dengan urusan keamanan fisik,negara diasumsikan selalu berhubungan dengan masalah otonomi,menggunakan pembangunan nasional sebagai suatu alat untuk menjaga dan memperkuat otonomi dan keamanan negara, menganggap aturan sebagai sesuatu yang penting, aturan sebagai alat. Tampak sekali baik Inggris dan Amerika Serikat maupun Mesir bersikeras memiliki motif kuat dibalik tindakannya. Mesir sangat jelas mementingkan kemaanan fisik negaranya dari seragnan atau ancaman dari negara luar. Mesir tahu sekali bahwa Terusan Suez dapat menjadi asset dalam pembangunan nasional mereka dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya sekaligus memperkuat posisi tawar-menawarnya di Timur Tengah.. Maka dari itu, Nasser tanpa sungkan menasionalisasi terusan ini. Begitu juga halnya dengan AS dan Inggris yang melihat Terusan Suez sebagai alat untuk memperluas pengaruh mereka di kawasan Timur Tengah terutama dalam perihal ekonomi yang pastinya akan memperkuat sector militer mereka. Kita bias lihat betapa susahnya untuk bekerjasama ketika antara Inggris, AS dan Mesir tampak mencari dukungan negara lain untuk semkain memperkuat posisi mereka di kawasan. Kendati AS secara implisit mendukung Mesir, Mesir bersikap sebaliknya. Dia mejalin hubungan dengan RRC dan Uni Sovyet sehingga menimbulkan kegeraman bagi AS. Rendahnya tingkt bekerjasama dan saling keprcayaan ternyata berbuntut panjang di kemudian hari.

Tiga bulan setelah nasionalisasi Terusan Suez, sebuah pertemuan rahasia diselenggarakan di Sevres, di luar Paris antara Inggris, Perancis, dan Israel. Kepentingan dari pihak.kelompok ini beragam. Inggris sangat khawatir kehilangan akses ekonomi dan militer yang berdampak pada “kerajaan” mereka. Nasionalisasi Terusan Suez jelas memberikan pukulan keras bagi ekonomi Inggris dan kekuatan militer mereka di kawasan Timur tengah. Semenjak pemerintah AS tidak mendukung tindakan Inggris, maka pemerintah Inggris meneruskan melakukan intervensi militer melawan Mesir demi menghindari runtuhnya perekonomian Inggris kala itu. Hanya saja , jika Inggris melakukan aksi intervensi secara langsung, hal ini terlalu mengandung risiko tinggi dan merusak hubungan Barat-Arab. Maka dari itu, pemerintah Inggris melakukan pakta militer rahasia dengan Prancis dan Israel yang bertujuan untuk meningkatkan kembali kontrol atas Terusan Suez.

Prancis juga khawatir dengan pengaruh Nasser di Timur Tengah dan khususnya di Afrika Utara, dimana banyak koloni Prancis berada. Baik Inggris dan Perancis ingin sekali terusan ini tetap terbuka bagi saluran minyak. Israel ingin membuka terusan ini kembali bagi pelayaran kapal-kapal Israel. Selain itu juga, Israel melihat peluang untuk memperkuat daerah perbatasan selatannya serta memperlemah seperti apa yang digambarkan sebagai negara berbahaya..Disnilah letak dari miskalkulasi Inggris, yang beranggapan bahwa AS akan bergabung dengan aliansi mereka. Inggris sangat berkeyakinan dengan dekatnya hubungan Nasser dan komunis akan membuat AS terbuka dan menerima pinangan aliansi mereka. Dan pada kenyatannya itu tidak terjadi sama sekali. Kelompok ini setuju jika Israel akan menginvasi Semenanjung Sinai. Sedangkan Inggris dan Prancis akan mengintervensi kemudian dengan memisahkan pertempuran antara Israel dan Mesir, untuk kemudian menginstruksikan keduanya menarik pasukan hingga 16 km dari tepi Terusannya. Inggris dan Prancis kemudian beranggapan bahwa control Mesir atas rute yang ada sangat lemah, dan untuk itu perlu digantikan oleh manajemen Inggris-Prancis (Anglo-French).

Kompetisi menjadi hal yang tak terelakkan ketika masing-masing negara semakin mengembangkan powernya yang berdampak pada munculnya rasa takut dan ancaman bagi negara lain. Hal inilah yang dipikir oleh Inggris, Perancis, dan Israel dan juga Amerika Serikat melihat nasionalisasi terusan Suez sebagai bentuk aktualisasi Mesir dalam meningkatkan kapasitas powernya. Selain itu, sesuai dengan asumsi Realis modern yang menekankan bahwa dibawah sistem yang anarki, penting bagi negara untuk percaya pada diri sendiri, dengan gaya yang berpusat pada diri sendiri. Dengan tidak adanya struktur yang lebih tinggi dalam sistem, negara pun secara struktural tidak aman dalam menciptakan perlindungan, karenanya kekuatan militer untuk menanggulangi kemungkinan ancaman menjadi bentuk kekuatan yang paling vital. Kompetisi meningkat dengan fakta bahwa ketika suatu negara memperluas power-nya untuk menjadi lebih aman, ketakutan-ketakutan dari negara lainnya pun meningkat → security dilemma → bahwa dalam mengambil tindakan untuk menjaga keamanan, suatu pemerintahan (atau aktor lainnya) justru menciptakan reaksi-reaksi yang mengurangi keamanannya.

Bagi Realis, komponen utama kekuatan politik adalah kekuatan militer. Distribusi power mengendalikan perilaku negara-negara. Pemerintah bekerja keras untuk secara akurat membantu distribusi power dan memahami implikasinya bagi perilaku mereka, serta mempertahankan distribusi yang pantas dan tepat bagi keamanannya. Inilah yang dilakuan oleh Inggris, Perancis, dan Israel ketika mereka sepakat mendahulukan kekuatan militer untuk menyerang Mesir sebagai sebuah bentuk aliansi demi mencapai perimbangan kekuatan di kawasan teursan Suez. Dan pada akhirnya jalan peranglah yang diambil demi mengamankan power dan kepentingan nasional masing-masing. Kendati demikian tindakan sepihak dari ketiga Negara mendaapt tantangan keras di Majelis Umum PBB dan para anggota DK PBB. Setelah Israel menusai Sinai pada 5 november dengan bantan Inggris dan Perancis, kecaman terhadap tindakan ketiga negara semakin keras. Setelah menempuh lobi dan desakan yang keras, akhirnya ketiga negara ini bersedia mundur dari Sinai dan digantikan dengan pasukan UNEF atas bentukan PBB demi mengamankan kondisi Sinai pasca perang.

Beberapa analis berpendapat bahwa suatu perang besar atau periode peperangan dibutuhkan untuk menciptakan suatu struktur kekuatan yang baru. Mungkin Krisis Suez tidak bisa dikategorikan perang besar seperti PD I dan II, tetapi dampaknya memang signifikan bagi stabilisasi kawasan Timur Tengah dan bagi Inggis sendiri. Pihak Arab semakin menyadari bahaya ancaman militerisme Israel. Sedang pihak Israel sendiri semakin enggan memberi konsesi, karena kejayaan militernya menjadi semakin keras dan semakin susah untuk diatasi. Bersamaan dengan itu, peristiwa Suez yang telah menjatuhkan penilaian dunia Arab terhadap Inggris dan Perancis, telah memperkuat posisi Uni Soviet di kawasan itu.

Amerika Serikat juga melancarkan tekanan finansial terhadap Britania Raya untuk mengakhiri invasi. Eisenhower memerintahkan George M. Humphrey untuk menjual bagian dari "US Government's Sterling Bond holdings". Pemerintah AS memegangnya sebagai bagian dari bantuan ekonomi terhadap Inggris setelah Perang Dunia II, dan pembayaran sebagian hutang Inggris kepada AS, dan juga bagian dari Rencana Marshall untuk membangun kembali ekonomi Eropa Barat. Arab Saudi juga memulai embargo minyak terhadap Britania dan Perancis. AS menolak membantu minyak bumi hingga Inggris dan Perancis setuju untuk mundur. Negara NATO lainnya juga menolak untuk menjual minyak bumi yang mereka terima dari negara-negara Arab ke Britania atau Perancis.

Krisis Suez merupakan bukti bahwa kompetisi (akibat system yang anarki) semakin membuat Negara meningkatkan kekuatan relative lainnya. Hal ini ditempuh melalui ekspansi militer dengan “force” dalam upaya meningkatkan dan mempeluas wilayah, ekonomi (kekayaan) serta populasi.

2 komentar:

ione mengatakan...

data dari mana nih kalo nasser di dukung oleh CIA ngarang aje sih kalo ada dari buku apa ?

BELAJAR BAHASA mengatakan...

keren