Politik Lingkungan (Environmental Politics)
(Oleh: Solpamili Pratama 170210070043)
Kita mungkin masih ingat kebijakan presiden SBY untuk menghemat penggunaan listrik dalam kehidupan sehari-hari kita. Selain itu kita mungkin sering kali mendengar kontroversi pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jepara yang menimbulkan kontroversi diakibatkan kekhawatiran yang berlebihan terhadap dampak massive yang ditimbulkan PLTN terhadap lingkungan sekitar. Selain itu kita juga bisa mengambil contoh dari penggunaan Busway di Jakarta yang ditujukan untuk mengurangi kemacetan serta memperbaiki kualitas udara di Jakarta. Bukan hanya penggunaan Busway, tetapi pengerukan kembali Kali Ciliwung, memajukan jam belajar murid sekolahan, penataan ruang terbuka hijau, merupakan upaya-upaya yang dilakukan Pemkot Jakarta dalam mengatasi degradasi lingkungan yang teramat parah. Atau pembangunan kawasan Pantai Indah Kapuk yang berbuntut pada rusaknya area hutan bakau di utara Jakarta. Tindakan-tindakan atau kebijakan tadi (kebijakan politik) merupakan bentuk-bentuk dari environmental politics, bisa merupakan kebijakan yang berdampak baik atau buruk.
Definisi environmental politics
Salah satu bidang, yang semakin menarik perhatian adalah politik lingkungan (environmental politics). Politik lingkungan biasanya berkaitan dengan politik penguasaan dan pemilikan sumberdaya alam dan perdagangan produknya. Selain itu juga strategi dan kebiasaan pemerintah mengalokasikan sumberdaya alam bagi masyarakat ataukah berpihak pada swasta dan pasar.Politik lingkungan juga berkaitan dengan peranan politik sekelompok orang dalam memperjuangkan keadilan dan kelestarian lingkungan. Salah satu ekspresi politik adalah dalam bentuk partai politik atau institusi yang dapat mempengaruhi keputusan politik pemerintah. Di dalam bahasa internasional biasa disebut dengan partai hujau (green party).
Politik lingkungan acapakali disamakan pengertiannya dengan ekologi politik. Beberapa definisi tentang ekologi politik yang asumsinya adalah sama yaitu: “environmental change and ecological conditions are (to some extent) the product of political processes”[1]. Jika keadaan lingkungan adalah produk dari proses‐proses politik, maka tidak terlepas pula dalam hal ini adalah keterlibatan proses‐proses dialektik dalam politik ekonomi.seperti pandangan Bryant mengenai ekologi politik menurutnya adalah suatu ilmu dinamika politik material melingkupi dan lebih perjuangan seperti bersambungan lingkungan di dunia ketiga. Sebagai tema yang terpenting adalah peran hubungan kekuasaan tak sama di konstitusi lingkungan meningkatkan kesadaran politik. perhatian tertentu di fokuskan pada konflik yang di timbulkan karena adanya akses lingkungan yang dihubungkan ke sistem politik dan hubungannya dengan ekonomi. Ekologi politik memfokuskan pada ditingkat masyarakat lemah/miskin, dihubungkan dengan lingkungan yang pada akhirnya melahirkan suatu konflik. Sehingga memunculkan suatu persepsi tentang permasalahan lingkungan, di sisi lainnya adanya suatu intervensi pengetahuan ilmiah barat terhadap local. Sedangkan isu masa depan di hubungkan untuk mengubah udara, mutu air, proses yang berkenaan dengan kota yang di hubungkan dengan organ tubuh manusia
Green Politics
Lemahnya bargaining politik lingkungan tidak lepas dari lemahnya bargaining input politik lingkungan berupa dukungan dan tuntutan politik elite infrastruktur. Hal itu bukan berarti tiadanya dukungan dan tuntutan politik lingkungan yang konstruktif dari masyarakat, tapi lebih disebabkan kemacetan sirkulasi politik lingkungan antara suprastuktur dan infrastruktur politik, baik di tingkat nasional maupun lokal. Rapuhnya pondasi politik lingkungan bisa dilihat dari input dan output politik yang tidak bersentuhan dengan kepentingan rakyat kebanyakan.Salah satu wujud output politik lingkungan yang amat kentara pada negara-negara umumnya adalah sering keluarnya kebijakan otoritatif para elite suprastruktur politik yang terlalu membuka ruang bagi masuknya kepentingan ekonomi kaum pemodal asing yang tak peduli soal lingkungan hidup, kehadiran mereka dinilai lebih banyak membawa masalah ketimbang berkah bagi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itulah partai politik sangat berperan untuk melihat arah keberpihakan pembangunan terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian partai politik dapat membuka ruang politik bagi suara-suara marjinal dan demikian pula dengan degradasi lingkungan yang selama ini menjadi gejala represi struktural dan cenderung terdiam. Menurut Vandana Siva (1993), akar krisis ekologis terletak pada kelalaian pihak penguasa dalam menyingkirkan hak-hak komunitas lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan lingkungan[2].
Green party
Untuk membangun sirkulasi sistem politik yang sanggup mengakomodasi kepentingan lingkungan, tampaknya kita sangat memerlukan partai hijau (green party). Partai politik seperti yang populer di Jerman, Norwegia, Austria, Australia, Selandia Baru, dan Swedia ini menawarkan konsep harmoni kehidupan dengan menyeimbangkan antara kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia. Meski menjadikan lingkungan hidup sebagai perjuangan utama, green party tidak hanya berbicara masalah alam dan lingkungan seperti banjir, longsor, pencemaran air, dan udara, melainkan juga berbicara soal peradaban yang di dalamnya termasuk kebudayaan, adat istiadat, politik, ekonomi, teknik, teknologi sistem infrastruktur dan lain-lain. Mereka berpikir, lingkungan hidup dan manusia saling memengaruhi. Dengan konsep itu, selama beberapa tahun terakhir ini, keberadaan green politics bisa membawa perubahan signifikan dalam kebijakan prolingkungan. Di Jerman, misalnya, green party berhasil memunculkan kebijakan penerapan pajak lingkungan (ecotax system) terhadap konsumsi energi dalam rangka menekan penggunaan energi secara berlebihan. Bermodalkan isu-isu lingkungan hidup serta dukungan banyak konsep dan pemikiran para penggiat dan pakar lingkungan hidup yang selama ini tidak mendapatkan tempat dalam proses pembuatan kebijakan lingkungan, nantinya green party diharapkan bisa menunjukkan eksistensinya. Melalui partai hijau, bargaining position aktivis dan pakar lingkungan akan lebih diperhitungkan. Mengutip Charlene Spretnak dalam The Spiritual Dimension of Green Politics, betapa pentingnya mengembangkan green politics (politik hijau); gerakan politik yang sadar ekologi[3]. Oleh karena itulah kebijakan-kebijakan sosial-politik-ekonomi kita sudah saatnya mempertimbangkan soal lingkungan hidup.
Environmental Politics pada level global
Dalam konteks hubungan internasional dikenal adanya konsep International Politics of the Environment yakni suatu proses dimana persetujuan antar negara mengenai isu lingkungan hidup dinegosiasikan apakah dengan cara menciptakan rezim maupun dengan cara menciptakan institusi internasional yang diperlukan. Proses dari International Politics of the Environment meliputi: adanya proses perjanjian atau negosiasi mengenai lingkungan hidup yang dilakukan oleh negara atau konstitusi, ada peraturan rezim yang dibuat untuk bekerjasama dalam bidang lingkungan hidup, adanya konflik dari kekuatan politik yang penyelesaiannya tergantung dari keberhasilan interaksi para aktor dalam lingkungan hidup.Lebih lanjut proses implementasi rezim lingkungan hidup internasional nantinya akan merupakan suatu proses dimana anggota rezim harus mengumpulkan,menuakar serta membahas informasi yang berkaitan dengan isu yang diangkat oleh rezim tersebut[4]. Berikut ini beberapa enviromental politic pada level global yang didominasi oleh rezim-rezim lingkungan:
Membiayai Pembangunan Berkelanjutan: GEF (Global Environment Facility)
GEF merupakan salah satu sumber keuangan untuk membiayai pembangunan yang berkelanjutan bagi negara-negara Selatan (berkembang) secara spesifik. Mekanisme GEF ini telah dimulai pada 1991 sebelum Konferensi Rio dimulai pada 1992. Akan tetapi, baru pada Konfernsi Rio lah GEF yang merupakan instrumen dalam transfer sumber daya, dari negara Utara ke negara Selatan merupakan produk yang dihasilkan dari Rio Summit. Pada 1994, GEF telah menjadi sebuah lembaga yang permanen. GEF memiliki 3 agen pelaksana yaitu: Bank Dunia, UNDP, dan UNEP. Bank Dunia berfungsi sebagai rumahnya, UNDP menangani masalah teknis, UNEP menangani koordinasi antara GEF dengan perjanjian internasional lainnya.GEF memiliki 14 negara donor dan 8 negara penerima serta 5 NGO pada Dewan GEF (GEF Council). GEF membiayai berbagai kebijakan dan program pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang seperti rusaknya ozon, biodiversitas, perubahan iklim. GEF membantu 1000 proyek di lebih 140 negara. Pada 2003 total dana yang dikucurkan GEF mencapai 4 milyar Dollar AS.
Rezim Pengrusakkan Ozon (Ozon Depletion Regime)
Semenjak penemuan oleh Mario Molina dan F.Sherwood pada 1974 bahwa CFC merusak lapisan ozon, para negosiator global mulai bekerja untuk mencapai konsensus bersama terhadap sebab dan akibat rusaknya lapisan ozon. Dengan ditemukannya sebuah lubang sebesar Amerika Utara pada lapisan ozon di atas Antartika, maka pada 1985 dimulailah sebuah konferensi yang bernama Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer , yang dilanjutkan pada 1987 dengan Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer.Dampak yang ditimbulkan rezim ini setelah diadopsi pada 1989 sungguh luar biasa. Penggunaan CFC dan Halons turun secara signifikan kendati target utama pada 2010 penggunaan CFC sudah tidak ada lagi. Bisa dikatakan Protokol Montreal merupakan rezim lingkungan paling berhasil yang pernah diadakan dan memiliki kekuatan yang kuat. Ini semakin diperkuat dengan konferensi sesudahnya seperti di London ’90, Kopenhagen ’92, Montreal ’97, dan Beijing ’99 yang mengamandemen isi Protokol Montreal dan memperkuat kekuatan rezim tersebut. UNEP memperkirakan pada 2050, ozon akan kembali pulih seperti sedia kala seperti sebelum dekade 1980-an.
Rezim Perubahan Iklim (Climate Change Regime)
Prtokol Kyoto ’97 merupakan rezim paling penting dalam rezim perubahan iklim. Rezim ini mensyaratkan negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar rata-rata 5 % dibawah tahun 1990, pada tahun 2008-2012. Jika hal ini tercapai, pada 2010 diperkirakan emisi rumah kaca akan berkurang 20 %. Hanya saja terdapat perbedaan target antara negara-negara maju tentunya, UE menghendaki 8%, Jepang 6% dan AS 7 %. Sedangkan negara-negara berkembang tampak secara sukarela dalam mengurangi emisi gas rumah kaca mereka. Sejak Australia yang telah meratifikasi Protokol Kyoto, sekarang hanya tinggal AS yang belum meratifikasi protokol tersebut. Dibandingkan rezim pengrusakkan ozon, rezim perubahan iklim tampak lemah dan para pakar pun sepakat, bahwa protokol Kyoto tidak akan membuat pengurangan emisi gas rumah kaca berkurang seperti target yang seharusnya diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Tak diragukan lagi, pengurangan gas rumah kaca akan berdampak signifikan pada sektor ekonomi, dan konsumsi. Dibutuhkan pengorbanan yang besar dari pihak negara, perusahaan, dan individu dalam menyelesaikan masalah ini.
Rezim Hutan (Forests Regime)
Rezim kehutanan dunia memasukkan norma dan prnsip yang muncul dari pertemuan RIO untuk mendiskusikan keuntungan dan kekurangan dari negosiasi sebuah perjanjian global terhadap pengelolaan hutan. Rezim ini juga memasukkan prinsip-prinsip hutan yang berkelanjutan dari institusi-institusi seperti ITTO (International Tropical Timber Organization) dan Forest Stewardship Council (FSC). ITTO didirikan pada 1983 dan bermarkas di Yokohama serta berangggotkan 59 negara. Sedangkan FSC yang didirikan pada 1993 ditujukan untuk mempromosikan pengelolaan hutan yang lebih efektif. Konsep utama dari rezim ini adalah Sustainable Forest Management (SFM). Seperti halnya rezim perubahan ikilim, rezim ini terbilang lemah. Banyak para pemimpin lokal dan nasional yang masih mengabaikan konsep SFM ini. Tidak seperti rezim ozon, baik rezim perubahan iklim dan hutan tampak tidak efektif. Ini disebabkan oleh tingkat kompleksitasnya yang lebih tinggi dan berdampak langsung serta massiv pada sektor ekonomi secara keseluruhan.
Tantangan dalam menciptakan kebijakan environmental politics pada level global
Utara versus Selatan
Disebabkan ingin mengontrol masalah masalah populasi lingkungan ini, para ilmuwan sosial merekomendasikan agar tingkat pertumbuhan produksi industri global diperlamabat atau kalau mungkin dikurangi. Tetapi negara terbelakang menolaknya. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab terhadap polusi lingkungan karena sampai saat ini polusi ini ditimbulkan oleh negara maju. Negara-negara terbelakang juga ingin menjadi negara-negara industri. Negara-negara terbelakang mengatakan perlambatan industri hanya berlaku bagi negara-negara industri maju sampai jurang perbedaan antara negara-negara miskin dan kaya dapat tertutupi.
Negara-negara berkembang telah mengajukan pandangan ini pada Konferensi Stockholm 1972. 120 delegasi menyetujui pandangan ini sedangkan 6 menolak serta 10 abstain. Konferensi ini menghasilkan piagam hak-hak dan kewajiban ekonomi negara tahun 1974, salah satunya pasal 30 berbunyi: “perlindungan pemeliharaan dan peningkatan lingkungan untuk generasi sekarang dan mendatang adalah tanggung jawab semua anggota semua negara harus bekerjasama untuk mengembangkan norma-norma dan peraturan-peraturan di bidang lingkungan”[5]. Hanya saja piagam ini ditolak oleh negara industri. Akibatnya prospek terwujudnya kerjasama internasional di bidang ini tidak terlalu cerah
Daftar Pustaka
Agung, Anak Banyu Perwita dan Yanyan Moch. Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung : Rosda. Hal.135-159.
A, Theodore Couloumbis dan James H. Wolfe. 1990. Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power, edisi pertama. Bandung: Abardin. Hal. 392-413.
Dauvergne, Peter. 2005. Globalisation and Environment dalam John Ravenhill, Global Political Economy. Oxford: University Press, hal. 370-395.
Lutfi, Muhammad. 2008. Memperbesar Gerakan Politik Lingkungan. Melalui < http://sansigner. wordpress.com/2008/05/04/memperbesar-gerakan-politik-lingkungan/>. [ 25 Desember 2008 pukul 19.30].
Situmorang, Sansen. 2008. Ekologi Politik. Studi Kasus : Gagasan CSR Dalam Meredam Gejolak Sosial Masyarakat Lokal. Melalui < http://sansigner.wordpress.com/2008/06/06/ekologi-politik-studi-kasus-studi-kasus-gagasan-corporate-social-responsibility-csr-dalam-meredam-gejolak-social-masyarakat-lokal-masyarakat-indonesia-timur/>. [ 25 Desember 2008 pukul 19.29].
Syadat, Umar Hasibuan. 2008. Green Politics dan Penyelesaian Persoalan Lingkungan Hidup di Indonesia. Melalui <http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=9104&coid =3&caid= 31& gid=5>. [ 25 Desember 2008 pukul 20.39].
[1] Sansen Situmorang. 2008. Ekologi Politik. Studi Kasus : Gagasan CSR Dalam Meredam Gejolak Sosial Masyarakat Lokal. Melalui <http://sansigner.wordpress.com/2008/06/06/ekologi-politik-studi-kasus-studi-kasus-gagasan-corporate-social-responsibility-csr-dalam -meredam-gejolak-social-masyarakat-lokal-masyarakat-indonesia-timur/>. [ 25 Desember 2008 pukul 19.29]
[2] Umar Syadat Hasibuan. 2008. Green Politics dan Penyelesaian Persoalan Lingkungan Hidup di Indonesia. Melalui <http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=9104&coid =3&caid= 31& gid=5>. [ 25 Desember 2008 pukul 20.39].
[3]Ibid
[4] Anak Agung banyu Perwita dan Yanyan Moch. Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung : Rosda. Hal. 145
[5] Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe. 1990. Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power, edisi pertama. Bandung: Abardin. Hal. 398
Tidak ada komentar:
Posting Komentar