Jumat, 11 Juni 2010

MAKING GENDER A GLOBAL HEALTH PRIORITY

MAKING GENDER A GLOBAL HEALTH PRIORITY


Tantangan dalam ranah kesehatan global belakangan ini lebih banyak memberikan pengaruh bagi kaum perempuan. Permasalahan mengenai akses terhadap, informasi, pelayanan serta sumber daya kesehatan meningkatkan kerentanan perempuan terhadap berbagai macam penyakit. Maka dari itu, AS berupaya menjadi perintis dan menyusun berbagai strategi dalam mengatasi disparitas gender yang telah banyak mempengaruhi kondisi kesehatan pada taraf global. Perhatian yang besar dalam bidang kesehatan perempuan akan memberikan “pengaruh yang baik” bagi AS dalam strategi kesehatan global. Hal inilah yang menjadi salah satu kepentingan, daya tarik dan prioritas kebijakan luar negeri AS dibawah Presiden obama dan Menlu Hillary Clinton. Hal ini kontan saja mendapat apresiasi dari berbagai kalangan sehingga berdampak positif bagi citra AS dimata dunia. Jelas isu kesetaraan gender dalam kebijakan luar negeri AS merupakan hal yang patut disimak.

Untuk mengaplikasikan hal tersebut, pemerintah AS mengenalkan pendekatan dengan konsep Gender Lens, sebuah pendekatan yang memiliki dampak signifikan, menjangkau orang banyak,serta mampu memberdayakan tim pemerintah AS, prirotas kerja, evaluasi dan pengawasan sistem,alokasi dana serta kesepakatan diplomatik. Kesemua hal ini terakait satu sama lainnya. Selain itu, dengan adanya krisis global yang sedang terjadi semkain memperburuk kondisi disparitas gender bagi kaum perempuan. Oleh karena itu, AS bertekad menjadikan pendekatan gender sebagai prioritas utama dalam penanganan permasalahan kesehatan global.

What Is a Gender Lens?

Gender lens mengandung arti yaitu memberikan perhatian khusus terhadap kerentanan dan disparitas gender yang memberikan pengaruh terhadap kesehatan global. Pendekatan ini diharapkan mengurangi hambatan bagi perempuan dalam mengakses informasi, pelayanan serta sumber daya terkait masalah kesehatan. Pendekatan ini memungkinkan isu yang diangkat semakin luas dan spesifik sehingga lebih detail dalam menganalisis permasalahan gender. Maka dari itu dibutuhkan data yang lengkap terkait besarnya keluarga, tunangan, masalah kesuburan, kekuasaan, akses, serta peran perempuan dalam rumah tangga. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan membawa pada pertanyaan akan pengetahuan, akses, pengaruh pengambilan-keputusan. Issu seperti kekerasan yang terkait gender (gender-based violence), dapat menimbulkan dampak yang besar jika dilihat sebagai isu independen daripada sebuah kesatuan dalam strategi kesehatan global. Bahkan tak jarang intervensi aspek kesehatan yang pokok seperti imunisasi, suplemen nutrisi, kelambu (bed nets) untuk tidur bagi pencegahan malaria kerapkali gagal untuk menyadari dinamika geder yang berkontribusi terhadap risiko, tekanan, dan kerentanan.

Making gender a global health priority

Ada 4 komponen dalam menjadikan pendekatan gender sebagai priotiras dalam penanganan kesehatan global yaitu: kesehatan bayi dan keluarga berencana, penyakit infeksi, kekerasan yang berbasis gender, ketahanan pangan. Menangani permasalahan ini, pemerintahan Obama merekomendasikan tiga poin diantaranya:

• membutuhkan gender lens dalam perencanaan dan pengaplikasian program.

• mendukung kemampuan dalam meningkatkan dan memobilisasi sumber daya yang ada.

• koordinasi antara perwakilan pemerintah AS dan mengenalkan kepemimpinan global AS.

Adapun upaya untuk menjadikan gender sebagai prioritas utama kesehatan global, haruslah terlebih dahulu menentukan: tujuan yang ingin diraih, prioritas investasi, memilih tempat untuk pelkasanan program serta mengukur perkmbangannya. Keempat pertanyan inni akan memberikan inforasmi terkait skala dan struktur dalm penyuusnan strateginya sehingga akan diketahui ranaha apa yang paling diutamakan. Apakah politik, budaya atau agama. Oleh karena itu untuk menyukseskan dinutuhkan kerjasam antara pemerintha dan NGO terkait.

New Directions from the Obama Administration

Dalam pemerintahan Obama, terkait dengan isu wanita, didirikanlah sebuah dewan yang khusus menangani isu ini, yaitu White House Council on Women and Girls. Bahkan isu perempuan dimasukkan ke dalam salah satu pilar dari Global Health Iniative (GHI). Ini mencerminkan dibawah pemerintahan Obama dan Menlu AS Hillary Clinton, isu kesehatan Perempuan telah dimasukkan dan diakui sebagai bagian penting dari national security AS. Oleh karena itu, demi memaksimalkan program ini pemerintahan AS tak tanggung-tanggung mengucurkan dana yang teramat banyak dalam menangani isu kesehatan wanita ini yang tidak hanya dikucurkan di AS tapi juga dalam taraf global. Untuk permasalahan keluarga berencana dan kesehatan dan pencegahan kematian bayi, pemerintahan Obama mengucurkan dana sebesar 63 milyar dollar pada May 2009. Pada Juli 2009, Terkait masalah ketahanan pangan, AS menggelontorkan dana sbesar 20 milyar dollar. Sedangakan untuk pengatasan masalah gender-based violence, AS mengucurkan dana yang tidak sedikit sebesar 17 milyar dollar AS ke Kongo pada Agustus 2009. Dalam menjadikan penanganan kesehatan global yang berdasarkan gender, pemerintahan Obama turut bekerjasama dengan para advokat perempuan, NGO, Kongres.

Past U.S. Policy on Gender Equity and Global Health

AS sendiri telah lama menjadi pemimpin dalam penangan kesehatan global baik secara keuangan dan teknis di lapangan. Itu bisa dilhat adanya sebuah body dalam USAID yang bernama Woman In Development (WiD) didirikan pada 1998 yang menangani masalah kelahiran ibu dan kesehatan anak. Sedangkan Kongres membiayai semua hal yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak. Pada 1997, USAID mendirikan Inter Agency Gender working group (IGWG) yang bertugas membantu mempromosikan kesetaraan gender melalui KB, kesehatan, program makanan. IGWG merupakan gabungan dari berbagagi macam jaringan agensi yaitu USAID, NGO, kelompok advokasi, kelompok peneliti yang tertarik akan isu gender ini bagi kesehatan global.Selain itu juga USAIDS juga memasukkan issu gender ke dalam ADS (Annual Directive System), sebuah panduan resmi agensi terkait kebijakan dan operasional prosedur isu gender agar isu ini dimasukkan ke dalam dokumen resmi agar dijadikan proposal, program, dan tindakan langsung tehadap isu gender. Hal ini bertujuan melihat bagaimana gender berperan, memiliki norma dan sumber daya terhadap masyarakat sehingga mempengaruhi kesehatan pria dan wanita tentunya.

Selain itu juga ada The President’s Malaria Initiative (PMI), sebuah program lima tahunan yang telah dimulai sejak 2006 dengan anggaran sebesar $1.2 milyar, yang dirancang untuk mengurangi kematian akibat penyakit malaria di Sub-Sahara Africa hingga 50 persen. Program ini fokus pada penanganan kematian dan kesehatan ibu terhadap penyakit malaria. Target utamanya agar 85 persen wanita hamil dan anak dibawah 5 tahun hidup dalam kondisi yang jauh dari bahaya malaria dengan berbagai perlindungan diantaranya melalui penyemprotan. Selain PMI, ada lagi program pemerintah AS terkait penyakit AIDS yang bernama PEPFAR (President’s Emergency Plan for AIDS Relief), PEPFAR memberikan kemajuan dalam mengintegrasikan gender kedalam. Walaupun PEPFAR tidak mempertimbangkan gender sebagai isu prioritas pada tahap awal, tapi kemudian isu ini menjadi nyata dalam mencapai tujuannya dalam perihal pencegahan, pelayanan, serta perawatan dan memastikan kualitas dari program ini serta pelayanan yang berlandaskan gender dalam pandemi HIV. Berdasarkan Office of the Global AIDS Coordinator (OGAC) komitmen terhadap isu gender meningkat serta mengadopsi 5 strategi gender bagi pencegahan AIDS diantaranya: meningkatkan kesetaraan gender, memusatkan perhatian pada norma pria,mengurangi kekerasan dan paksaan seksual, meningkatkan perlindungan hukum terhadap wanita, dan meningkatkan akses terhadap pendapatan dan sumber daya produktif

Maternal and Child Health/Family Planning

Tingkat kematian ibu melahirkan masih sangat tinggi di beberapa kawasan di dunia. Yang paling tinggi terdapat di kawasan Sub-Sahara dan Asia Selatan. Adapun mayoritas dari kebanyakan kasus kematian ibu melahirkan sangat terkait dengan kemiskinan, minimnya akses kesehatan dan ketidaksetaraan gender. Sebagai perbandingan, tingkat kematian ibu melahirkan di Sub-Sahara mncapai 1 dari 30, di Asia Selatan dari 43 sedangkan di Swedia 1 dari 30 ribu orang. Tampak sekali pada kawasan ini kemajuan dari kesehatan ibu melahirkan menunjukkan perkembangan yang sangat lambat. Dan semakin disadari betapa pentingnya pendekatan gender dalam menangani isu ini. Adapun tingginya tingkat kematian ibu melahirkan menunjukkan ada “tiga keterlambatan” dalam proses melahirkan. Pertama, keterlambatan dalam mencari perawatan (tergantung dari keluarga), keterlambatan dalam menuju fasilitas kesehatan (infrastruktur transportasi), keterlambatan dalam menerima perawatan ( kelangkaan tenaga medis dan perlengkapan kesehatan).

Kesemua keterlambatan ini sangat terkait dengan permasalahan gender yang menghambat kemampuan wanita untuk memperoleh perawatan yang layak. Harus diakui faktor keluarga sangat berperan. Di Asia Selatan dan Sub-Sahara, 80 persen kelahiran dilakukan di rumah. Hal ini berdampak pada kerentanan keselamatan ibu melahirkan karena tidak dikawal dengan alat yang memadai dan tenaga ahli. Rendahnya perawatan terhadap proses sebelum, saat dan sesudah melahirkan akan sangat mempengaruhi proses perkembangan bayi yang juga semakin meningkatkan tingkat kematian bayi itu sendiri. Tidak hanya bagi bayi, tapi bagi sang ibu juga berbahaya ketika tidak mendapatkan perawatan yang layak. Kematian dan penyakit yang diderita si ibu akibat proses melahirkan akan memberikan efek yang besar dalam rumah tangga baik dari segi pendapatan dan kontribusi ekonomi serta memperluas tekanan sosial. Untuk itu dibutuhkan solusi seperti informasi terkait ASI, KB dan peningkatan kualitas tenaga medis. Terlebih lagi jika si ibu juga sedang sekarat akan AIDS.

Selain itu, dalam upaya untuk meningkatakan upaya peningkatan kesehatan keluarga, sangat dibutuhkan family planning (KB). Sebagian besar para ahli sepakat, bahwa informasi yang memadai terkait KB akan sangat membantu dalam mengurangi kematian ibu melahirkan. Kerapkali “The unmet need” menjadi persolan dalam KB. Sekitar 200 juta perempuan ingin membatasi dan memberi jarak kelahiran tapi mereka tetap tidak menggunakan kontrasepsi. Dan faktor gender sangat terkait dengan isu ini. Itu bisa dilihat dari pelayanan dan level pendidikan yang masih susah diperoleh perempuan, kondisi geografi, serta tingkat otonomi wanita terhdap dirinya sendiri yang masih dikendalikan pria terutma di negara berkembang dan ini semakin diperparah jika dia terlahir dari kelurga miskin di negara berkembang. Selain masalah diatas, kehamilan pada saat remaja juga menjadi hirauan dari kajian ini. Di negara berkembang hal ini menjadi penyumbang tertinggi dalam tingkat kelahiran ibu dimana tingkat kematian pada ibu melahirkan yang masih berusia 15-19 tahun sangat lah rentan jika dibandingkan dengan wanita di usia 20-an. Dan hal ini juga ditimbulkan dari adanya disparitas gender.

Infectious Diseases that Disproportionally Affect Women

Penggunaan dan pengumpulan data yang berbasis gender dalam menganalisiis penyakit menular cukup jarang digunakan. Terlebih lagi jika menyangkut mengenai STI (penyakit menular seksual). Dalam hal ini ada perbedaan biologis antara pria dan wanita yang mempengaruhi laju penularannya. Dan wanita lebih rentan terkena penularan AIDS. Maka dari itu dibutuhkan pendekatan gender untuk menangani masalah ini. Peran dan pola gender memiliki dampak yang signifikan terhadap transmisi HIV. Ini terlihat kala wanita tidak bisa menegosiaksikan seks dan penggunaan kondom dengan pria. Sedangkan pria semakin sibuk mencari partner lain yang lebih banyak dan mengambil risiko lainnya dan kembali meninggalkan wanitanya yang telah tertular. Pengaruh feminim dan maskulin sangat kuat dalam hal penyebaran penyakit menular seksual khusunya. Kurangnya akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi, pendidikan, dan keahlian menyebabkan mereka semakin renatan akan penularan HIV AIDS. Salah satu upaya yang dpat dilakukan adalah melaui KB. Melalui KBlah wanita dapat memperoleh informasi terkait HIV AIDS termasuk pencegahnnya.

Selain AIDS malaria juga merupakan penyakit menular yang membutuhkan pendekatan gender dalam analisisnya. Walaupun secara psikologis pria dan wanita sama rentannya terhadap malaria, tetapi wanita hamil dan anak-anak lebih rentan lagi terhadap penyakit ini. Pengaruh gender terhadap pencegahan penyakit malaria juga sangat diperlukan. Adanya pembagian kerja (divison of labour) antara pria dan wanita membuat wanita lebih rentan terkena gigitan dan infeksi dari nyamuk. Selain itu adanya gender-barriers juga mempengaruhi akses perempuan dalam ememperoleh pelayanan dan perawatan malaria serta pencegahan melalui bed nets ( kelambu) .

Gender-based Violence

Kekerasan berbasis gender, tidak hanya dalam bentuk fisik saja, tetapi lebih banyak dalam bentuk emosional/non-fisik. Wanita kerapkali menjadi subjek dari kekerasan berbasis gender ini, dan umumnya merupakan kekerasan seksual, baik KDRT, maupun kekerasan seksual pada anak-anak. Efek dari kekerasan berbasis gender secara fisik akan berakhir ketika kekerasan itu berakhir. Akan tetapi, dampaknya secara mental bakal lebih lama karena telah lama terakumulasi. Berdasarkan data WHO, wanita hamil yang mengalami kekerasan ini lebih berpotensi mengalami keguguran dan aborsi. Efeknya tidah hanya sampai disitu bahkan kematian juga mengancam. Bunuh diri, kerusakan pada alat genital dan reproduksi merupakan efek lainnya. Secara global kekerasan ini merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat kematian pada wanita. Kekerasan berbasis gender ini lebih sering dijumpai ketika terjadi konflik horizontal,seperti di Rwanda, Yugoslavia, Kongo serta Darfur. Kekerasan seksual, pemerkosaan menjadi “senjata” lainnya bagi para opposan dalam menjatuhkan lawan serta sebagai alat untuk menghancurkan struktur sosial selain untuk merebut kekuasaan. Pemerkosan tidak hanya dilakukan oleh musuh tapi juga oleh para tentara sendiri. Pada kasus Rwanda (1994) sebanyak 250 ribu wanita menjadi subjek kekerasan sesksual, dan sebagian besar diantara mereka akhirnya tertular oleh HIV. Oleh sebab itu, upaya seperti KB, pelayanan kesehatan (termasuk didalamnya pelayanan kesehatan alat reproduksi) harus menjadi poin utama dalam mengatasi permasalahan ini.

Food Security

Ketahanan pangan sangat terkait sekali dengan permasalahan gender. Berdasarkan data WFP, wanita lebih banyak bekerja di bidang pertanaian, tapi lebih sedikit dalam mengonsumsi makanan. Pada banyak negara berkembang, wanita sering menjadi orang yang terakhir makan setelah anak-anak dan keluarga mereka yang lain menyelesaikan makannya. Wanita juga merupakan aktor kunci dalam perkebunan dan pertanian di sebagian besar negara berkembang. Wanita menjadi pengumpul kayu untuk bahan bakar, pengambil air yang jelas sangat membahayakan pada situasi tertentu, diantaranya rawan akan kekerasan seksual karena harus menmepuh lokasi yang terkadang membahayakan. Meskipun mereka menjadi andalan dalam memberi makan keluarga mereka, mereka seringkali ditolak untuk memiliki sebuah lahan pertanian/perkebunan, air, teknologi, kredit. Bahkan mereka juga seringkali ditolak untuk masuk kedalam sebuah kelompok tani. Walaupun mereka memproduksi 60-80 persen makanan, tetapi mereka hanya memiliki 1% lahan. Kondisi ini semakin diperparah dengan rentannya wanita terkena HIV akibat kurangnya asupan gizi yang mereka peroleh. Ini terjasi di Botswana dan Swaziland. Selain itu upaya untuk memperlama hidup penderita AIDS adalah dengan asupan gizi yang memadai. Dan wanita di negara berkembang kebanyakan kesulitan dalam memperoleh asupan gizi yang memadai. Semua kondisi diatas semakin diperparah apabila wanita berada dalam periode kritis seperti pada masa kehamilan. Kekurangan zat besi, anemia akan sangat membahayakan ketika proses melahirkan dilakukan dan berperan terhadap 20 persen kematian kelahiran bagi si ibu.

Rekomendasi dari Pemerintah Obama

1.Require a Gender Lens in Design and Implementation of U.S. government-supported programs, diantaranya: mengurangi hambatan dan kerentanan dalam memperoleh pelayanan kesehatan, secara rutin mengumpulkan, menganalisis, laporan kesehatan serta penyakit berdasarkan kelamin dan umur serta mengolahnya untuk memperoleh level disparitas gendernya, mengidentifikasi ¾ negara di dunia untuk lebih memfokuskan pada pendekatan gender dalam mengatasi masalah kesehatan global, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan pengetahuan yang memadai terkait tentang gender dengan menggunakan pakar gender, penanganan yang lebih komprehensif dan terintegrasi untuk memudahkan wanita membawa anak mereka untuk imunisasi,klinik kelahiran dan informasi yang memadai terkait KB, kesehatan reproduksi, pencegahan penyaklit menular seperti HIV dan malaria.

2.Support Capacity Strengthening and Resource Mobilization, diantaranya: menghapuskan hambatan bagi wanita miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan untuk melahirkan dan proses sesudahnya, memobilisasi sumber daya, mengenalkan hubungan dan program yang terintegrasi antara kesehatan glonal AS dengan program pembangunan (pendidikan, ekonomi), pelatihan bagi semua provider kesehatan untuk mengkhususkan kebutuhan kesehatan bagi wanita, remaja, gadis

3. Coordinate among U.S. Government Agencies and Promote U.S. Global Leadership, diantaranya: melanjutkan kepemimpinan global AS dalam memprioritasksan gender sebagai upaya mengatasi masalah kesehatan global, memastikan kantor perwakilan duta besasr yang terkait isu perempuan terlibat langsung dalam program pembangunan yang berkaitan dengan kesehatan global, menciptakan agen yang saling terkait yang membuat semua orang peduli akan geder dalam kebijakan kesehatan global AS dalam Global Health Iniative-nya, menugaskan Presidential Policy Directive (PPD) untuk membuat kesetaraan gender dalam program pembangunan AS dan memastikan Gender Lens diaplikasikan dengan baik, adanya komisi yang bernama “National Intelligence Council” (NIC) untuk melaksanakan implikasi strategi dalam kesehatan global dan pembangunan serta menganalisis dampak potensial bagi kepentingn nasional AS dalam meningkatkan fokus terhadap ranah gender.

Tidak ada komentar: