Reformasi Parlemen di Indonesia
(Oleh: Solpamili Pratama)
(Oleh: Solpamili Pratama)
Sudah bukan rahasia umum lagi kalau kinerja dari parlemen kita masih belum memuaskan. Pergunjingan mengenai lembaga perwakilan rakyat tesebut secara massiv selalu disorot media domestik dan kebanykan berkomentar dengan nada miring. Sampai sekarang pun pergunjingan akan kinerja parlemen masih sering muncul di berbagai headline surat kabar domestik. Mulai dari isu korupsi yang melanda berbagai anggota DPR dari berbagai fraksi sampai pada kualitas dari anggota DPR yang pantas untuk dipertanyakan. Belum lagi sistem bikameral yang masih mengundang tanda tanya dari berbagai pengamat akibat timpangnya power antara DPR dan DPD. Selain itu kinerja dari anggota parlemen terutama DPR yang sering mangkir dalam rapat pembahasan UU sampai pada tidak mampunya DPR dalam merealisasikan target mereka dalam menyelesaikan UU semakin mengundang kritik dari berbagai kalangan. Janji mereka sebagai wakil rakyat sekarang semakin diperdebatkan.
Kualitas anggota DPR
Sekarang kita akan membahas beberapa poin yang masih menjadi kendala bagi parlemen Indonesia dalam mereformasi tubuh institusi tersebut. Sesuai dengan issue yang diangkat oleh Media Indonesia pada 18 Januari 2009 dinyatakan bahwa lebih dari 60% anggota DPR Indonesia tidak berkualitas. Hal ini menyebabkan proses legislasi di DPR menjadi tidak bermakna akibat kurangnya konstribusi pemikiran dari anggota DPR tersebut. Mereka hanya cenderung menjalankan tugas secara konstitusional dan formalitas belaka sehingga perdebatan yang terjadi bukan lagi perdebatan konseptual tetapi lebih cenderung pada tarik menarik kepentingan baik untuk kepentingan pribadi ataupun golongan. Hasilnya sudah dapat ditebak seperti kurang berkualitasnya UU yang dihasilkan akibat pemahaman yang kurang akan konsep-konsep yang akan disusun. Itu bisa dilihat dari seringnya komentar miring mengenai kandungan UU melalui pasal-pasal yang kontroversial. Contoh kasus terbarunya diantara lain paket UU politik serta UU tentang MA.
Pendapat di atas disampaikan oleh Idrus Marham yang meneliti kualitas anggota DPR dalam mempertahankan disertasinya di Universitas Gajah Mada. Jika kita tarik kebelakang,kurang berkualitasnya anggota DPR disebabkan tidak maksimalnya fungsi rekrutimen politik yang dilancarkan oleh parpol-parpol di Indonesia. Tidak berkualitasnya anggota DPR menandakan kualitas partai politik yang rendah pula. Rendahnya kualitas partai politik menandakan budaya politik yang juga masih rendah.
Hal ini seakan berbanding lurus dengan tingkat melek politik rakyat Indonesia yang masih berada pada tingkat parokial dan belum mencapai tingkat partisipan. Sikap politik rakyat hanya terasa pada Pemilu belaka sedangkan setelah event tersebut bisa dikatakan aktivitas politik hanya berada pada tingkat elite belaka. Apa yang terjadi sekarang menunjukkan bagaimana masih rendahnya kualitas infrastruktur politik yang saling mempengaruhi suprastruktur politik di Indonesia.
Sistem bikameral
Semenjak UUD 45 diamandemen terlihat perbedaan yang amat kentara pada peran badan legislatif jika dibandingkan dengan peran legislatif di masa Orde lama dan orde baru. Jika semasa pemerintahan Soekarno dan Soeharto peran dari eksekutif sangat mendominasi, maka pada zaman reformasi ini peran dari badan legislatif perlahan-lahan tampak mendominasi. Parlemen tidak hanya sebagai pelengkap saja dalam sistem politik Indoneisa saat ini seperti yang pernah terjadi semasa Orba. Makanya tak heran peran vital dari anggota parlemen sangat dinantikan rakyat dalam rangka menaikkan kembali citra pemerintahan Indonesia yang tercoret semasa Orba.
Hanya saja dibalik peran legislatif yang semakin signifikan ketimpangan power mulai tampak antara institusi legislatif itu sendiri . Jika pada masa pemerintahan sebelum reformasi, badan legislatif Indonesia hanya terdiri dari satu kamar saja (unikamaeral), maka pada saat ini institusi legislatif telah bertransformasi menjadi bikameral (dua kamar) yaitu antara DPR dan DPD. Kendati dalam konstitusi Indonesia tertulis sistem bikameral, tetapi pada pelaksanaannya ternyata masih saja mengandung semangat unikameral.
Jika kita lihat secara seksama, DPD tidak ubahnya seprti macan ompong. Peran DPD tampak sangat minimal dalam badan legislatif. Mereka bisa mengajukan UU, tetapi tidak bisa membahas dan mengesahkan UU tersebut. Wewenang sepenuhnya tetap dipegang o0leh DPR itu sendiri. Padahal, yang lebih cocok dikatakan sebagai wakil rakyat adalah DPD itu sendiri ketimbang DPR yang masih sangat kental dengan nuansa kepentingan partai politik. DPD lebih mewakili aspirasi daerah dan tentunyua lebih fasih dalam memahami kepentingan dari daerah-daerah darimana tempat ia berasal. Gejala aneh ini sendiri menimbulkan banyak petanyaan dari berbagai pakar politik. Harus diakui terbentuknya DPD ini juga sebagai penghargaan terhadap semangat otonomi daerah.
Reformasi parlemen
Menguatkan peran DPD
Reformasi parlemen di Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak UUD 45 diamandemen. Perubahan yang ditimbulkan telah menimbulkan peran dan wewenang baru. Ada Wewenang yang dikuatkan dan ada pula wewenang yang dikurangi. Hanya saja dalam perjalanannya, wewenang itu kemudian menimbulkan ketimpangan dan berpengaruh signifikan terhadap tatanan politik Indonesia. Semangat bikameral yang diusung tinggi oleh amandemen itu sendiri harusnya konsisten untuk dipertahankan. Harus diingat betapa susahnya Republik ini dalam mengatasi konflik kepentingan yang terjadi dalam lingkup para elite politik Indoneisa selama satu dekade belakangan ini. Banyak perubahan yang dihasilkan dan berdampak positif tentunya bagi perkembangan aspek politik dan sosial di Indonesia.
Yang patut diwaspadai adalah sikap bangsa ini yang kurang gigih dalam mengimplementasikan pemikiran-pemikiran yang telah dituangkan dengan sangat baik. Jika peran dari DPR terlalu menggurita jika dibandingkan dengan peran DPD, harus dimaklumi sebagai buah pemikiran dari para pemikir politik Indonesia itu sendiri. Bisa jadi pembentukan DPD pada awalnya memang cuma diciptakan sebagai alat uji coba belaka dan akan dievaluasi kembali beberapa tahun kemudian.
Saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengoreksi dan mengevaluasi peran dari legislatif itu sendiri. Pilihannya tentu saja ada dua menghapuskan lembaga DPD atau dengan kata lain kembali ke sistem bikameral atau memperkuat peran dari DPD itu sendiri. Kedua hal ini harus dipilih oleh bangsa ini. Kita tentu tidak ingin melihat kondisi parlemen kita yang secara konseptual termasuk bikameral tetapi dalam pelaksanaannya unikameral. Tentu saja hal ini akan menimbulkan candaan negara lain kita meneliti dan mengamati sistem parlemen di Indonesia. Kedua pilihan ini tentu saja akan membuat UUD 45 kembali diamandemen dan jelas membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit serta konflik kepentingan yang alot antara kubu-kubu yang berkepentingan.
Jika kita berkaca pada Amerika serikat sebagai representasi demokrasi yang baik, disana peran antara DPR (House of representative) dengan DPD (Senat) sangatlah berimbang. Yang harus dicermati adalah pada negara demokrasi sistem parlemennya memang bikameral. Hanya pada negara otoriter dan komunislah dimana sistem parlemennya unikameral akibat pengaruh dari pemerintahan yang terpusat. Makanya dalam hal ini saya cenderung untuk memilih memperkuat peran dari DPD itu sendiri. Selain tetap dalam menjaga semangat otonomi daerah, hal ini akan berdampak positif pada munculnya figur- figur yang segar dalam kancah perpolitikan Indonesia yang berasal dari berbagai daerah sehingga tidak hanya didominasi oleh satu etnis saja, misalnya Jawa.
Akan tetapi, keinginan untuk memperkuat peran DPD diartikan oleh para elite politik dengan membolehkan orang-orang partai menjadi anggota DPD. Fakta yang membuat miris adalah kebanyakan mereka yang akan menjadi DPD merupakan orang buangan partai atau telah lanjut usia. Hal yang ditimbulkan adalah DPD semakin tidak mempunyai power akibat peran orang parpol yang sedemikian dominan. DPD dikhawatirkan akan membuat independensi DPD semakin ternancam akibat konflik kepentingan parpol yang bersangkutan. Dengan kata lain ditakutkan akan terjadi keseragaman dalam bertindak dan berpikir karena lebih didominasi oleh orang-orang parpol.
Seperti yang kita ketahui bersama, keinginan rakyat Indonesia untuk menjadi anggota DPD tampak mengalami penurunan dibandingkan dengan pemilu 2004 lalu. Sedikitnya publikasi terhadap DPD serta wewenangnya juga yang minimal dalam parlemen membuat lembaga ini seakan kehilangan tajinya dalam kancah perpolitikan tanah air. Seandainya peran DPD semakin diperkuat dengan tetap menjaga independensi DPD maka keseimbangan dalam tubuh parlemen akan menghasilkan output yang bagus pula. Sebuah sistem tidak akan berjalan dengan baik jika hanya didominasi oleh satu bagian saja melainkan keseimbanganlah yang akan menciptakan “kesehatan” dalam tubuh parlemen itu sendiri. Sudah saatnya wewenang DPD diperkuat dan ditambah, seperti hak untuk membahas dan mengesahkan UU.
Memperbaiki fungsi parpol-rekruitmen politik
Satu hal yang menyebabkan mengapa rendahnya kualitas anggota parlemen Indonesia adalah karena masih belum maksimalnya rekruitmen politik yang dilakukan oleh partai politik itu sendiri. Itu bisa dilihat dari mampatnya regenerasi dalam tubuh partai politik itu sendiri. Figur yang muncul ke permukaan bisa dikatakan masih jajaran senior dalam kancah politik indonesia. Teramat jarang kita lihat parpol yang memiliki kader yang jago /ahli dalam aspek tertentu. Seperti pakar ekonomi, hukum, politik, hubungan internasional, pertahanan, dan lain-lain. Hal ini diakibatkan juga karena mayoritas parpol belum memiliki platform politik yang jelas. Misalnya Partai Republik dan Demokrat di AS, Parta Buruh dan Konservatif di Inggris, atau Partai Liberal dan Buruh di Australia. Partai-partai diatas sangat jelas dalam mengusung platform politik mereka sehingga memudahkan para pemilih (masyarakat) dalam memahami program kerja mereka sehingga hal ini tentunya akan membantu iklim budaya politik yang semakin baik.
Mayoritas kader-kader yang dihasilkan ( yang nantinya akan menduduki kursi parlemen) teramat jarang yang merupakan produk murni dari sebuah parpol. Maka tak heran jika kader suatu parpol bisa berpaling begitu saja ke parpol yang lainnya. Hal ini disebabkan kurangnya identitas yang dimiliki parpol tersebut yang kurang menancap di hati para angggotanya.
Jadi dalam mereformasi sebuah paelmen harus dilakukan dari dua sisi yang berbeda. Pertama perbaiki dulu input dari parlemen itu sendiri yakni anggota parpol (infrastruktur politik) dan kemudian reformasi kembali wewenang dari institusi legislatif itu sendiri dalam mencapai keseimbangan dalam tubuh legislatif itu sendiri anatara DPR dan DPD dengan cara memperkuat peran DPD tanpa menghilangkan independensi dari lembaga DPD itu sendiri.
Kualitas anggota DPR
Sekarang kita akan membahas beberapa poin yang masih menjadi kendala bagi parlemen Indonesia dalam mereformasi tubuh institusi tersebut. Sesuai dengan issue yang diangkat oleh Media Indonesia pada 18 Januari 2009 dinyatakan bahwa lebih dari 60% anggota DPR Indonesia tidak berkualitas. Hal ini menyebabkan proses legislasi di DPR menjadi tidak bermakna akibat kurangnya konstribusi pemikiran dari anggota DPR tersebut. Mereka hanya cenderung menjalankan tugas secara konstitusional dan formalitas belaka sehingga perdebatan yang terjadi bukan lagi perdebatan konseptual tetapi lebih cenderung pada tarik menarik kepentingan baik untuk kepentingan pribadi ataupun golongan. Hasilnya sudah dapat ditebak seperti kurang berkualitasnya UU yang dihasilkan akibat pemahaman yang kurang akan konsep-konsep yang akan disusun. Itu bisa dilihat dari seringnya komentar miring mengenai kandungan UU melalui pasal-pasal yang kontroversial. Contoh kasus terbarunya diantara lain paket UU politik serta UU tentang MA.
Pendapat di atas disampaikan oleh Idrus Marham yang meneliti kualitas anggota DPR dalam mempertahankan disertasinya di Universitas Gajah Mada. Jika kita tarik kebelakang,kurang berkualitasnya anggota DPR disebabkan tidak maksimalnya fungsi rekrutimen politik yang dilancarkan oleh parpol-parpol di Indonesia. Tidak berkualitasnya anggota DPR menandakan kualitas partai politik yang rendah pula. Rendahnya kualitas partai politik menandakan budaya politik yang juga masih rendah.
Hal ini seakan berbanding lurus dengan tingkat melek politik rakyat Indonesia yang masih berada pada tingkat parokial dan belum mencapai tingkat partisipan. Sikap politik rakyat hanya terasa pada Pemilu belaka sedangkan setelah event tersebut bisa dikatakan aktivitas politik hanya berada pada tingkat elite belaka. Apa yang terjadi sekarang menunjukkan bagaimana masih rendahnya kualitas infrastruktur politik yang saling mempengaruhi suprastruktur politik di Indonesia.
Sistem bikameral
Semenjak UUD 45 diamandemen terlihat perbedaan yang amat kentara pada peran badan legislatif jika dibandingkan dengan peran legislatif di masa Orde lama dan orde baru. Jika semasa pemerintahan Soekarno dan Soeharto peran dari eksekutif sangat mendominasi, maka pada zaman reformasi ini peran dari badan legislatif perlahan-lahan tampak mendominasi. Parlemen tidak hanya sebagai pelengkap saja dalam sistem politik Indoneisa saat ini seperti yang pernah terjadi semasa Orba. Makanya tak heran peran vital dari anggota parlemen sangat dinantikan rakyat dalam rangka menaikkan kembali citra pemerintahan Indonesia yang tercoret semasa Orba.
Hanya saja dibalik peran legislatif yang semakin signifikan ketimpangan power mulai tampak antara institusi legislatif itu sendiri . Jika pada masa pemerintahan sebelum reformasi, badan legislatif Indonesia hanya terdiri dari satu kamar saja (unikamaeral), maka pada saat ini institusi legislatif telah bertransformasi menjadi bikameral (dua kamar) yaitu antara DPR dan DPD. Kendati dalam konstitusi Indonesia tertulis sistem bikameral, tetapi pada pelaksanaannya ternyata masih saja mengandung semangat unikameral.
Jika kita lihat secara seksama, DPD tidak ubahnya seprti macan ompong. Peran DPD tampak sangat minimal dalam badan legislatif. Mereka bisa mengajukan UU, tetapi tidak bisa membahas dan mengesahkan UU tersebut. Wewenang sepenuhnya tetap dipegang o0leh DPR itu sendiri. Padahal, yang lebih cocok dikatakan sebagai wakil rakyat adalah DPD itu sendiri ketimbang DPR yang masih sangat kental dengan nuansa kepentingan partai politik. DPD lebih mewakili aspirasi daerah dan tentunyua lebih fasih dalam memahami kepentingan dari daerah-daerah darimana tempat ia berasal. Gejala aneh ini sendiri menimbulkan banyak petanyaan dari berbagai pakar politik. Harus diakui terbentuknya DPD ini juga sebagai penghargaan terhadap semangat otonomi daerah.
Reformasi parlemen
Menguatkan peran DPD
Reformasi parlemen di Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak UUD 45 diamandemen. Perubahan yang ditimbulkan telah menimbulkan peran dan wewenang baru. Ada Wewenang yang dikuatkan dan ada pula wewenang yang dikurangi. Hanya saja dalam perjalanannya, wewenang itu kemudian menimbulkan ketimpangan dan berpengaruh signifikan terhadap tatanan politik Indonesia. Semangat bikameral yang diusung tinggi oleh amandemen itu sendiri harusnya konsisten untuk dipertahankan. Harus diingat betapa susahnya Republik ini dalam mengatasi konflik kepentingan yang terjadi dalam lingkup para elite politik Indoneisa selama satu dekade belakangan ini. Banyak perubahan yang dihasilkan dan berdampak positif tentunya bagi perkembangan aspek politik dan sosial di Indonesia.
Yang patut diwaspadai adalah sikap bangsa ini yang kurang gigih dalam mengimplementasikan pemikiran-pemikiran yang telah dituangkan dengan sangat baik. Jika peran dari DPR terlalu menggurita jika dibandingkan dengan peran DPD, harus dimaklumi sebagai buah pemikiran dari para pemikir politik Indonesia itu sendiri. Bisa jadi pembentukan DPD pada awalnya memang cuma diciptakan sebagai alat uji coba belaka dan akan dievaluasi kembali beberapa tahun kemudian.
Saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengoreksi dan mengevaluasi peran dari legislatif itu sendiri. Pilihannya tentu saja ada dua menghapuskan lembaga DPD atau dengan kata lain kembali ke sistem bikameral atau memperkuat peran dari DPD itu sendiri. Kedua hal ini harus dipilih oleh bangsa ini. Kita tentu tidak ingin melihat kondisi parlemen kita yang secara konseptual termasuk bikameral tetapi dalam pelaksanaannya unikameral. Tentu saja hal ini akan menimbulkan candaan negara lain kita meneliti dan mengamati sistem parlemen di Indonesia. Kedua pilihan ini tentu saja akan membuat UUD 45 kembali diamandemen dan jelas membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit serta konflik kepentingan yang alot antara kubu-kubu yang berkepentingan.
Jika kita berkaca pada Amerika serikat sebagai representasi demokrasi yang baik, disana peran antara DPR (House of representative) dengan DPD (Senat) sangatlah berimbang. Yang harus dicermati adalah pada negara demokrasi sistem parlemennya memang bikameral. Hanya pada negara otoriter dan komunislah dimana sistem parlemennya unikameral akibat pengaruh dari pemerintahan yang terpusat. Makanya dalam hal ini saya cenderung untuk memilih memperkuat peran dari DPD itu sendiri. Selain tetap dalam menjaga semangat otonomi daerah, hal ini akan berdampak positif pada munculnya figur- figur yang segar dalam kancah perpolitikan Indonesia yang berasal dari berbagai daerah sehingga tidak hanya didominasi oleh satu etnis saja, misalnya Jawa.
Akan tetapi, keinginan untuk memperkuat peran DPD diartikan oleh para elite politik dengan membolehkan orang-orang partai menjadi anggota DPD. Fakta yang membuat miris adalah kebanyakan mereka yang akan menjadi DPD merupakan orang buangan partai atau telah lanjut usia. Hal yang ditimbulkan adalah DPD semakin tidak mempunyai power akibat peran orang parpol yang sedemikian dominan. DPD dikhawatirkan akan membuat independensi DPD semakin ternancam akibat konflik kepentingan parpol yang bersangkutan. Dengan kata lain ditakutkan akan terjadi keseragaman dalam bertindak dan berpikir karena lebih didominasi oleh orang-orang parpol.
Seperti yang kita ketahui bersama, keinginan rakyat Indonesia untuk menjadi anggota DPD tampak mengalami penurunan dibandingkan dengan pemilu 2004 lalu. Sedikitnya publikasi terhadap DPD serta wewenangnya juga yang minimal dalam parlemen membuat lembaga ini seakan kehilangan tajinya dalam kancah perpolitikan tanah air. Seandainya peran DPD semakin diperkuat dengan tetap menjaga independensi DPD maka keseimbangan dalam tubuh parlemen akan menghasilkan output yang bagus pula. Sebuah sistem tidak akan berjalan dengan baik jika hanya didominasi oleh satu bagian saja melainkan keseimbanganlah yang akan menciptakan “kesehatan” dalam tubuh parlemen itu sendiri. Sudah saatnya wewenang DPD diperkuat dan ditambah, seperti hak untuk membahas dan mengesahkan UU.
Memperbaiki fungsi parpol-rekruitmen politik
Satu hal yang menyebabkan mengapa rendahnya kualitas anggota parlemen Indonesia adalah karena masih belum maksimalnya rekruitmen politik yang dilakukan oleh partai politik itu sendiri. Itu bisa dilihat dari mampatnya regenerasi dalam tubuh partai politik itu sendiri. Figur yang muncul ke permukaan bisa dikatakan masih jajaran senior dalam kancah politik indonesia. Teramat jarang kita lihat parpol yang memiliki kader yang jago /ahli dalam aspek tertentu. Seperti pakar ekonomi, hukum, politik, hubungan internasional, pertahanan, dan lain-lain. Hal ini diakibatkan juga karena mayoritas parpol belum memiliki platform politik yang jelas. Misalnya Partai Republik dan Demokrat di AS, Parta Buruh dan Konservatif di Inggris, atau Partai Liberal dan Buruh di Australia. Partai-partai diatas sangat jelas dalam mengusung platform politik mereka sehingga memudahkan para pemilih (masyarakat) dalam memahami program kerja mereka sehingga hal ini tentunya akan membantu iklim budaya politik yang semakin baik.
Mayoritas kader-kader yang dihasilkan ( yang nantinya akan menduduki kursi parlemen) teramat jarang yang merupakan produk murni dari sebuah parpol. Maka tak heran jika kader suatu parpol bisa berpaling begitu saja ke parpol yang lainnya. Hal ini disebabkan kurangnya identitas yang dimiliki parpol tersebut yang kurang menancap di hati para angggotanya.
Jadi dalam mereformasi sebuah paelmen harus dilakukan dari dua sisi yang berbeda. Pertama perbaiki dulu input dari parlemen itu sendiri yakni anggota parpol (infrastruktur politik) dan kemudian reformasi kembali wewenang dari institusi legislatif itu sendiri dalam mencapai keseimbangan dalam tubuh legislatif itu sendiri anatara DPR dan DPD dengan cara memperkuat peran DPD tanpa menghilangkan independensi dari lembaga DPD itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar