Selasa, 13 April 2010

MY NAME IS KHAN : REVIEW


MY NAME IS KHAN (2010) : REVIEW

Synopsis:
Bercerita tentang Rizwan Khan(Shahrukh Khan), seorang muslim yang berasal dari Mumbai, India. Sejak kecil ia menderita Asperger's Syndrome, sebuah sindrom sejenis autis tapi dalam versi yang lebih parah. Rizwan kecil tinggal bersama ibu dan adiknya, ketika beranjak dewasa sang adik yang sering merasa iri dengan Rizwan karena mendapat perhatian lebih dari sang ibu akhirnya memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Amerika. Beberapa tahun setelah kepergian sang adik, ibunya meninggal dunia. Mau tidak mau Rizwan pun menyusul sang adik ke Amerika. Disana ia bertemu dengan pujaan hatinya bernama Mandira (Kajol) yang seorang janda beranak satu. Dan dimulai lah hari-hari Rizwan di Amerika.

Awalnya kehidupan Rizwan di Amerika memang berjalan baik-baik saja, namun semua berubah ketika pesawat yang dibajak teroris menabrak gedung WTC sampai runtuh berkeping-keping, kita mengenalnya dengan sebutan 9/11. Ketika peristiwa 9/11 terjadi, Rizwan dan Mandira mulai menghadapi beberapa kesulitan. Hingga suatu ketika sebuah tragedi memaksa mereka untuk berpisah. Rizwan pun harus berjuang untuk mendapatkan istrinya kembali, walau harus melewati sejumlah petualangan diberbagai negara bagian di Amerika.

Review:
Screenplay : Bisa dikatakan My Name Is Khan adalah semacam road-movie dari kisah seorang Rizvan Khan. Perjalanan panjangnya untuk memenuhi janjinya kepada istrinya dibuktikan dengan sungguh-sungguh oleh Rizvan Khan. Terlihat disini, sutradara dan penulis scenario ingin benar-benar menggali lebih dalam isu terorisme secara personal. Melalui sifatnya yang polos Khan seakan berusaha menyihir dan menginspirasi berbagai macam sinis dan skeptic yang telah melanda masyarakat Amerika sejak tragedy 9/11. Mulai dari penjaga hotel yang seorang Hindu, Mamy Janet yang seorang kulit hitam (Kristen), sepasang suami-istri (muslim) penumpang bus, kumpulan para “jihad” di sebuah masjid, pria muslim penjual barang elektronik, reporter PBC yg seorang Sikh dan bagi keluarganya sendiri dan masyarakat Amerika secara keseluruhan. Namun, sayang sekali, butuh waktu lama bagi sang sang istri untuk menerima identitas Khan setelah kematian anaknya, Sameer.

Shibani Bhatija dan Nirenjar Iyengar selaku penulis kenario cenderung menggambarkan dunia sebagai sesuatu yang hitam-putih, seperti dialog antara Khan dan ibunya semasa kecil. Bahwa di dunia ini Cuma ada dua manusia yaitu baik dan buruk. Dan ide ini berimplikasi pada keseluruhan cerita. Karakter Khan yang polos, jujur dan straight to the point seakan-akan ditampilkan terlalu baik dalam kondisi dunia yang brutal setelah tragedy WTC. Tidak ada skeptisme dan sinisme dalam dirinya dalam memandang identitas orang lain kendati dia sendiri bukanlah tipikal orang yang terbuka dan akrab dengan orang baru. Karakter Khan sangat “ good human being”. Melalui karakter Khan kita disodorkan cara pandang seorang “netral” yang tidak terkontaminasi akan emosi dan aliran pemikiran ekstrem. Backdrop karakter dimana Khan seorang Asperger tampak tidak sekedar tempelan saja karena memperkuat identitas Khan itu sendiri. Cara pandang Khan akan dunia merupakan sebuah nilai yang cukup menggetarkan hati siapapun.

Mungkin sebagian dari kita bakal mempertanyakan sikap Khan yang pantang menyerah dan sangat menurut perintah istrinya yang mendasar perjalanannya menemui presiden AS. Kepolosannya sangat meningatkan saya akan karakter Forrest Gump di film Forrest Gump (1994). Kendari menderita asperger syndromes, Khan merupakan tipikal orang yang sangat komitmen dan penuh kasih sayang dan pekerja keras. Hal inilah yang kiranya membuat Mandira jatuh cinta dan menikah dengannya. Hampir mustahil ada seorang wanita yang mau menikah dengan kondisi pria seprti itu tanpa adanya ‘kekhasan” dalam diri Khan. Sebagian orang bakal mencibir karakter Khan yang angelic tersebut, terlalu dibuat-buat dan kurang rasional bagi masyarakat kebanyakan. Namun disitulah saya rasa pesan dari fim ini, jika seorang yang memiliki kekeruangan seperti Khan bisa mengubah dunia, mengapa kita manusia normal tidak bisa melakukannya??

Selain itu kisah rumah tanggaa Khan juga ditampilkan seolah black &white. Kehidupan mereka sangat bahagia seblaum WTC (white) dan berubah total setelah WTC (black) yang berujung pada kematian putra Mandira, Sameer. Meskipun sebelum intermission, kisah tentang rumah tangga Khan ditampilkan sangat menarik dan mengundang tawa, sayangya ini terlalu memakan durasi yang sangat panjang. Dan pada bagian kedua cerita, tiba –tiba saja rumah tangga Khan berubah menjadi seperti neraka. Terlalu drastic perubahannya. Pengusutan kasus kematian Sameer terlalu aneh dan kurang detail sehingga membuat karakter Madira pada bagian kedua cenderung penuh amarah dan antagonis. Terlalu drastis melihat perubahan seorang karakter dari yang awalnya “penuh ceria dan kebaikan” menjadi sangat pendendam bahkan terhadap suaminya sendiri. Emosi yang berlebihan pada awalnya memang menjadi wajar terlebih lagi nuansa “factor identitas” suaminya dirasa menjadi penyebab penyerangan terhadap putranya. Akan tetapi, seakan menjadi seperti tayangan opera sabun melihat amarah Mandira yang terlalu berlebihan. Dia seolah-olah lupa bagaimana dulu perjuangan Khan merebut hatinya dengan ketulusannya.

Seperti halnya karakter Sissy Spacek dalam In the Bedroom (2001), yang sangat terpengaruh akan kematian putanya sehingga berdampak hebat terhdap rumah tangga dan hubungannya terhadap sang suami, tetapi amarah yang terpendam dalam diri Spacek tidak diucapkan dalam kata-kata. Rumahtangganya mendadak menjadi hening dan dingin. Mungkin ini beda dengan kasus Mandira yang merasa karena nama belakang sang suami yang diturunkan kpada anaknya (khan) lah yang membuat anaknya menjadi sasaran empuk teman-temannya. Lagi-lagi karena investigasi kasus Sameer yang bertele-tele, maka kisah perjaanan Khan bias terus berjalan. Jika dari awal polisi sudah melihat indikasi keterlibatan sang pelaku, maka My Name is Khan tidak akan berlarut-larut seperti ini. Aksi pemukulan Sameer cenderung lebih berlatar belakang emosi ketimbang isu terorisme. Polisi AS tidak menuntaskan kasus yang terjadi di sekolah selama 6 bulan tanpa mendatangkan hasil. Merupakan sebuah keanehan buat saya.

Lanjut pada bagian ketika Khan mulai melakukan perjalanan. Khan memulai perjalannya banyak sekali ditemui berbagai macam kebetulan dan kemudahan atas pemaknaan dari perjalanan Khan itu sendiri. Dengan kata lain terlalu banyak kebetulan dalam perjalanan Khan yang membuat plot ceritanya menjadi agak “klise”. Seprti ,Khan mempunyai tetangga yang meninggal dalam meliput perang di Afganishtan. Mamy Janet, wanita tua kehilangan anakanya dalam perang Irak. Dua bagian ini sangat terkait dengan kondisi pasca 9/11. Dan hampir dalam perjalanan Khan menemui presiden, selalu saja ada orang India dimana-mana selain pada bagian kota Wilhelmina, Georgia. Dan mereka digambarkan sangat menderita setelah tragedy WTC. trus penjaga hotel yang hindu yang tokonya sering dilempari, seorang wartawan yang meliput kasus penahanan Khan juga seorang India yang mempekerjakan hacker seorang india dan reporter seorang Sikh. Nuansa yang saya dapat lebih kearah penderitan muslim India di AS, bukan bagaimana situasi muslim secara global. Mungkin karena ini film India, maka identitas Muslim india lah yang didahulukan.

Alangkah baiknya motivasi Khan melakukan perjalanannya karena memang ketidakadilan yang terjadi pada umat muslim di AS bukan karena tuntutan sang istri. Tampaknya, perjalanan Khan lebih kearah personal dan demi sang anak, Sameer. Seandainya Sameer tidak meninggal dan kondisi muslim AS tetap menderita setelah 9/11, saya yakin Khan tidak akan melakukan perjalanan ini. Sangat disayangkan film yang mengusung tema global dipandang/ditinjau dari sudut pandang personal/individual dan lebih kepada motivasi pribadi.

Terlepas dari penggambaran karakter yang agak ‘cartoonish” dan berbagai mcam kebetulan dan klise, saya tetap memberikan acungan jempol dalam upaya menjadikan isu terorisme diangkat dalam bentuk road movie. Ide ceritanya bagus, tapi masih terkendala ketika dituangkan ke dalam naskah.

Performance : MNIK adalah filmnya SRK. Kendati demikian SRK dan Kajol berhasil membawakan perannya dengan luar biasa melebihi performa naskahnya yang biasa saja. SRK terlihat lebih real ketimbang film-filmnya sebelumnya. Gaya aktingaya mengingatkan saya akan Dustin Hoffman dalam Rain Man (1988). SRK yang dikenal doyan nangis, berhasil tidak mengeluarkan air mata bahkan ketika dalam scene yang sedih sekalipun. Ini merupakan performa terbaik SRK menurut saya karena memang tidak mudah memainkan karakter seperti Rizvan Khan. Kajol tampil luar biasa, dia berhasil mencuri perhatian di setiap scenenya. Terutama ketika scene dia menangisi kematian anaknya. Sangat natural. Seandainya pada paruh kedua pembangunan karakternya lebih ‘normal’ lagi ,saya sangat yakin Kajol bakal lebih baik lagi. Cast lainnya tidak terlalu menonjol.

Technical : Ravi K Chandran sebagai cinematrografer berhasil memberikan warna tersendiri bagi film ini. Setiap scene bisa dikatakan selalu menghasilkan frame-frame yang indah. Pergerakan kameranya juga sangat dinamis sehingga kita seolah-olah sedang menyaksikan film Hollywood. Dari segi editing, MNIK sangat kuat pada paruh pertama, tetapi lumayan kedodoran pada paruh kedua ketika ceritanya mulai mengalami banyak cabang (sub-plot). Music latarnya (original score) juga cukup bergema kendari saya lebih menyukai AR.Rahman menangani jenis film seperti ini. Dalam beberapa scene tampak overhype. Tata artistik juga lumayan menawan, kendati scene hujan badai di Wilhelimina terlihat ‘tacky” tapi saya tetap mengacungi jempol bagi perkembangan art director di India. FYI, scene ini dilakukan di sebuah studio film di Mumbai.

Directing: Karan Johar tampak semakin dewasa dan lebih banyak membuka referensi. MNIK merupakan karyanya yang paling dewasa dan real ketimbang Kuch-kuch Hota Hai, Kabhi Kushi Kabhie Gham, Kabhi Alvida yang pada umumnya lebih dikenal sebagai film-film tearjeaker dan telalu mengesampingkan logika. Kendati MNIK juga sebuah tearjeaker, Johar tampak lebih serius dan matang dalam menangani isu ini. Saya cukup terpukau akan penggarapan film ini pada paruh pertama, tetapi pada paruh kedua saya melihat ada sesuatu yang lepas dalam penggarapannya. Tidak sekuat pada paruh pertama.

Overall, MNIK merupakan sebuah film yang layak tonton bahkan bagi anda yang bukan penggemar film India. Sudah sepantasnya sinema Indonesa mulai belajar ke Bollywood dalam soal penggarapan tema.

Tidak ada komentar: