Senin, 23 Februari 2009

Perkembangan Kawasan Pendidikan Jatinangor dalam Aspek Budaya dan Lingkungan

Perkembangan Kawasan Pendidikan Jatinangor

dalam Aspek Budaya dan Lingkungan

oleh: Solpamili Pratama

Ketika saya menginjakkan kaki di Kota Bandung, apa yang saya bayangkan selama ini ternyata berlawanan dengan apa yang saya lihat di kehidupan nyata. Bandung tidaklah sesejuk dan sedingin atau serapi yang ada di benak saya . Bandung tampak begitu padat, kotor dan banyak sekali tumpukan sampah berserakkan. Panas menyengat begitu terasa, saya merasa Bandung tidak lagi memiliki banyak pohon dan tidak sesejuk yang dicertiakan oleh Ibu saya ketika dirinya pernah tinggal di sini sekitar tahun 1980-an. Inikah Bandung yang konon diberi julukan Paris van Java serta Kota Kembang. Saya belum bisa memastikan hal tersebut. Yang banyak saya lihat adalah factory outlet berjejeran dimana-mana dengan mobil yang beramai-ramai parkiran di depannya serta berbagai waralaba yang ramai dikunjungi orang-orang.

Di dalam hati, saya berkata, semoga Jatinangor tidak sepadat dan sekotor atau sepanas Bandung. Mengingat Jatinangor bukanlah di tengah kota melainkan sebuah kawasan pendidikan yang terletak jauh dari hingar bingar Bandung. Setidaknya butuh waktu satu sampai 1,5 jam untuk mencapai Jatinangor dari kota Bandung. Saya jadi teringat ketika saya berada di Padang, dimana kampus Unand juga terletak jauh di tengah kota. Akan tetapi, suasana disana terasa sangat sejuk dan bersahabat bagi suasana belajar.

Ternyata, apa yang saya lihat dan rasakan di Jatinangor tak ubahnya seperti Bandung. Bahkan Jatinangor lebih panas dan gersang dari Bandung, jalan yang sempit dan angkot yang ngetem di sembarang tempat menjadi pemandangan sehari-hari. Jatinangor tak ubahnya Bandung hanya saja minus mal besar, factory outlet, distro,waralaba keren, dan hotel-hotel mewah. Sungguh bisa digambarkan sebagai sebuah kawasan yang tak terlihat sebagai kawasan pendidikan melainkan hanya simbol berupa berupa gedung kampus IPDN, Unpad, Ikopin, dan Unwim.

Yang membuat diri saya yakin bahwa saya berada di kawasan pendidikan hanya ramainya mahasiswa yang berada di kawasan ini. Jalan raya di sini merupakan jalan utama tetapi hanya sebesar 5 meter, sering macet ditambah lagi angkot yang sering berhenti menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat sehingga mengganggu kenyamanan para pejalan kaki dan pengemudi lainnya. Pejalan kaki jangan harap bisa nyaman berjalan di sisi jalan. Selain trotoar yang tidak kelihatan lagi dan berlubang serta nyaris sempit. Ketika saya melihat dari lantai atas kostan saya, saya bisa melihat berapa banyaknya mahasiswa yang tinggal di kawasan ini. Sangat padat sekali. Kita bisa melihat atap-atap yang saling bertempelan, antena-antena televisi yang ramai-ramai menjulang keatas, kantung-kantung air berwarna merah dan orange yang terletak diatas atap. Yang membuat saya miris adalah betapa kacaunya susunan perumahan /pemukiman kost-kostan di kawasan ini. Tidak ada aturan yang baku dalam mendirikan kostan. Semua orang berlomba-lomba membuat kostan karena keuntungan yang menggiurkan yang ditawarkannya. Terlihat berantakkan dan seperti pemukiman kumuh yang diisi para mahasiswa.

Semakin lama saya berada di Jatinangor saya merasa ada sesuatu yang salah dengan kawasan ini. Jatinangor adalah sebuah kecamatan. Sebuah kecamatan yang dihuni oleh mahasiswa dari empat perguruan tinggi. Mungkinkah ada yang salah perencanaan dengan kawasan ini?

Saya sering bercerita dengan teman saya yang dari Bandung, seperti apa Jatinangor dulunya. Dia menjawab, Jatinangor itu dulunya dalah kawasan yang sepi dimana penduduknya bermatapencarian sebagai petani. Harga tanah disini dulunya jarang dilirik oleh para penanam modal atau bisa dikatakaan sangat murah. Mungkin dengan alasan itulah pemerintah Jawa Barat membangun kawasan pendidikan di Jatinangor. Dengan dibangunnya kampus IPDN, Ikopin, Unpad dan Unwim, Jatinagorpun sibuk bersolek memperbaiki dirinya. Piringan sawah segera berubah bentuk menjadi pemukiman mahasiswa. Setiap hari semakin banyak pula piringan sawah yang ditutup diganti menjadi tempat kost-kostan. Dua buah mall pun dibangun sebagai pelengkap prestise. Rumah makan, toko-toko,ruko,usaha foto kopian, usaha percetakan dan beberapa usaha lainnya yang berhubungan dengan kebutuhan mahasiswa belomba-lomba merebut pangsa pasar di Jatinangor. Semua orang datang tak terkendali. Para pendatang dari luar tampak begitu optimis dengan harapan Jatinangor akan memberikan laba baginya. Sedangkan sebagian penduduk lokal tampak kecanduan menjual tanah dan sawahnya kepada para pendatang yang berinvestasi rumah kostan di kawasan ini.

Dalam sekejap penduduk lokal memperoleh uang yang lumayan besar bagi mereka dan mereka semakin ramai-ramai menjual sawahnya. Tak terasa pembangunan kost-kostan semakin menyembur mendekati jalan raya. Selama itu pula mekanismenya tidak pernah diatur oleh pemerintah yang bersangkutan. Hari demi hari, bulan demi bulan tahun demi tahun pun berganti. Hasil yang menyedihkan tampak semakin dekat. Piringan sawah mulai hilang, tidak ada lagi aktivitas pertanian yang massive seperti dulu. Semuanya perlahan-lahan mulai berubah. Semoga perubahan secara fisik ini tidaklah terlalu mendadak yang nantinya menimbulkan akses sesama masyarakat.

Budaya dan lingkungan

Menurut Kontjaraningrat,budaya itu adalah keseluruhan gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar[1]. Budaya sendiri bisa berwujud ke dalam 3 hal, pertama, yaitu berupa gagasan nilai-nilai/ide yang ada di pikiran manusia. Kedua, berupa aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, berupa hasil yang berupa fisik yang secara jelas bisa dilihat. Wujud-wujud tersebut dapat kita lihat dan rasakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia[2].Sedangkan lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada di sekitar kita baik itu benda mati maupun benda hidup.

Apakah budaya dan lingkungan merupakan sebuah hal yang terpisah atau bersifat komplementer? Dua-duanya tentu tidak. Budaya tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan kerena segala sesuatu yang berada dalam lingkungan akan menghasilkan sebuah interaksi dan nilai-nilai baik berupa aturan,anjuran, dan larangan, yang secara keseluruhan akan memunculkan sebuah kebudayaan di lingkungan tersebut. Jika budaya dan lingkungan adalah dua hal yang bersifat komplementer atau saling melengapi tidak juga karena dalam lingkunganlah sebuah budaya nantinya tercipta atau budaya yang sedang berkembang akan mempengaruhi lingkungan sebuah kelompok hal itu memang bisa dibenarkan. Jadi terdapat pola interaksi bukan pola saling melengkapi. Budaya dan lingkungan bukanlah sesuatu seperti pria dan wanita atau mobil dan bensin, dimana kalau salah satunya tidak ada maka tidak akan berjalan.

Apa yang terjadi dan saya alami di Jatinangor merupakan bentuk paling jelas keterkaitan antara budaya dan lingkungan. Ketika sebuah pemerintahan memiliki ide atau perencanaan seperti pembentukan sebuah kawasan pendidikan itu telah bisa diidentifikasi sebagai sebuah kebudayaan karena ide/perencanaan merupakan bentuk dari wujud kebudayaan yang berupa gagasan/ide. Ide/gagasan tersebut dilalui melalui proses pembelajaran terhadap apa yang masih kurang dan harus diperbuat agar kesalahan di masa lalu tidak lagi kembali terulang. Ide sangat erat kaitannya dengan nilai dan ideologi yang dianut oleh lingkungan yang bersangkutan.

Ketika hal atau proyek tersebut dilaksanakan akan tercipta aktivitas diantara para pelakunya. Ketika sebuah proyek itu dikerjakan, apa yang telah dipikirkan dalam sebuah jangka waktu tertentu akhirnya dituangkan dan dikerjakan dimana nantinya akan menimbulkan interaksi, komunikasi,nilai-nilai diantara para pelakunya karena manusia pada intinya tidak bisa bekerja sendirian. Walaupun mereka telah terspesialisasi tetap saja sebuah unit spesialisasi akan membutuhkan data atau informasi dari para spesialisasi lainnya supaya tercipta sebuiah keutuhan. Untuk memperoleh data atau informasi memang bisa melalui teknologi, tetapi yang namanya teknologi tetap memiliki keterbatasan. Manusia pada intinya terkadang bekerja melampaui waktu dan batasan yang terkadang tidak mampu dilayani oleh teknologi. Itu disebabkan teknologi adalah benda mati tidak merasakan sensitivitas yang dialami manusia. Teknologi cenderung kaku dan tidak mengenal ampun.

Ketika proyek pembentukan kawasan pendidikan tersebut telah selesai maka apa yang dihasilkan adalah sesuatu yang tampak jelas di mata. Jika dibandingkan dengan masa lalu, bisa berupa artefak ataupun fosil serta bangunan kuno lainnya. Ini merupakan wujud kebudayaan yang paling jelas. Dari hasil inilah semua nilai, identitas dari sebuah lingkungan diberikan. Hasil yang tercipta menunjukkan identitas dan budaya yang dianut oleh masyarakat tersebut. Tingginya tingkat kebudayaan dapat tecermin dari hasil peninggalannya.

Efek sosial dan ekonomis

Lalu, ketika ide-ide tadi telah berwujud menjadi sebuah hasil yang nyata berupa kawasan pendidikan, mengapa hasil yang tampak ternyata berjalan di luar dugaan? Apakah disebabkan karena kurang mantapnya perencanaan atau apakah ide-ide yang telah dipikirkan belum matang ? Apakah ini pertanda budaya kita belum menuju ke level yang lebih baik karena kurangnya mantapnya konsep tadi? Sejauh mana identitas dan nilai yang telah kita anut atau adakah yang salah dengan interaksi diantara sesama kita? Apakah kita sedang menuju kemunduran peradaban? Sesuatu yang sangat mengerikan saya rasa.

Kawasan pendidikan memang sebuah hal bagus dan sepertinya telah dipikirkan masak-masak. Tidak hanya di Indonesia di luar negeri konsep ini sepertinya telah terlaksana dengan baik. Sebagai contoh lembah Silikon di California dan Bangalore, kawsan Techno park di Malaysia. Ini menandakan negara ini telah menuju dan telah mengalami proses pembelajaran menuju ke arah yang lebih baik.

Yang saya lihat disini adalah betapa terdapat kesenjangan sosial yang terjadi. Di Jatinangor, harga kost-an mahasiswa mulai berkisar dari 1,5 juta sampai 12 juta per tahun. Itu lebih disesuaikan dengan kemampuan finansial dari mahasiswanya sendiri. Yang lebih membuat prihatin saya adalah transisi yang dialami oleh para penduduk asli dari Jatinangor sendiri. Mereka terlihat dipaksa oleh lingkungannya untuk berubah yang dimana mereka sendiri belum siap untuk berubah secepat itu. Minimnya pendidikan yang dikecap oleh warga sekitar berpengaruh dalam kemampuan mereka dalam mengelola finansial mereka. Uang hasil jualan sawah tidak semuanya dipergunakan untuk memutar produksi baru. Ada untuk memperbaiki rumah sekalian membuka kostan juga. Yang lainnya heboh memilih membeli motor dan menjadi tukang ojek.

Para pendatang yang lebih perhitungan tampak menuai hasil yang menggembirakan. Uang mereka seolah berputar sehingga menjadi passive income. Tak heran di Jatinagor kehidupan si miskin dan si kaya tampak saling bedampingan. Gubuk reyot masih dijumpai. Kostan seperti apartemen tampak mulai menjulang di langit Jatinangor. Ramainya kawasan ini juga membuat para pengemis dan gelandangan beserta pengamen berbondong-bondong meminta uang dari para mahasiswa. Semakin hari semakin banyak. Mereka menjadi tidak terbendung. Anak-anak yang masih mempunyai orang tua dipaksa mengemis tiap harinya. Yang membuat saya heran mereka mengemis dengan menggunakan baju yang berbeda tiap harinya. Pertanda mereka masih memiliki orang tua.

Hal yang seperti diuraikan diatas bukanlah sesuatu yang baik, melainkan menakutkan. Bayangkan sedari kecil mereka telah ditanamkan nilai untuk mengemis, sebuah profesi yang merendahkan martabat manusia. Akankah seperti ini anak Indonesia di masa depan? Menjadi peminta-minta, tidak mampu berdikari di atas kaki sendiri. Hal ini sangat destruktif sekali. Perasaan rendah diri berkepanjangan akan menanamkan budaya yang tidak pernah mau maju. Budaya kaum primitif dan selalu ketinggalan daripada yang lainnya.

Itu beberapa dampak sosial-psikis yang ditimbulkan oleh kawasan ini. Dampak lingkungannya juga patut menjadi perhatian. Dibukanya Jatinangor menjadi kawasan pendidikan telah menambah pundi-pundi para pendatang,tetapi neraka bagi penduduk sekitar. Kehidupan ekonomi masyarakat sekitar tidak beranjak positif. Sikap cepat merasa puas dengan hasil penjualan piringan sawah telah membawa malapetaka dari pemduduk sekitar. Seandainya Jatinangor tidak menjadi kawasan pendidikan mereka setidaknya mereka masih mampu bekerja sebagai petani menggarap sawah dan menghasilkan panen yang lumayan. Walaupun profesi petani di Indonesia identik dengan kemiskinan. Itu adalah masa lalu. Sulit akan berubah kembali seperti sediakala. Sekarang mereka sibuk berjualan di kaki lima atau menjadi tukang ojek di sekitar lingkungan kampus. Yang lebih memprihatinkan mereka rela menjadi calo kostan ketika musim penerimaan mahasiswa baru tiba. Mereka memberi informasi mengenai kostan berjaga-jaga di jalan utama melihat para mahasiswa baru dan orangtuanya yang sibuk mencari kostan. Pada musim inipun para calo tumbuh bak cendawan.

Yang terbayang ketika saya memikirkan frase kawasan pendidikan adalah baik secara infrastruktur dan suprastruktur telah tersedia dengan baik. Dengan arti kawasan tersebut telah siap menerima perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain kawasan yang dipilih tidak hanya kawasan yang jauh dari keramaian melainkan bagaimana kondisi sosial masyarakatnya. Apakah dengan kawasan pendidikan akan mencerdaskan kawasan di sekitarnya atau kawasan pendidikan akan meningkatkan kecerdasan dan kepekaan penduduk sekitar terhadap pendidikan.

Pada situasi yang pertama keberadaan kawasan pendidikan akan memberikan pencerahan bagi penduduk sekitar. Dengan kata lain diharapkan secara gradual pola pikir masyarakat sekitar akan berubah menuju ke arah yang lebih baik. Sedangkan pada kondisi yang kedua, masyarakat sekitar adalah masyarakat yang memang telah mempunyai budaya pendidikan yang baik, sehingga mereka sangat siap dan tidak kaku dengan perubahan yang terjadi nantinya.

Yang saya lihat di Jatinangor adalah situasi yang pertama. Diharapkan dengan pemindahan kawasan pendidikan di Jatinangor akan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan mengubah pola pikir masyarakat sekitar. Yang menjadi persoalan di kemudian hari ketika infrasturktur yang diharapkan lebih diserahkan ke pasar tanpa ada pengawasan secara massive dari pemerintah setempat. Efek yang tercipta adalah seperti yang saya dan mahasiswa lainnya saat sekarang ini. Proyek penciptaan kawasan pendidikan hanya berupa simbol belaka berupa pembangunan fisik gedung kampus. Setelah itu habis. Tidak ada tindak lanjutan atau evaluasi terhadap perkembangan masyarakat disekitarnya. Tidak ada persiapan mental bagi penduduk sekitar seperti apa Jatinangor nantinya ketika telah berubah menjadi kawasan pendidikan. Penduduk sekitar tampak bingung dengan transisi sosial yang terjadi.

Pengrusakkan lingkungan

Selain hal yang telah diuraikan di atas tadi, Jatinangor mulai mengalami penyakit akut kota besar. Selain aspek sosio-ekonomis, pengrusakkan lingkungan mulai menunjukkan dampaknya. Pesatnya pembangunan kost-an tidak diimbangi dengan pelestarian lingkungan yang baik. Semua orang sibuk mencari untung. Sementara itu, penduduk asli hanya tampak diam melihat situasi yang terjadi. Pembangunan kost-an bagi puluhan ribu mahasiswa secara serempak telah menimbulkan efek kerusakan lingkungan yang lumayan parah. Penyedotan air tanah secara berlebihan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah di kemudian hari. Selain itu tidak banyak tong sampah yang disediakan di sepanjang jalan utama atau gang sempit di kostan. Bandar/selokan kebanyakan dibuat sempit. Padahal semua kotoran dapur/limbah rumah tangga dan toilet dialirkan ke selokan tersebut.

Keberlangsungan sungai di Jatiangor juga memprihatinkan. Pendangkalan dan banyaknya sampah yang dibuang di sungai telah membuat kondisi lingkungan di sekitar sungai semakin parah. Tidak hanya pendangkalan, tetapi sungai mulai kering akibat ditumbuhi ganggang dan penghijauan alamiah oleh rumput-rumput liar. Efeknya semakin terasa ketika saat sekarang ini. Ketika musim kemarau, Jatinangor menjadi kawasan yang teramat panas sedangkan pada musim hujan becek dan genangan air semakin banyak yang amat mengganggu semakin banyak muncul ke permukaan. Jatianangor seperti sedang sakit. Dipaksa menjadi sebuah kota secara mendadak yang sedari awalnya adalah kawasan persawahan yang asri dan hijau. Seandainya mereka (alam Jatinangor) bisa bicara entahlah kata-kata pertama yang akan keluar dari mulut mereka.

Panasnya cuaca di Jatinagor terutama di siang jari telah membuat banyak mahasiswa/i menjadi manja. Mereka cenderung naik angkot walaupun kost-an mereka tidak mencapai 1 kilometer. Mereka tidak mau lagi jalan kaki. Selain karena melelahkan,kondisi pedestrian di Jatinangor juga memprihatinkan, lubang-lubag,sempit dan tidak aman. Dapat dibayangkan pada jam-jam sibuk mahasiswa, mobil angkot ramai-ramai ngetem di tepi jalan menunggu tumpangan. Mereka saling berlomba memperebutkan penumpang. Para angkot yang ngetem pun berjejeran di tepi jalan sehingga membuat arus lalu lintas menjadi macet. Dapat ditebak, gas yang dibuang oleh angkot tersebut perlahan-lahan mulai membentuk efek rumah kaca yang semakin membuat bumi ini panas.

Jatinangor sekarang tak ubahnya seperti hutan beton. Kostan mahasiswa bercampur dengan rumah penduduk berserakan dimana-mana. Pembangunan kost-an yang rapat semakin menambah panas Jatinangor karena bangunan-bangunan yang dibangun kebanyakan menyerap panas.Jatinangor yang dulunya kaya akan lahan kosong sekarang berubah menjadi lahan yang gersang dan panas ketika kemarau. Pepohonan amat jarang sekali ditanam atau hanya sisa dari kehijauan masa lampau. Teramat jarang ditemukan pemukiman dengan lahan atau pekarangan di depan rumah. Jalan-jalan sempit mulai dibeton, trotoar di pinggir jalan diganti menjadi beton akibat menjamurnya toko-toko yang memuat kebutuhan dasar mahasiswa.

Di Jatinangor setiap usaha saling bersaing. Baik melibatkan para pendatang atau para penduduk asli Jatinangor. Bagi masyarakat yang tanahnya telah habis terjual dan memiliki sedikit simpanan, mengojek adalah pilihan yang umum yang diambil. Kebanyakan usaha/pertokoan lebih dikuasai oleh para pendatang. Menjadi problematik tersendiri ketika Jatinangor yang semakin reyot ternyata juga mengalami masalah sosial ekonomi yang kompleks yang berdampak pada identitas mereka dan nilai-nilai yang mereka anut.

Petakan sawah memang masih bisa dijumpai hanya saja telah menyusut jauh dari sebelumnya. Identitas dan nilai-nilai yang selama ini lebih seputar ke aspek pertanian diakibatkan dulunya sebagian besar penduduknya adalah petani,sekarang tengah menghadapi permasalahan lingkungan yang akut . Sementara itu, penduduk asli juga lebih kebanyakan diam. Mengatasnamakan dan memprioritaskan kepentingan ekonomi di atas lingkungan juga bukan alasan. Di pelosok India, dimana penduduk miskinnya ternyata berhasil mengembangkan bahan bakar dengan menggunakan kotoran ternak sehingga keasrian daerah mereka tetap terjaga. Sedangkan di Jatinangor, lahan kosong sudah jarang dijumpai. Kondisi untuk beternak dan bertani sudah menjadi romansa masa lalu belaka. Sekarang mereka harus mengejar ketertinggalan dengan bersaing dengan para penduduk lainnya memperebutkan uang yang dikeluarkan mahasiswa per harinya.Ini semakin memperkuat bahwa kebudayaan bersifat superorganik. Ketika perkembangan budaya itu lebih cepat dari perkembangan umat manusia itu sendiri[3].

Mahasiswa sendiri dalam posisinya sebagai agen,yang memberikan identitas dan nilai-nilainya kepada masyarakat, ternyata tidak mampu berperan secara signifikan. Mahasiswa menjadia agen yang terjebak dengan kondisi yang telah terkonstruk ketika mereka menginjakkan kaki di Jatinangor ini.

Selain kebiasaan mereka yang suka naik angkot walaupun rute yang ditempuh tidak lah jauh,mahasiswa juga menjadi agen pengonsumsi makanan terbesar di Jatinangor. Mahasiswa yang terbiasa hidup praktis lebih sering menghabiskan uangnya berbelanja di minimarket yang bertebaran di kawasan ini. Setiap kali mereka berbelanja setiap kali pula mereka keluar dari pintu minimarket setidaknya mereka akan membawa satu kantong plastik/kresek . Bayangkan saja jika mereka berbelanja sekali tiga hari minimal dan jumlah mereka yang mencapai puluhan ribu di kawasan ini. Berapa banyak sampah plastik yang dibuang perharinya? Selama saya di Jatianangor, saya tidak pernah melihat sentral pembuangan sampah di sini dan melihat mobil pengangkut sampah membawa sampah-sampah tersebut. Kemanakah sampah-sampah anorganik itu dibuang ? Yang patut diingat, di Jatinangor jumlah tong sampah di pinggir jalan amat minim, jika boleh dikatakan hampir tak ada.

Bukan hanya itu, aspek paling penting dalam perkuliahan adalah kertas. Sementara kita sendiri tahu bahwa kertas tersebut berasal dari bubur kertas( pulp) dari pohon-pohon yang ditebang. Semakin banyak kertas yang dipakai semakin banyak pula pohon yang ditebang. Itu berarti penyuplai oksigen bagi bumi ini akan semakin berkurang. Hanya saja mahasiswa itu sangat membutuhkan kertas. Adalah sebuah hal yang tak dapat dibenarkan pula jika penggunaan kertas dilarang. Akan lebih tepat jika penggunaan dipakai secara efektif dan efisien. Selain kertas untuk kegiatan perkuliahan, tissu juga merupakan barang yang paling sering dibeli oleh mahasiswa. Padahal akan lebih bijak jika para mahasiswa menggunakan sapu tangan saja ke kampus atau ketika berada di luar kampus yang berdebu dan berpasir.

Satu hal yang cukup saya risaukan mengenai penggunaan kertas di kampus untuk pengumuman, baik berupa pamflet, leaflet, poster, konfrontasi, propaganda, yang biasanya digunakan dalam jumlah yang massive. Suatu kala saya pernah membersihkan mading kampus dan ternyata kertas-kertas yang ditempel telah mencapai tujuh Lapis. Setelah itu kertas-kertas tersebut dibuang begitu saja dan keesokan harinya mahasiswa kembali menempel dan menempel informasi baru. Mereka abai dengan kertas-kertas yang telah mereka keluarkan semenjak mereka pertama kali mulai melakukan aktivitas tersebut. Padahal mahasiswa merupakan agen yang paling sering mendengungkan frase pemanasan global di telinga masyarakat banyak. Saya sendiri adalah seorang mahasiswa dan saya juga prihatin dengan pemikiran dan kondisi saya sebagai mahasiswa yang terwakili seperti itu. Padahal jika mahasiswa mau meluangkan waktunya mendaur ulang kembali kertas-kertas yang telah menggunung tersebut dan menjadikannya sebuah bisnis yang berbasis ramah lingkungan maka keuntungan yang diperoleh juga tidak sedikit. Identitas mahasiswa semakin baik dan reputasinya sebagi agen perubahan juga terlihat real tentunya.

Kost-an yang sempit dan rapat, pembuangan sampah sembarangan, penyusutan air tanah akibat dipompa terus menerus mengakibatkan sanitasi di kawasan ini juga tidak begitu baik. Saluran pembuangan yang sempit dan biasanya di depan rumah menjadi sarang penyakit bagi siapapun. Itu belum termasuk limbah yang dikeluarkan oleh setiap rumah makan dan kost-an yang ada di kawasan ini. Yang patut diingat Jatinangor juga berbatasan dengan kawasan industri lainnya yakni Kawasan Bandung Timur.

Saya pernah diingatkan oleh seorang mahasiswa kedokteran di Unpad bahwa pada bulan tertentu Jatinangor merupakan endemik bagi penyakit tipus dan muntaber. Ini bisa diakibatkan tidak sterilnya kondisi makanan yang berada di kawasan ini. Sedangkan faktor lainnya berupa telah semakin terkontaminasinya kondisi air tanah di Jatinangor akibat pembuangan limbah serta penyedotan air tanah secara berlebihan.

Jika kita berjalan di sepanjang trotoar Jatinangor akan terlaihat limbah-limbah kotor yang telah menghitam menggenangi selokan-selokan yang berada di tepi jalan dan di depan toko-toko. Tak jauh dari sana puluhan pedagang kaki lima juga semakin ramai menjajakan jualannya. Lalat banyak beterbangan, selain itu, piring-piring yang telah dicuci cuma dicuci seadanya. Sisa air cuciannya dibuang begitu saja yang kemudian menngenang dan memunculkan keadaan yang lembab. Sedangkan yang namanya mahasiswa, selalu berpikir bagaimana perut kenyang tetapi dengan harga yang murah. Tak heran para pedagang kaki lima pun menjadi serbuan mereka. Ketika hukum pasar berjalan dan semua pihak senang, kondisi ini akan terus berlanjut.

Agen versus struktur

Di sinilah kekompleksan masalahnya semakin menjadi-jadi. Di satu sisi pemindahan kawasan pendidikan diharapkan menjadi sebuah kawasan yang dapat mencerdaskan penduduk di sekitarnya. Akan tetapi, pemindahan kawasan pendidikan tersebut hanya lebih memberikan keuntungan dari sisi finansial saja bagi penduduk yang jeli melihat peluang usaha di sini. Sedangkan yang tidak siap akan semakin tergusur. Kesenjangan sosial terjadi. Mahasiswa yang datang silih berganti pertahunnya diharapkan dapat memberikan identitas yang berarti serta menyebarkan nilai-nilai edukasi dan beradab bagi lingkungan sekitarnya. Hanya saja mahasiswa pun berada dalam kondsi yang kerab salah. Ketidaksiapan sarana dan prasarana di luar kampus ditambah kondisi sosial masyarakat yang tidak merata membuat mereka menjadi diam dan terjebak akan situasi ini.

Nilai-nilai dan identitas yang diharapkan dari mahasiswa tadi ternyata tak dapat dirasakan maksimal oleh masyarakat. Masyarakat cenderung hanya kecipratan uang dari si mahasiswanya saja. Kondisi saling abai inilah yang nantinya berbahaya yang pada akhirnya menciptakan sebuah identitas dan nilai-nilai baru bagi Jatinangor. Yang pada suatu saat menjadi budaya atau sedang menjadi budaya bagi kawasan ini. Setiap pihak saling abai dan tidak terlalu dekat secara emosional. Ini akan terus berlangsung terus menerus seperti lingkaran setan. Tidak ada yang mau memutusnya. Anatara agen dan struktur saling kena mengena dan saling menyalahkan. Entah siapa yang memulai duluan. Pembiaran yang dipelihara akan terus menjadi sebuah budaya jelek bagi negara ini. Yang pergi meninggalkan nilai-nilainya sedangkan yang datang menyerap nilai-nilai dan identitas pembiaran yang ditinggalkan oleh para penghuni kawasan ini.

Kita terpaksa dan dipaksa untuk memaklumi apa yang terjadi. Yang pada awalnya bertentangan dengan hati nurani akhirnya membuat kita menjadi immune terhadap kondisi tersebut. Para anak-anak yang melihat orangtua mereka sering membuang sampah di sungai dan melihat para pengemis cilik meminta-minta seakan terbawa arus yang kuat ini. Ketika orang tua atau keluarga serta teman juga melakukannya mereka secara alamiah akan menjadi bagian dari identitas itu juga. Mahasiswa baru yang melihat kondisi ini tetapi tidak pernah adanya counter attack dari para almamaternya juga menjadi maklum pada akhirnya dan mencirikan serta memberi identitas kepada Jatinangor sebagai kawasan yang tak layak bagi kawasan pendidikan. Gersang, ketidaknyamanan, kesenjangan sosial, dan kemiskinan merupakan hal-hal yang akan tertanam dalam bagi siapa saja yang melihatnya. Ketika tidak ada yang melakukan perubahan maka selama itu pulalah mereka akan memberikan identitas yang sama pada Jatinangor selama puluhan tahun nantinya.

Budaya pembiaran semakin terpelihara dan adalah berbahaya bagi sebuah proses pembangunan, tak terkecuali bagi lingkungan. Budaya yang saling abai tadi berakibat kondis dan kelayakan Jatinangor semakin memprihatinkan.

Menyelesaikan permasalahan seperti ini tidaklah cukup hanya ditinjau dari paham positivis saja. Semisalnya, Jakarta akan lumpuh tahun 2014. Pernyataan ini cenderung positivis, terlalu mengandalkan data-data kuantitatif di lapangan. Mereka bergerak dan beropini lebih banyak berdasarkan data statistik. Padahal variabel dalam ilmu sosial sangat berkaitan dan kompleks sekali. Tak ada batasan yang mumpuni yang disepakati oleh para pakarnya, karena tidaklah sepraktis variabel di ilmu alam. Permasalahan yang melanda melanda jatinangor saat ini juga harus dipikirkan melalui pendekatan emansipatoris. Pendekatan merupakan kebalikan dari pendekatan positivis.

Yang saya perhatikan selama saya berada satu tahun di Jatinangor adalah permasalahan identitas dan nilai dari masing-masing agennya. Pemerintah yang juga sebagai agen memberikan nilai-nilai dan identitas yang mereka punya dengan berupa membangun struktur yang dinamakan kawasan pendidikan Jatinangor. Diharapkan dengan struktur yang tercipta akan memberikan nilai-nilai dan identitas positif kepada lingkungannya berupa pemberdayaan nilai-nilai edukasi. Sayangnya nilai edukasi yang diharapkan tadi seakan menggantung akibat ketidaksiapan berbagai pihak dalam menyukseskan proyek ini. Antara agen-agen tampak saling bertabrakan. Si mahasiswa menginginkan prasarana dan kenyamanan yang lebih baik di luar kampus. Sedangkan para penduduk hanya mampu menyediakan apa adanya karena lebih cenderung menjadi passive.

Ketika nilai dan identitas dari struktur tadi tidak dapat tertangkap dengan baik oleh masyarakat, maka masyarakat akan cenderung menjadi kecewa. Efek yang ditimbulkan dari tadi kekecewaan tadi kembali menghasilkan nilai dan identitas baru, yang sayangnya tidak lah begitu baik bagi perkembangan masyarakat sekitar. Nilai dan identitas baru tadi kembali diserap oleh para mahasiswa, terutama mahasiswa baru yang pertama kali menginjakkan kakinya di jatinangor. Melihat struktur yang telah tercipta di Jatianngor seperti itu berupa nilai dan identitas yang “unik “ tadi, maka mahasiswa tersebut secara langsung masuk ke pesuran setan tadi. Dimulailah sebuah struktur yang penuh pembiaran dan abai terhadap masing-masing agennya. Secara berpola dan membentuk silkus, maka antara agen dan struktur yang diciptakannya tidak bisa dikatakan siapa yang bersalah terlebih dahulu. Kedua hal tersebut muncul secara bersamaan.

Apa yang saya dapat pelajari dari pemindahan kawasan pendidikan ke Jatinangor adalah betapa susahnya mengimplementasikan sebuah program yang sangat baik secara teoritis. Ketika gagasan telah dikeluarkan dan proyek dimulai semuanya tampak berjalan mulus. Namun ketika telah sampai pada tahap implemetasi kita menjadi sangat lemah. Kita menjadi negara dengan tingkat pengawasan dan pelaksananan dari pemerintahnya yang rendah. Apakah ini mencerminkan budaya Negara Indonesia yang lemah dalam implementasi. Apakah kita cenderung menyadap budaya instan? Inikah pertanda kita bukanlah negara yang tidak produktif, melainkan menganut budaya yang konsumtif.

Kuranganya tingkat pengawasan dari pemerintah dan pembiaran dari pemerintah telah menghasilkan sebuah kekecewaan yang luar biasa dari para rakyat. Budaya pembiaran dan abai yang ditimbulkannya akan sangat berbahaya bila merembet kemana-mana. Tak terkecuali bagi lingkungan di Jatinangor yang semakin terancam. Yang patut diingat dan diwaspadai adalah mengenal manusia memang lebih susah daripada alam, tetapi jangan sampai diri kita melupakan lingkungan karena lingkungan merupakan alat yang paling ampuh dalam membunuh manusia dalam waktu yang sekejap. Tidak memahami manusia adalah perkara sulit, tidak memahami alam adalah bencana.



[1] Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hal. 180

[2] Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hal. 186

[3] Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hal. 182.

2 komentar:

Bimuroray mengatakan...

huuh, copaaa, gw ga kuat baca semua nya, tapi yang pasti, posting ini, bikin gw kangen ama masa2 gw masih SD, dimana pagi2 pake jaket itu hal yang sangat lumrah, dan gw bisa ngeliat nafas gw berwarna putih di pagi hari. gw juga inget waktu kecil seneng banget kalo diajak ibu gw ke jatinangor, sepi dan dingin !! huuhuu, saya kangen sekali masa masa itu..

D. Sudagung mengatakan...

bagus banget kang,,bahasanya mantap...bagi2 atuh kang ilmunya??hehhehee...visit blog gw juga y,,saran ato kritik ditunggu..

d4n50edagoeng.blogspot.com