“Kang, Teteh minta nomor handphonenya dong?” Ituah ucapan yang saya dengar dan ingat dari anak-anak SD ketika saya dan teman-teman sedang melkuakn KKNM di Desa Belendung, Subang. Mereka, padahal tidak punya handphone, melainkan meminjam punya orang tua mereka. Sampai sekarang beberapa diantara mereka masih menghubungi saya untuk menanyakan kabar dan hal-hal yang tidak penting lainnya ( hehehehe……)
Generasi yang baru tumbuh dan berkembang sepanjang dekade 2000-an memiliki semacam identitas yang sangat terkait dengan perkembangan tekonologi. Mulai dari kalangan masyarakat urban sampai pedesaan perlahan-lahan dijangkiti akan sebuah fenomena bahwa mereka secara tidak langsung/langsung memiliki kebutuhan baru yaitu pemenuhan kebutuhan akan teknologi. Teknologi yang saya bahas disini adalah akses yang memudahkan sesorang dalam memperoleh informasi dan berkomunikasi. Contoh yang paling sederhana adalah handphone. Menurut BRTI (Badan Regulasi Tekelominukasi Indonesia) jumlah pengguna handphone di indnesia pada tahun 2011 nanti diperkirakan akan menembus kisaran 100 juta pengguna. Selain handphone ,ajang pertukaran informasi dan komunikasi lainnya adalah intenet. Mulai dari kandungan akan informasi penting dan berharga sampai pada menjangkitnya situs porno dan yang sedang popular saat ini adalah situs pertemanan.
Seperti yang telah saya jelaskan diawal, bahwa pada tulisan ini yang akan saya bahas adalah generasi yang baru tumbuh dan berkembang pada dekade 2000-an. Dengan kata lain, saya memperkirakan mereka adalah genrasi yang dilahirkan pada dekade 90-an (dimulai tahun 1990). Mereka, adalah generasi yang tidak terlalu “terpengaruh” atau ada juga yang menyebutnya “tidak terkontaminasi” doktrin-doktrin ala Orde Baru. Generasi yang tidak menyimak secara langsung bagaimana jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 1998. Mereka adalah generasi yang hanya mendengar babak sejarah negeri ini (jatuhnya Orde Baru) dari buku, media cetak dan elektronik atau cerita dari orang tua mereka. Kedua kondisi inilah yang ingin saya paparkan melalui tulisan ini, interaksi antara perkembangan teknologi (infomasi dan komunikasi) dengan genreasi yang tumbuh berkembang pada dekade 2000-an (setelah reformasi).
Saya sendiri yang juga kelahitan akhir 80-an (1989) merasakan semacam sensasi tersendiri memasuki dekade 2000-an ini. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang teramat pesat pada decade ini merupakan sebuah kejadian yang belum pernah terjadi pada decade sebelumnya. Teknologi yang awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi pada tataran fungsional perlahan-lahan berubah menjadi semacam unjuk diri, unjuk identitas, pertanda dari status (ekonomi) seseorang. Seperti halnya fashion pada wanita, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah meresap ke dalam pikiran generasi-generasi tersebut. Bukan hidup tanpanya jikalau tidak memiliki handphone misalnya. Tidak hanya sebatas fungsi belaka, melainkan ada nilai lebih dari benda tersebut yang melekat pada diri mereka masing-masing. Harus ada semcam upgrading atau tukar tambah pada benda-beda tersebut agar tidak ketinggalan zaman. Bahkan sampai menggantinya atau menambah dengan produk keluaran terbaru. Sebut saja BlackBerry misalnya, yang sudah duluan popular di Amerika Serikat atau smart-phone lainnya, seperti I-phone atau pemutar MP3 dan MP4 yang terbaru. Jikalau fenomena akan handphone memang sudah merasuk sampai kepada pedesaan, untuk fenomena seperti BB, i-phone, pemutar MP memang baru menyentuh kalangan urban saja.
Selain handphone dan turunannya, internet merupakan “the amazing thing” yang terjadi pada dekade ini. Bukan berarti intenet beru ditemukan pada dekade ini, melainkan baru pada dekade inilah fungsinya mengalami progress yang sangat cepat dan sangat mempengaruhi kehidupan generasi-generasi tadi. Intenet jelas sekali memberikan informasi berharga bagi tiap individu, tetapi melihat perkembangannya yang teramat cepat. Internet sudah tidak lagi berada pada tahap fungsional belaka. Kendati penyebaran internet di Indonesia tidak merata, wabah akan kecanduan intenet sudah menjangkit di beberapa kota. Ada pemenuhan kebuuthan lainnya yang tidak didapat di dunia nyata dan terpenuhi di dunia maya. Menjangkitnya situs-situs porno sudah menjadi kekhawatiran bagi siapapun juga.
Selain pornografi, game online/game center juga merupakan bagian dari tren pada dekade ini. Komunitasnya, perlombaan juga semkain banyak. Efek candunya juga tak kalah dahsyat. Selain pornografi dan game-online, situs pertemanan merupakan sesuatu yang baru yang terjadi pada dekade ini. Tiap mereka berlomba-lomba membuat akun mulai dari Friendster, Facebook, Twitter, Plurk, Myspace,Yahoo Messenger dan sebagainya. Ada sesuatu yang kurang jika sesorang belum memiliki akun dari salah satu situs pertemanan. Mereka merasa ketinggalan infomasi kalau tidak membuat akun tersebut.
Semakin bertambahnya tahun, teknologi juga semkain berkembang, sekarang handphone dengan fasilitas internet juga telah menjadi keharusan bagi setiap pengembang. Dapat dibayangkan dunia seakan berada di telapak tangan dan itu bisa dibawa kemana saja. Permasalahan perkembangan teknologi tidak hanya merupakan cerita dari globalisasi belaka. Paham-paham materialistis juga menuyusp masuk lewat laju pertumbuhan tekonologi informasi ini. Hal ini pada akhirnya seakan menciptakan mindset bahwa ini adalah kemenangan kapitlaisme dan mereka-mereka ini akan terus disuguhi barang-barang bagus serta secara perlahan, pola hidup mereka akan dibuat seperti kaum kapitalis. Tidak terlalu hirau akan nilai-nilai sekitar, suka kompetisi. Yang terpenting hasratnya akan kebutuhan materi dapat tercapai.
Suka atau tidak suka, generasi sekarang, cenderung menjadi genrasi yang individualistis, bebas dan tidak terlalu terikat dengan norma yang ada disekitarnya. Mereka bukanlah generasi yang hidup pada dekade 70-an sampai 90-an, yang hidupnya sangat ditentukan oleh kekuatan terpusat yaitu Soeharto. Generasi sekarang yang tumbuh pada dekade 2000-an merupakan generasi penerus bangsa yang tumbuh dan berkemabng tanpa adanya “kekangan” dari Negara. Mereka tumbuh ketika kebebasan berpendapat diakui, demokrasi dan HAM menjadi topik dimana-mana dan pada saat itulah segala macam bentuk teknologi informasi dan komunikasi masuk kedalam kehidupan mereka. Semuanya berjalan beriringan. Ini seperti seorang remaja yang ketika tumbuh menghadapi lingkungan yang bebas, menghormati demokrasi dan HAM. Inilah nilai-nilai yang mereka dapat pertama kali ketika mereka tumbuh dan berkembang. Ini tentu berbeda dengan mereka yang tumbuh dan hidup dari dekade 70- 90-an yang baru merasakan dampak tekonologi informasi dan komunikasi ini pada decade 2000-an.
Budaya individual ini semakin terasa di kehidupan remaja sekarang. Ketika anda dapat mengetahui apapun dari internet atau menghabiskan waktu semaksimal mungkin di depan laptop dan internet, apakah untuk memainkan game atau mengerjakan tugas bahkan melihat situs porno, secara tidak langsung hal ini akan membentuk kita menjadi manusia yang tahu ‘segalanya”, membuat kita lebih independen sehingga kebutuhan akan individu lain semakin berkurang. Bayangkan saja, dulunya pada dekade 90-an, remaja laki-laki asik bermain layangan, atau bermain sepeda bersama, atau memainkan permainan rakyat lainnya dan remaja putri menghabiskan waktunya seperti main bongkar-pasang, masak-masakan serta pengajian bersama atau remaja majid masih menjadi budaya pada kehidupan bermasyarakat pada dekade itu. Mungkin di daerah pedesaan, belum semuanya terkontaminasi akan budaya individualitas, tetapi gejala-gejalanya mulai tampak terlihat. Ikatan antar warga sudah tidak sekuat dulu lagi. Ini saya alami ketika menjalani KKNM di sebuah desa di Subang.
Tentu hal ini perlu mendapat pemahaman yang serius dalam menangani pola pikir generasi sekarang (remaja). Mereka tidak sungkan lagi membicarakan hal seperti sex, drugs, dan berbagai macam hal tabu lainnya yang selama ini mendapat kekangan. Mereka dapat dengan mudah memperoleh-nya dari media manapaun. Diskusi mengenai seksualitas, pemikiran kiri (komunis) sudah menjadi hal yang tidak asing lagi dibicarkan terutama di univerisitas-universitas. Pengaruh internet sangat membantu sekali dalam hal ini.
Budaya individualitas pada generasi sekarang tampak pada kegigihan mereka dalam membuat akun di situs Facebook, Friendster atau Twitter. Ketika intensitas hubungan lebih banyak dihabiskan di dunia maya ketimbang di dunia nyata membuat rasa saling membutuhkan dan budaya canggung juga semakin meningkat. Sudah sampai sejauh itukah generasi sekarang ? Ini belum termasuk ketika mereka lebih terbuka akan kehidupan pribadi di dunia maya ketimbang dunia nyata. Bertukarnya status di Facebook atau Twitter dalam sekejap, mulai dari masalah pribadi sampai menggunjingkan orang semuanya ditumpahkan di status tersebut. Merupakan keanehan tentunya ketika kita lebih cenderung menumpahkan perasaan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Bukankan itu gunanya teman??? Inilah gejala dari kebebasan yang belum matang pada generasi muda ini. Di saat kebebasan berpendapat diperkuat oleh teknologi dan media.
Belum lagi bagi mereka yang sangat bangga mempunyai banyak teman, tetapi sebenarnya tidak terlalu kenal dan ketika bertemu pun tidak saling tegur sapa. Mulai terdapat perbedaan definisi tampaknya dalam memandang teman dalam dunia nyata dan dunia maya. Ucapan selamat ulang tahun sampai pada kartu lebaran,SMS, semuanya lebih banyak dilakukan dalam bentuk transfer elektronik. Sudah bukan zamannya lagi mengirim dalam bentuk kartu Lebaran, kartu selamat Natal atau kartu ucapan selamat ulang tahun. Sebagian generasi tua memandangnya sebagai sebuah hal yang dianggap terlalu enteng bagi generasi sekarang.
*DIAJUKAN buat lomba essay pada FISIP FAIR 2010
1 komentar:
Bukan hanya diajukan, tetapi juga menang, ya kan? Hehe..
Posting Komentar